Mohon tunggu...
Farid Mamonto
Farid Mamonto Mohon Tunggu... Freelancer - Nganggur aja

Senang bercanda, sesekali meNUlis suka-suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam Indonesia dan Penerimaan atas Perbedaan

22 November 2019   02:01 Diperbarui: 22 November 2019   08:29 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benar kita sama-sama memilih islam sebagai keyakinan kita. Tapi dalam proses "berislam", kita mempunyai "corak" yang berbeda, dan itu bagian dari yang tidak bisa terhindarkan sebagai sesuatu yang sunatullah.

Kita adalah orang indonesia yang kebetulan beragama islam, Bukan orang islam yang kebetulan tinggal di indonesia.

Dalam catatan sejarah, islam adalah agama yang datang "belakangan" dibumi Nusantara. Pun dalam proses masuk, dan berkembang secara masif itu tidak seperti membalikan telapak tangan. Simsalabim, jadilah. Tidak!

Dan itu wajib kita sadari betul, bahwa barangkali itulah konsekwensi datang belakangan. Nusantara sebelum islam sudah sangat berperadaban. Keyakinan dan kerajaan mewarnai corak masyarakat Nusantara terdahulu.

Kapitayan sebagai suatu keyakinan (tauhid) sudah ada jauh sebelum Hindu-Budha masif didaratan Nusantara. Ajaran-ajarannya pun sampai saat ini masih menempel dalam rangkain tradisi-tradisi keagamaan yang sering kita lakoni saat ini. semisal, sesajen dan doa selametan.

Kekuasaan kerajaan majapahit, bahkan mampu menaklukan ganasnya lautan dan pulau-pulau seberang yang jauh, yang kini telah menjadi negara tetangga semisal, malaysia.

Islam indonesia, islam unik.

Berangkat dari penulisan sejarah yang banyak menyebutkan, bahwa islam yang datang ke Nusantara tidak hanya dibawah oleh satu golongan, atau dari satu negara tertentu saja. Melainkan, dari berbagai penjuru dunia yang di massa lalu sudah terdahulu menganut ajaran yang dibawah oleh baginda mulia Muhammad SAW.

Dari arab, persia, gujarat, china, hingga yang datang dari Campa. Islam indonesia, menjadi islam yang unik oleh karena islam yang dibawah dari negeri-negeri yang jauh itu, kemudian bertemu dan melebur dengan banyaknya aliran kepercayaan yang sudah lama dan telah mentradisi dibumi Nusantara beratus-ratus tahun bahkan jauh sebelum Hindu-Budha ada dibumi Nusantara.

Semisal, pengaruh dominan dari para migran Campa ke Nusantara selain berupa asimilasi dan sinkretisasi ajaran Islam dengan Kapitayan, juga berupa asimilasi budaya Campa yang terpengaruh Syiah ke dalam tradisi keagamaan Islam di Nusantara. 

Salah satu tradisi keagamaan muslim Campa yang dianut di Nusantara adalah dianutnya kebiasaan untuk memperingati orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000, talqin, haul, pemuliaan terhadap ahlul bait, kenduri, peringatan maulid, rabu akhir bulan Safar, asyuro di bulan Muharram yang dijalankan masyarakat muslim Nusantara sejak perempat akhir abad ke-15 (Sunyoto, 2004; Cabaton, 1981; Simuh, 1988; Saksono, 1995).

Berdasar uraian di atas, jelaslah bahwa Islam yang datang di Indonesia
berasal dari berbagai negara di penjuru dunia seperti Cina, Campa, India, Persia,

Arab, dan Asia Tengah, di mana masing-masing penyebar Islam tersebut membawa pengaruh kebudayaannya yang diasimilasikan dengan kebudayaan yang sudah ada di Nusantara, terutama kebudayaan yang berlatar kepercayaan lama Kapitayan.

Dapatlah difahami kenapa Islam
di Indonesia menjadi unik dan memiliki corak yang berbeda dengan Islam yang ada di negara negara lain terutama di Timur Tengah. Itu berarti, Islam Indonesia yang dicirikan oleh tradisi keagamaan yang khas, dalam rana sejarah merupakan Islam yang dibangun di atas pluralitas dan multikulturalitas agama-agama dan budaya antara bangsa yang berbeda satu sama lain.

Ke-bhinneka-an amaliah peribadatan yang diterima sebagai keniscayaan tradisi keagamaan -- dengan mengacu pada prinsip ushuliyah mempertahankan nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik -- Islam Indonesia tumbuh dan berkembang dalam eksistensinya di tengah arus sejarah peradaban manusia. (Sunyoto, Makalah Islam Nusantara).

Penerimaan atas perbedaan.

Relasi islam dan indonesia sangat mustahil jika kita harus menutup mata akan "penerimaan" dari apa yang berbeda. Dari hal sekecil minum kopi saja kita selalu ada perbedaan. Ada yang mau minum kopi hangat, kopi dingin, kopi di campur susu, hingga kopi yang tidak pakai gula. Apalagi kita membicarakan relasi Islam dan Indonesia yang dari akar sejarahnya sangat banyak perbedaan-perbedaanya.

Islam pasca kematian Nabi Muhammad SAW misalnya, mulai diperhadapkan akan perbedaan-perbedaan rumit seputar pemimpin yang akan menggantikan Nabi Muhammad Saw. Konflik yang terjadi bahkan banyak membelah islam dalam aliran-aliran yang "barangkali" efeknya sampai kini kita rasakan. Tetapi, dari itu semua "islam" bisa bertahan dan kini menjadi agama besar dibumi pertiwi oleh juga karena kita dan para pendahulu kita mau untuk sama-sama menerima perbedaan-perbedaan itu. Sehingga tidak menimbulkan konflik besar yang bisa-bisa justru meruntuhkan "islam" dari dalam.

Pun begitu juga dengan gugusan pulau bernama indonesia/ Nusantara. Berbicara akan perbedaan, disinilah tempat yang barangkali harus menjadi rujukan dunia, diluar banyaknya agama yang di anut oleh masyarakat Indonesia. kita memiliki: Jumlah pulau sekitar 17.504, Jumlah suku bangsa 1.340, dan Jumlah bahasa sekitar 546an. Yang dengan begitu banyak perbedaan itu kita justru masih bisa bersekolah dengan nyaman, bekerja, juga beribadah dengan khusuh. Sangat jauh berbeda misalnya dengan negara-negara yang hari ini terlibat konflik horizotal layaknya di timur tengah, yang padahal tingkat keragaman akan perbedaan-perbedaan sangat sedikit jika kita bandingkan dengan indonesia/Nusantara. 

Kita mampu menerima perbedaan dari dalam juga bahkan perbedaan-perbedaan yang datang dari luar. Semisal kedatangan agama Islam, Kristen, katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Dari penerimaan akan perbedaan-perbedaan itulah, sehingga membentuk pola juga karakter bangsa yang toleran, ramah, mendahulukan dialog/musyawarah, senang gotong royong, dll.

Sehingga ketika dewasa ini, kita sering agak sedikit terganggu bahkan kaget, manakala ada sekelompok orang yang anti akan perbedaan. yang padahal perbedaan itulah kekuatan kita. Ketergangguan dan kaget itu tidak lahir dari ruang kosong. Itu karena memang kita mempunyai sejarah panjang dan tradisi saling menerima akan perbedaan-perbedaan. Jadi ketika ada yang "anti" kita kaget dan bertanya-tanya kok bisa? Belajar dimana? Orang indonesia?

Contoh kasus yang paling terdekat ketika kemarin saya di undang oleh panitia pelaksana Latihan Kepemimpinan Mahasiswa (LKM)  yang di selenggarakan oleh Dewan Mahasiswa (DEMA) Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu keguruan (FTIK) di kampus ternama berlebelkan islam di kota Manado. Saya di minta untuk  berbicara selama satu jam tiga puluh menit perihal "Islam Indonesia dan Multikultural" dihadapan para peserta yang kurang lebih 40an jumlahnya.

Di akhir diskusi saya mau mencoba mengetahui cara pandang mahasiswa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi guru agama itu perihal Islam Indonesia dan Multikultural. Saya membagi peserta  menjadi empat kelompok:

1. Pertukaran mahasiswa lintas agama.

2. Ucapan selamat Natal.

3. Pendirian rumah ibadah (non muslim) di lingkungan Muslim.

4. Jihad.

Saya memilih empat topik itu untuk di bahas dalam kelompok masing-masing bukanya tidak mempunyai alasan. Dari ke empat topik itulah yang hari ini menjadi pembicaraan hangat bahkan perdebatan hingga menghasilkan pertikaian yang tidak berujung harmonis.

Pertama, pertukaran mahasiswa lintas agama sampai saat ini masih menjadi sesuatu yang mahal bahkan sulit di terima oleh kalangan mahasiswa calon-calon guru agama, dan ini berangkat dari pengalaman semasa mengikuti kegiatan pertukaran mahasiswa lintas agama, yang kala itu banyak mendapatkan hadangan bahkan di katakan "kafir" karena ikut kegiatan tersebut.

Kedua, ucapan selamat natal. Ini adalah topik tahunan yang selalu di goreng sana-sini oleh orang-orang yang saya sebut "kurang aktivitas luar ruangan". Yang juga perlu saya kulik lebih jauh kepada calon-calon guru agama ini.

Ketiga, pendirian rumah ibadah (non muslim) di lingkungan muslim. Topik ini saya angkat ketika melihat survei beberapa waktu lalu yang menunjukan angka sangat tinggi berkenaan dengan penolakan pendirian rumah ibadah di lingkungan muslim. 

Keempat, jihad. Saya ingin mengetahui sejauh mana para peserta atau calon-calon guru agama ini memahami perihal jihad dan lebih-lebih lagi pasca peristiwa bom bunuh diri kemarin.

Dari presentasi dan tanggapan yang dilontarkan oleh masing-masing kelompok ada beberapa hal menarik yang saya catat. Pertama, perihal pertukaran mahasiswa lintas agama ada salah seorang yang tidak setuju dengan alasan bisa membahayakan iman dll. Kedua, perihal ucapan selamat Natal ada yang bilang boleh, juga tidak boleh. 

Tetapi menariknya ada stetmen begini dari salah seorang peserta "saya katakan kita tidak boleh mengucapkan selamat Natal sebab kita bisa memyerupai satu kaum, sambil dia mengutip dalil-dalil agama, tetapi saya menghargai dengan datang silaturahmi ke rumah-rumah keluarga, kerabat, dan sahabat. seraya mengucapkan selamat merayakan hari raya, selamat baku dapa dll". 

Ada juga yang mengatakan boleh mengucapkan selamat Natal dengan alasan dari pengalaman pribadi keluarganya yang telah kawin-mawin antara Islam-Kristen. 

Keempat, perihal jihad ini juga menarik ada yang bilang jihad dimasa sekarang itu adalah jihad melawan kebodohan sudah tidak lagi dengan peperangan. Tetapi ada juga peserta yang bilang, jihad harus dengan perang karena dia merujuk pada sejarah masa lalu yang selalu perang atas nama jihad bela agama dll.

Darisana ternyata, penerimaan-penerimaan akan perbedaan masih menjadi barang mahal ketika saya mendengar begitu banyak tanggapan yang justru berseberangan dengan alur sejarah atas proses panjang Islam Indonesia dan juga ketika kita berbicara multikultural dikampus hijau. 

Masih sangat banyak yang anti akan perbedaan, dan jika ini kita biarkan terus menerus, perbedaan sebagai fakta itu justru tidak lagi menjadi kekuatan melainkan menjadi "triger" akan kehancuran akibat peperangan.

Mengikuti atau tinggal bersama orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita, mengucapkan selamat Natal, dan mengizinkan pendirian rumah ibadah (non muslim. 

Saya ingin tutup dengan: saya mencita-citakan umat islam indonesia menjadi umat beragama yang berpandangan luas, mampu memahami orang lain, menumpahkan kebersamaanya yang utuh dengan segala pihak, menjunjung tinggi kebabasan sebagai sarana demokrasi. (KH. Abdurahman wahid/Gusdur)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun