Mohon tunggu...
FAKHRIYAH ALFIYANI
FAKHRIYAH ALFIYANI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - Aktif Berselancar di Sosial media dan berinteraksi dengan Iklim Anak Muda

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keberlimpahan, Keterbukaan Dan Doxing: Tantangan Baru Berdemokrasi Ditinjau dari Hukum dan Pers

30 Juni 2023   16:37 Diperbarui: 30 Juni 2023   16:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"The abundance of information and the scarcity of attention are the two things that define our age."- Clay Shirky

Bukan tidak mungkin semua dari kita menikmati informasi dari beraneka varian gawai milik kita masing-masing. Berkembangnya teknologi secara eksponensial, menjadi salah satu faktor semakin banyaknya aplikasi seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan produksi alat elektronik---handphone, laptop, dan komputer (Shin & Kwon, 2022; h. 2). Kebiasaan membaca koran, majalah atau pamflet berevolusi menjadi membaca tulisan-tulisan Digital via e-paper atau artikel website resmi---Industri media yang sama dengan penerbit Koran dan Majalah konvensional---tanpa meninggalkan budaya terdahulu (Koran dan Buku). Hal tersebut secara inheren menunjukkan bahwa kita tidak pernah benar-benar mengalami kelangkaan informasi, bahkan mungkin kita sedang mengalami fenomena Keberlimpahan Informasi. 

Dewasa ini kita menghadapi era keberlimpahan komunikasi (communicative abundance), ditandai dengan melimpahnya informasi melalui beragam kanal komunikasi yang dimiliki warga. Tidak hanya bergantung pada media arus utama (mainstream media) seperti televisi, koran, radio melainkan juga media sosial. Media sosial penetratif ke ruang-ruang personal nyaris tanpa batas. Kita menyadari era kemunculan komunikasi di mana media cetak dan penyiaran mulai kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi. Informasi era sekarang ini banyak disebarluaskan melalui media online (Fathurakhmah, 2020, h. 3). 

Konsekuensi pragmatis dari lahirnya banyak medium beropini saat ini dibidani langsung oleh teknologi yang semakin menjamur dan Demokrasi yang asimetris menjadikan konten-konten yang terdiseminasi ke masyarakat luas jarang sekali ter-filter. Salah satu dampak dari keberlimpahan informasi adalah munculnya insekuritas dalam menjaga data pribadi. Kehidupan kita sudah beririsan langsung dengan Teknologi yang membuat kita sulit memisahkan kehidupan yang sifatnya personal dan mampu kita jaga kerahasiaannya, dengan irisan kita di dunia internet, yang mengakibatkan setiap orang mampu mengakses setiap cuitan, opini, gambar, atau rekaman yang kita unggah di Internet---meskipun via gawai kita pribadi. 

Data pribadi kita bisa saja menjadi sasaran dari tindakan kriminal siber yang disebut dengan doxing (Doksing). Doxing adalah tindakan mengumpulkan informasi terkait data pribadi seseorang untuk kemudian diungkapkan atau diposting kepada publik secara ilegal. Doxing biasanya bertujuan untuk penghinaan, penguntitan, pencurian identitas, mempermalukan, atau tindakan pelecehan virtual, dengan target individu tertentu (Fajri, 2022). Doxing dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti melakukan peretasan, rekayasa sosial, atau mencari informasi yang tersedia untuk umum di internet (Ramli, 2023). Kasus-kasus Doxing di Indonesia cukup banyak dan bervariasi, mulai dari Doxing terhadap pegawai pemerintah, aktivis, selebriti, hingga warga sipil biasa.

Data pribadi dalam konstitusi disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 28G ayat (1) sebagai hak asasi manusia yang wajib dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi". Klausa tersebut menjamin bahwa seluruh masyarakat Indonesia memiliki hak perlindungan dan jaminan atas data atau informasi Pribadi mereka, kata 'setiap orang' di sini diterapkan secara menyeluruh---seluruh rakyat Indonesia---hanya dengan pengecualian di mata hukum (Kumalasanti, 2022). Bahkan, luasnya perlindungan terhadap hal tersebut hendaknya juga diterapkan pada siapa pun masyarakat sipil di Internet, di dunia serba keterbukaan. 

Ironisnya, di Internet doxing sering kali terjadi antara warga sipil, viralitas dan sensasi penulis asumsikan sebagai pemicu mengapa warga sipil internet atau saat ini disebut netizen memiliki motivasi untuk mengulik data personal atau menyebarkan informasi personal individu di Internet. Tanpa membicarakan isu politis atau tanpa bermaksud menghilangkan empati dalam sebuah kasus yang bergulir, kita bisa melihat awal mula kasus Penganiayaan terhadap David Ozora oleh Mario Dandy. Pada awal kasus ini menyeruak di Internet, video yang tersebar di Twitter berfokus pada topik penganiayaan masyarakat kelas atas yang menggunakan previlese, namun dengan kecanggihan Internet, beberapa Informasi berhasil menyeruak ke permukaan, hingga domino terakhir bersandar pada kasus Penggelapan Pajak dan kasus Internal yang mengguncang Kementerian Keuangan.

Hal tersebut bisa menjadi hal positif atau negatif, namun kekuatan yang simetris di Internet menjadi suatu fenomena yang menarik untuk di kaji, mengenai Apa yang menjadi batasan seorang warga sipil, dan Pers dalam beretika di Sosial media dalam mengungkap profil suatu Individu yang sedang tersorot dalam sebuah kasus atau berita yang sedang di sorot di Internet? 

Keberlimpahan dan Keterbukaan Akses meniscayakan Doxing

Kejahatan yang diniscayakan oleh kemudahan seseorang dalam menjelajah Internet dikenal sebagai Kejahatan Siber (Cybercrime). Istilah ini merujuk pada tindakan kejahatan yang mengandalkan komputer atau jaringan internet sebagai sarana untuk melaksanakan aksi kejahatan. Contoh-contoh kejahatan yang tercakup dalam ranah Kejahatan Siber antara lain adalah penindasan maya (Cyberbullying), Pengintaian maya (Cyberstalking), dan juga doxing. Doxing merupakan bentuk paling ekstrim dari penindasan maya (Cyberbullying), di mana informasi pribadi tentang seseorang ditelusuri dan disebarluaskan, sehingga melampaui batas privasi mereka dan berdampak pada penindasan yang lebih lanjut (Bei Li, 2018, h. 2). 

Menurut Honan pada tahun 2004, istilah doxing berasal dari ungkapan "dropping dox" atau 'mengumpulkan dokumen' terkait informasi seseorang. Pada tahun 1990-an, hal ini menjadi budaya dalam dunia peretasan sebagai bentuk balas dendam, di mana identitas seseorang diungkapkan. Istilah doxing ini sudah cukup terkenal sehingga dimasukkan ke dalam kamus resmi. Sebagai contoh, dalam Kamus Oxford Bahasa Inggris Britania dan Dunia, doxing didefinisikan sebagai mencari dan membagikan informasi pribadi atau identitas seseorang di internet dengan niat jahat (Kamus Oxford 2015). Seperti yang ditegaskan oleh definisi Oxford, doxing tidak selalu didorong oleh kebencian (Douglas, 2016, h. 3).

Doxing saat ini sering diartikan sebagai tindakan sengaja menyebarluaskan data pribadi seseorang melalui media sosial tanpa persetujuan individu yang bersangkutan. Terdapat beberapa kategori informasi publik yang dapat mengungkap rahasia pribadi seseorang. Hal ini tertuang dalam Pasal 17 huruf H Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang meliputi: 

a. Detail mengenai keadaan anggota keluarga;

b. Detail mengenai kesehatan fisik maupun psikis seseorang;

c. Detail mengenai keuangan/aset seseorang;

d. Detail mengenai intelektualitas/kemampuan seseorang;

e. Detail menyangkut pendidikan formal/non-formal seseorang;

Kategori yang telah disebutkan adalah elemen-elemen yang termasuk dalam kejahatan doxing. Biasanya, hal ini dapat mengungkap identitas seseorang di depan publik. Komnas HAM menegaskan bahwa doxing merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dalam dunia digital, karena doxing dapat menyebabkan pelecehan secara daring maupun luring (Makdori, 2020). Tidak jarang pelaku serangan doxing di media sosial tidak hanya menargetkan korban, tetapi juga menyasar kerabat dan bahkan keluarga korban. Banyak dari mereka yang dengan sengaja menyebarkan data pribadi korban dan keluarganya dengan tujuan mengintimidasi korban. Hal ini mengakibatkan peningkatan kekhawatiran korban terhadap keselamatan diri dan keluarganya. Fenomena semacam ini sering digunakan untuk mengekspresikan kemarahan seseorang dengan berbagai motif, dengan mengabaikan kondisi yang ada (Naufal,  2021, h. 3). Gambaran mengenai Doxing---jika bisa dibilang seperti itu---kepada Mario Dandy, mengikuti definisi di atas dapat dikategorikan serupa, dan asumsi Penulis mengenai motivasi netizen untuk melakukan intai-maya (cyberstalking) kepada individu yang sedang disorot---dalam bahasa ini Trending---di sosial media, paling tidak dapat diafirmasi dengan pernyataan David Daughlas (2016, h. 5) dalam "Doxing: A Conceptual Analysis" yang membedakan doxing dan pemerasan (blackmailing), gosip, dan pencemaran nama baik (defamation). Menurutnya, doxing tidak dilakukan dengan imbalan, melainkan sering dilakukan karena beberapa hal seperti bosan, cemburu, rasa ingin mengintimidasi, aksi protes, ataupun sebuah aksi untuk mengungkapkan sebuah kesalahan yang ada.

Tinjauan dari aspek Hukum dan Kode Etik Pers

Doxing merupakan kejahatan yang sudah sering terjadi di Indonesia, namun masih banyak orang awam yang tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi pelaku ataupun telah menjadi korban dari tindak pidana doxing itu sendiri. Setiap tahunnya korban dari kejahatan doxing ini terus meningkat. Menurut data yang dikutip oleh SafeNet korban dari tindak pidana doxing 56% berprofesi sebagai jurnalis 22% aktivis, dan 22% sisanya merupakan warga sipil (Banimal, dkk, 2020). 

Doxing, yang umumnya dilakukan oleh individu anonim dan terjadi dalam dunia maya. Oleh karena itu, dalam hal pengaturannya mengacu pada ketentuan dalam hukum siber, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peraturan ini dirancang khusus untuk mengatur kejahatan siber serta memberikan perlindungan hukum kepada pengguna teknologi informasi, agar media komunikasi dapat berkembang secara optimal.

Ketentuan yang mengatur tentang kejahatan doxing terdapat pada Pasal 26 Ayat (1) UU ITE yang berbunyi: 

  1. Ayat 1: "penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan." 

  2. dan ayat (2) yang berbunyi: "setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini" 

Selain dalam UU ITE mempublikasikan data pribadi dapat dikenakan pidana dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, yang berbunyi: 

"Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dan Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)" 

Pers, Jurnalis atau apa pun yang menjadi buruh berita memang tetap menjadi top-of-mind dari korban doxing, tapi yang menjadi hal unik dari analisis ini adalah etika pers menanggapi informasi yang ter-doxing di permukaan Internet. Bagaimanapun informasi yang menyeruak via internet dalam kasus ini berbentuk doxing dari informasi pribadi seseorang selayaknya perlu ditinjau kembali dari perspektif etika Pers. Independensi seorang Jurnalis harusnya mampu dipertanggungjawabkan, hal tersebut yang membedakan investigasi dengan doxing yang dilakukan akun-akun anonim yang biasanya ada di Internet---terutama Twitter.

Ada beberapa etika pers yang membatasi agar tidak sampai melakukan doxing (doksing). Etika pers adalah kumpulan norma dan nilai yang menjadi pedoman bagi para pelaku pers dalam menjalankan profesinya. Etika pers bertujuan untuk menjaga kredibilitas, integritas, dan tanggung jawab pers dalam menyajikan informasi yang akurat, objektif, dan berimbang kepada publik. Etika pers juga menghormati hak-hak asasi manusia, termasuk hak atas privasi dan perlindungan data pribadi. Beberapa etika pers yang berkaitan dengan doxing (doksing) adalah sebagai berikut:

  1. Etika dalam mengumpulkan informasi. Pers harus mengumpulkan informasi dengan cara yang sah, jujur, dan profesional. Pers tidak boleh menggunakan metode yang melanggar hukum, seperti peretasan, rekayasa sosial, atau pencurian data pribadi sumber berita. Pers juga harus memperoleh izin dari sumber berita jika ingin menggunakan data pribadinya untuk kepentingan jurnalistik.

  2. Etika dalam menyajikan informasi. Pers harus menyajikan informasi dengan cara yang akurat, objektif, dan berimbang. Pers tidak boleh menyajikan informasi yang salah, menyesatkan, atau memfitnah. Pers juga harus menghormati privasi sumber berita dan tidak menyebarkan data pribadinya tanpa alasan yang kuat dan relevan dengan kepentingan publik.

  3. Etika dalam menyimpan informasi. Pers harus menyimpan informasi dengan cara yang aman dan rahasia. Pers tidak boleh memberikan akses informasi kepada pihak yang tidak berwenang atau tidak bertanggung jawab. Pers juga harus menghapus atau menghancurkan informasi yang sudah tidak diperlukan atau sudah kedaluwarsa.

Dengan menerapkan etika pers tersebut, diharapkan pers dapat menjaga profesionalisme dan integritasnya dalam menjalankan tugas jurnalistik, serta mencegah terjadinya doxing (doksing) yang dapat merugikan sumber berita maupun publik. Integritas seorang pers untuk tidak ikut-ikutan secara buta dalam menyebarkan informasi yang dicirikan sebagai doxing di Internet adalah nilai tambah yang harus di apresiasi , Investigasi yang bertanggung jawab merupakan karakter kuat seorang pers. Terutama dalam kasus yang masih bergulir di Internet, karena yang kita lihat hari ini sebagai pelaku bisa jadi hanyalah terduga pelaku, dan ada konsekuensi hukum bagi siapa pun yang mengeksploitasi Informasi Pribadi setiap Individu, Investigasi yang menjunjung kebenaran bukan ketenaran adalah hal yang berharga di era Keberlimpahan dan Keterbukaan ini. 

Konklusi

Keberlimpahan dan Keterbukaan akses Internet sebagai aspirasi demokrasi ini adalah hal yang menjawab perjuangan kita melawan otoritas yang otoriter. kendatipun kita tak bisa memungkiri adanya fenomena-fenomena tak terduga, kejahatan yang ikut menunggangi aspirasi demokrasi ini seperti doxing yang merupakan salah satu penindasan maya (cyberbullying) yang paling marak terjadi di Indonesia. 

Simetri kemampuan dalam mencari informasi baik di kubu pemerintahan, pers, dan sipil membuka celah siapa pun yang sedang Trending di Internet---selama dia mengunggah data Pribadinya---dapat menjadi korban doxing. Terlepas dia adalah Terduga pelaku pidana atau sebagainya, mereka juga termasuk Korban dalam hal intaian-maya (cyberstalking), sekaligus mereka juga pengampu Hak Jaminan dan Perlindungan Data Pribadi mereka. Sehingga kiranya Pers yang dalam data menjadi Korban paling banyak dalam kasus doxing juga perlu teliti dan ikut mencegah pembiasaan aktivitas doxing. karena sebagai seorang Pers hendaknya patuh pada Kode Etik Pers yang kiranya dapat di tafsir dan simpulkan menjadi:

1) Etika dalam mengumpulkan informasi. Pers harus mengumpulkan informasi dengan cara yang sah, jujur, dan profesional.

2) Etika dalam menyajikan informasi. Pers harus menyajikan informasi dengan cara yang akurat, objektif, dan berimbang. 

3) Etika dalam menyimpan informasi. Pers harus menyimpan informasi dengan cara yang aman dan rahasia. 

Dalam mengamalkan etika jurnalistik, pers diharapkan dapat mempertahankan profesionalisme dan integritasnya, serta mencegah terjadinya doxing yang dapat merugikan baik sumber berita maupun publik. Kemampuan pers untuk menjaga diri agar tidak terjerumus dalam menyebarkan informasi yang terindikasi sebagai doxing di dunia maya adalah nilai tambah yang patut dihargai. Investigasi yang bertanggung jawab, menjunjung kebenaran dibandingkan ketenaran adalah ciri khas yang kuat dari pers di era Keberlimpahan dan Keterbukaan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun