Sepi makin modern_Jokpin_
 Angkatan Puisi Indonesia
Perpuisian Indonesia dengan kemunculan pemuisi dari waktu ke waktu tak dapat dilepaskan dari kondisi yang terjadi saat ia hidup.
Kondisi keagamaan, sosial, pendidikan, politik dan budaya direspon oleh pemuisi bukan sekadar pajangan kata dan kedangkalan makna tapi ada kegelisahan yang harus disuarakan tentang kondisi-kondisi yang rapuh dan menyimpang.
Secara garis besar periode angkatan puisi Indonesia modern terbagi kepada; periode pra pujangga baru dan pujangga baru (1920-1942), periode Angkatan 45 (1942-1955), periode 50-60an (1955-1970an) Periode 70-80an (1970-1990) dan periode 2000.
Angkatan pra pujangga baru dan pujangga baru masih terpengaruh pengucapan puisi lama, seperti pantun dan syair dengan pemuisi seperti M. Yamin dan Sanusi Pane. Aliran yang dominan yaitu romantik, alam, emansipasi dan cinta tanah air karena masih dijajah Belanda.
Angkatan 45, dengan pemuisi diantaranya Chairil Anwar dan Sitor Situmorang serta kondisi Indonesia yang ingin merdeka dari penjajahan Belanda, mengambil bentuk puisi pemberontakan dan perjuangan nasionalisme.
Angkatan 50 dan 60 dalam balutan Orde Lama dan kemunculan PKI menjadikan puisi Indonesia bergerak ke arah yang berbeda dari dua angkatan di atas.
Ada pertentangan keras antara pemuisi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dikaitkan dengan PKI Â dan moto "Seni untuk Rakyat" yang ditentang pemuisi lain mengatasnamakan agama dan kemunculan Manikebu (Manifestasi Kebudayaan) yang bermoto "Seni untuk Seni."
Diantara tokoh Lekra, Pramoedya Ananta Toer dan Rivai Apin sedangkan tokoh Manikebu, H.B Jassin, Goenawan Muhammad dan Taufik Ismail.
Angkatan 70 lebih banyak lagi pemuisi yang bermunculan, apakah itu dari angkatan 50 dan 60an yang masih eksis atau munculnya pemuisi baru.