Mohon tunggu...
Fakhrizal Firdiansyah
Fakhrizal Firdiansyah Mohon Tunggu... Buruh - Aku bukan kamu, apalagi kalian. Karena aku adalah Kita.

“There are only two ways to live your life. One is as though nothing is a miracle. The other is as though everything is a miracle” --Albert Einstein

Selanjutnya

Tutup

Politik

Capaian SBY Harus Dilanjutkan, Tapi oleh Siapa?

11 Maret 2020   14:08 Diperbarui: 11 Maret 2020   14:02 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://sumutpos.co/

Belakangan ini, tidak sedikit netizen yang memperlihatkan perbandingan capaian pemerintahan Jokowi dengan keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Alih-alih memuji, mereka malah mencibir rezim Jokowi yang kian mempertontonkan ketidakadilan dan kemunduran dalam berbagai dimensi, yang sebelumnya sudah diraih SBY.

Mereka kemudian memposting kegundahannya dalam akun sosial medianya. Mulai dari anak muda, pekerja seni, sampai pemuka agama mengeluhkan kondisi negeri tercintanya, mulai dengan gaya yang santuy, sampai dengan bahasa keras dan tegas.

Lihatlah apa yang dicuitkan pebisnis, auditor dan konsultan independen Utuh Wibowo pada akun twitternya, @UtuhWibowo. "Sekeras dan sejahat apapun suara rakyat dizaman SBY, aspirasi bisa tersampaikan tanpa ada kekerasan dan intimidasi. Demokrasi berjalan baik di era SBY, tidak ada pelarangan diskusi atau penyampaian pendapat. Salut sama SBY ?? Ada yang mau coba demo seperti ini sekarang?"

Dalam kicauannya itu, Utuh Wibowo menyertakan gambar saat PDIP melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM, sambil menyeret-nyeret seekor kerbau bertuliskan "SiBuYa"yang tanpa dijelaskan, ingin mengatakan bahwa kerbau itulah SBY. (Lihat: https://twitter.com/UtuhWibowo/status/1033954969748041728).

Ada juga @fullmoonfolks yang tidak lain adalah Bhagavad Sambadha, pekerja seni yang menginisiasi media kolektif dari publik untuk publik bernama Patron Syndicate (twitter: @patronsyndicate) yang kerap menggelar diskusi terbatas di cafenya di bilangan Kemang, Jakarta Selatan untuk mengulas berbagai isu yang sedang berkembang.

Sebelum melebur menjadi Patron Syndicate, namanya masih Paguyuban Pamitnya Meeting.

Beberapa waktu lalu, Bhaga, sapaan akrabnya, berkicau: "Setelah 10 tahun punya presiden dengan background militer akhirnya punya presiden (dari) sipil, harapannya tentu (((kita))) akan punya pemimpin dengan perspektif HAM yang lebih baik. Taunya moncos, dari atas sampe bawah khianat semua". (Lihat: https://twitter.com/fullmoonfolks/status/1220290492564328448)

Menurut Bhaga, Jokowi yang sipil ternyata berbeda dengan presiden yang berlatar belakang militer. Apalagi pada kampanye Pilpres 2014, pernah berjanji akan menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM.

Ujung-ujungnya, untuk menutupi kebobrokan pemerintahannya, Jokowi 'jualan relawan' dari awal pemerintahannya, demi pencitraan semata.

Dua contoh postingan di atas mewakili kegelisahan anak muda atas apa yang terjadi, sambil membandingkan era pemerintahan SBY dengan Jokowi

Selain anak muda, kegelisahan atas kemunduran berbagai dimensi di bawah era Jokowi, juga dilontarkan pemuka agama Ustad Tengku Zulkarnain.

"Salut Sama SBY, Walau Jendral Tapi Mau Demo BEBAS. Bawa Kerbau Ditulisi SiBuYa Beliau Tdk Main TANGKAP. Rezim Ini Demo Dikit Lgsg Tangkap!" kata @ustadtengkuzul.

(Lihat: https://twitter.com/ustadtengkuzul/status/847710688634060803)

Apakah cuma itu netizen menyuarakan kegundahannya atas kondisi bangsa belakangan ini? Tidak. Bahkan bukan hanya pada ranah twitter, sejumlah platform  media sosial belakangan ini pun ikut menyuarakan kegelisahan netizen atas apa yang terjadi --lagi-lagi dengan membandingkan era pemerintahan SBY dengan Jokowi.

Warisan Keamanan 

Pertanyaannya sekarang, memang apa yang sudah diwariskan SBY selama 10 tahun pemerintahannya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, sebaiknya kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah selama pemerintahan SBY isu intoleransi digunakan untuk menyerang lawan politiknya? Tidak. SBY mewariskan stabilitas keamanan dengan sangat baik.

SBY tidak pernah menyerang lawan politiknya sebagai pihak yang anti Pancasila, sambal pongah merasa bahwa pihaknya yang paling toleran, paling Pancasilais. Karena SBY tidak pernah ambil pusing dengan kritik netizen yang dianggapnya sebagai sebuah masukan anak bangsa.

"Kritik itu laksana obat, kalau pas takarannya, maka akan mengobati," tegas SBY saat menahan gelombang kritik di kala dirinya masih menjabat Presiden. Terbukti, tak seorangpun anak bangsa masuk bui karena mengkritik dirinya, juga pemerintahannya. Berbeda dengan sekarang.

Karena SBY lebih tertarik menempatkan faktor ancaman yang berasal dari militer asing, serangan ekonomi global, serta memilih fokus melakukan mitigasi bencana alam akibat perubahan iklim, juga ancaman terhadap wabah penyakit, dibanding sibuk mengurusi kritik dari anak bangsa.

Stabilitas Ekonomi

Dalam konteks ekonomi, SBY pun berhasil mewariskan stabilitas ekonomi yang baik dengan melahirkan kebijakan yang pro rakyat.

Lihat saja saat pemerintahannya yang sukses menginisiasi program yang ia sebut berpihak pada masyarakat miskin, antara lain: Program Keluarga Harapan (PKH), Beras untuk rakyat miskin (Raskin), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Badan Penyelenggara Jaminas Sosial (BPJS) Kesehatan, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bea Siswa bagi mahasiswa berprestasi namun kurang mampu bernama Bidik Misi, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Beasiswa Santri, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Juga jangan lupa, selama 10 tahun berkuasa, SBY berhasil mencetak prestasi besar di bidang ekonomi dengan membawa Indonesia ke dalam kelompok 20 ekonomi utama atau G20.

Di era SBY pula Bank Dunia mengelompokkan Indonesia ke dalam 10 besar ekonomi dunia berdasarkan daya beli masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pendapatan per kapita yang tinggi selama sepuluh tahun, membuat Indonesia masuk dalam kelompok ekonomi besar dunia, sehingga Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan.

Bahkan di awal pemerintahannya, SBY berhasil mewariskan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dari Rp 340 triliun menjadi Rp 2039 triliun.

Bahkan rezim Jokowi diwariskan ruang fiskal sebesar Rp 250 triliun. Dan dari ruang fiskal Rp 250 triliun itulah Jokowi bisa membangun subway di sebagian Indonesia.

Namun apa yang dilakukan Jokowi? Alih-alih berterima kasih, Jokowi justru kerap menyalahkan SBY. Dan lucunya lagi, Jokowi mengubah program-program itu dengan nama lain dan mengklaim itu adalah prestasi kerjanya.

Supremasi Hukum

Dalam bidang hukum, netizen juga merasakan penegakan hukum yang amburadul di era Jokowi. Berbanding terbalik saat melihat bagaimana SBY berhasil menegakkan hukum dengan baik.

Di era SBY, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami masa keemasan, tanpa perlu takut memenjarakan mereka yang bersalah, termasuk memenjarakan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, juga besannya sendiri Aulia Pohan.

Bagaimana kondisi KPK di era Jokowi? Mengalami kemunduran terstruktur dan sistematis akibat dikebiri kewenangannya.

Belum lagi Kejaksaan Agung yang oleh Jokowi diisi kader partai sehingga menjadi faktor gagalnya penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Masih ingat saat Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid merilis hasil riset lembaganya, tegas menyatakan bahwa empat tahun kepemimpinan Jokowi, agenda penegakan HAM mengalami kemunduran, dibandingkan era SBY.

Beberapa faktor di antaranya adalah gagalnya rezim Jokowi memberikan hak atas kebebasan berpendapat, juga hak atas kebebasan pers yang nyata-nyata dilindungi oleh konstitusi.

Dan netizen lagi-lagi menggambarkan prestasi sebaliknya dibanding era pemerintahan SBY.

Guru Bangsa

Nah, berbekal prestasi yang sudah disebutkan di atas, sepertinya tidak berlebihan jika kita mentasbihkan seorang SBY sebagai "guru bangsa". Selain karena faktor usia yang masuk fase sepuh, SBY pernah sepuluh tahun memimpin negeri ini, kenyang dengan asam konflik dan tentu lebih paham soal tata kelola negara.

Utamanya mengelola negara dengan bingkai keberagaman, tidak membawa negara menuju disintegrasi bangsa yang berpotensi menyebabkan instabilitas dan memicu perpecahan, serta menjadikan sosoknya mampu berdiri berdiri di atas semua golongan, namun di sisi  lain tidak menjadikan pemerintahannya sebagai rezim fasis.

Tidak hanya itu, seorang SBY telah berhasil menjadikan dirinya sebagai tokoh yang bukan hanya milik Partai Demokrat, tetapi menjadi milik semua kelompok, lintas parpol dan lintas politisi, lintas generasi, juga lintas ideology.

Namun persoalannya kemudian, dengan sejumlah prestasi yang sudah tertoreh dengan baik pada masanya, apakah seorang SBY mampu melanjutkan legacy-nya tersebut kepada penerusnya?

Di sinilah tantangannya. Sebab, jika salah melanjutkan tongkat estafet keberhasilannya kepada sang penerus, maka bisa dipastikan apa yang sudah ditorehkan akan menjadi sia-sia belaka. Lantas, siapakah 'sang penerus' yang layak melanjutkannya?

Jawabannya tentu mudah, yakni putra pertamanya Agus Harimurti Yudhoyono atau akrab disapa AHY. Kenapa AHY?

Pertama, secara intelektual, AHY adalah sosok yang punya latar pendidikan sebaik SBY, bahkan lebih. Tanpa bermaksud merendahkan, prestasi akademis AHY di usia muda dengan membandingkan prestasi akademis SBY di masa mudanya pula, AHY terbukti lebih berprestasi. Silahkan bandingkan agar kita lebih fair dan jernih melihat.

Kedua, AHY adalah anak biologis dan anak ideologis SBY. Dalam beberapa kali kesempatan, AHY menunjukkan rasa hormatnya kepada sang ayah. AHY menjadi sosok yang banyak belajar dari sepak terjang ayahnya mengarungi bahtera hidup bersama ibundanya, almarhum Ani Yudhoyono, baik saat masih menjadi prajurit, hingga menjadi seorang Presiden.

Sehingga dirinya paham, pada bagian mana dan dalam konteks apa ayahandanya mengeluarkan sebuah kebijakan. Dan seorang AHY juga paham betul, pada bagian mana dari apa yang sudah dilakukan SBY, membuthkan keberlanjutan.

Namun yang terpenting, AHY adalah sosok yang masih bersih, tidak terkotori oleh dosa-dosa politik, apalagi dosa korupsi. Dan yang pasti pula, SBY dan Demokrat yang diwariskan, butuh sosok pengganti yang mampu menjawab tantangan di era yang baru. Dan lagi-lagi AHY solusinya. Semoga !!! (Dani PIN)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun