Mohon tunggu...
FAKHRIYAH ALFIYANI
FAKHRIYAH ALFIYANI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - Aktif Berselancar di Sosial media dan berinteraksi dengan Iklim Anak Muda

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keberlimpahan, Keterbukaan Dan Doxing: Tantangan Baru Berdemokrasi Ditinjau dari Hukum dan Pers

30 Juni 2023   16:37 Diperbarui: 30 Juni 2023   16:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Honan pada tahun 2004, istilah doxing berasal dari ungkapan "dropping dox" atau 'mengumpulkan dokumen' terkait informasi seseorang. Pada tahun 1990-an, hal ini menjadi budaya dalam dunia peretasan sebagai bentuk balas dendam, di mana identitas seseorang diungkapkan. Istilah doxing ini sudah cukup terkenal sehingga dimasukkan ke dalam kamus resmi. Sebagai contoh, dalam Kamus Oxford Bahasa Inggris Britania dan Dunia, doxing didefinisikan sebagai mencari dan membagikan informasi pribadi atau identitas seseorang di internet dengan niat jahat (Kamus Oxford 2015). Seperti yang ditegaskan oleh definisi Oxford, doxing tidak selalu didorong oleh kebencian (Douglas, 2016, h. 3).

Doxing saat ini sering diartikan sebagai tindakan sengaja menyebarluaskan data pribadi seseorang melalui media sosial tanpa persetujuan individu yang bersangkutan. Terdapat beberapa kategori informasi publik yang dapat mengungkap rahasia pribadi seseorang. Hal ini tertuang dalam Pasal 17 huruf H Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang meliputi: 

a. Detail mengenai keadaan anggota keluarga;

b. Detail mengenai kesehatan fisik maupun psikis seseorang;

c. Detail mengenai keuangan/aset seseorang;

d. Detail mengenai intelektualitas/kemampuan seseorang;

e. Detail menyangkut pendidikan formal/non-formal seseorang;

Kategori yang telah disebutkan adalah elemen-elemen yang termasuk dalam kejahatan doxing. Biasanya, hal ini dapat mengungkap identitas seseorang di depan publik. Komnas HAM menegaskan bahwa doxing merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dalam dunia digital, karena doxing dapat menyebabkan pelecehan secara daring maupun luring (Makdori, 2020). Tidak jarang pelaku serangan doxing di media sosial tidak hanya menargetkan korban, tetapi juga menyasar kerabat dan bahkan keluarga korban. Banyak dari mereka yang dengan sengaja menyebarkan data pribadi korban dan keluarganya dengan tujuan mengintimidasi korban. Hal ini mengakibatkan peningkatan kekhawatiran korban terhadap keselamatan diri dan keluarganya. Fenomena semacam ini sering digunakan untuk mengekspresikan kemarahan seseorang dengan berbagai motif, dengan mengabaikan kondisi yang ada (Naufal,  2021, h. 3). Gambaran mengenai Doxing---jika bisa dibilang seperti itu---kepada Mario Dandy, mengikuti definisi di atas dapat dikategorikan serupa, dan asumsi Penulis mengenai motivasi netizen untuk melakukan intai-maya (cyberstalking) kepada individu yang sedang disorot---dalam bahasa ini Trending---di sosial media, paling tidak dapat diafirmasi dengan pernyataan David Daughlas (2016, h. 5) dalam "Doxing: A Conceptual Analysis" yang membedakan doxing dan pemerasan (blackmailing), gosip, dan pencemaran nama baik (defamation). Menurutnya, doxing tidak dilakukan dengan imbalan, melainkan sering dilakukan karena beberapa hal seperti bosan, cemburu, rasa ingin mengintimidasi, aksi protes, ataupun sebuah aksi untuk mengungkapkan sebuah kesalahan yang ada.

Tinjauan dari aspek Hukum dan Kode Etik Pers

Doxing merupakan kejahatan yang sudah sering terjadi di Indonesia, namun masih banyak orang awam yang tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi pelaku ataupun telah menjadi korban dari tindak pidana doxing itu sendiri. Setiap tahunnya korban dari kejahatan doxing ini terus meningkat. Menurut data yang dikutip oleh SafeNet korban dari tindak pidana doxing 56% berprofesi sebagai jurnalis 22% aktivis, dan 22% sisanya merupakan warga sipil (Banimal, dkk, 2020). 

Doxing, yang umumnya dilakukan oleh individu anonim dan terjadi dalam dunia maya. Oleh karena itu, dalam hal pengaturannya mengacu pada ketentuan dalam hukum siber, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peraturan ini dirancang khusus untuk mengatur kejahatan siber serta memberikan perlindungan hukum kepada pengguna teknologi informasi, agar media komunikasi dapat berkembang secara optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun