"Lho, Teguh si tukang bakso itu hidupnya lebih oke dari kamu, enggak perlu kamu peluk-peluk./"Sungguh kamu seorang pemeluk agama?"/"Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan."/"Tapi aku lihat kamu enggak pernah memeluk. Kamu malah menghina, membakar, merusak, menjual agama.
Teguh si tukang bakso itu malah sudah pandai memeluk./"Sungguh kamu seorang pemeluk?"/"Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan."/Tuhan memelukku dan berkata,/"Pergilah dan wartakanlah pelukanKu./Agama sedang kedinginan dan kesepian./Dia merindukan pelukanmu."Â
Renungan kegelisahan keberadaan manusia dapat ditemukan pada kata-kata, "Dalam doaku yang khusyuk/Tuhan bertanya padaku, hambaNya yang serius ini,/"Halo, kamu seorang pemeluk agama?"/"Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan."
Penggunaan bahasa gaul dan lekat dalam keseharian hidup pada kata-kata, halo, loh, oke, rindu, peluk dan kesepian.
Refleksi keagamaan termuat dalam kata-kata, "Sungguh kamu seorang pemeluk agama?"/"Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan."/"Tapi aku lihat kamu enggak pernah memeluk./Kamu malah menghina, membakar, merusak, menjual agama.Â
Unsur humor pada kata-kata, "Lho, Teguh si tukang bakso itu hidupnya lebih oke dari kamu, enggak perlu kamu peluk-peluk" dan "Teguh si tukang bakso itu malah sudah pandai memeluk."
Puisi Jokpin Diuji Waktu
Puisi Indonesia telah diuji zaman dan waktu dengan kemunculan pemuisi dari latar belakang dan bentuk yang berbeda.
Perbedaan latar belakang dan bentuk, penting untuk kerja kepenyairan karena tercipta genre dan pengucapan puisi yang berbeda antara satu pemuisi dengan pemuisi lainnya. Â
Jokpin dengan latar berbeda dan menggali kerja kepenyairan dari angkatan sebelumnya sehingga memunculkan puisi ciri khas Jokpin yang bertolak dari renungan kegelisahan keberadaan manusia, penggunaan bahasa gaul dan lekat dalam keseharian hidup, refleksi keagamaan, dan humor.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!