Jadilah seperti sungai yang mengalir/Hening di kala malam/Usah takut pada kegelapan/Pantulkan bintang-bintang/Jelmakan pula awan-awan/Sebab awan itulah air, tiada beda dengan sungai/Maka pantulkan juga dengan suka cita/Di kedalamanmu sendiri yang tenteram_Manuel Bandeira_Sastrawan Brasil_ Â
 Ini hari Minggu di Kota Rio. Aku membuka surat yang digenggaman dengan kata-kata puitis dari Manuel Bandeira. Ibu sedang di dapur memasak dan ayah di ruang istirahat baca koran Kompatriot.
Surat yang dikirim oleh kakek dan nenek bersampul biru, rindu karena tak bersua cucu semata wayang beberapa bulan. Puisi dari Manuel Bandeira merupakan kesukaan kakek. Â Â
Aku yang berusia 17 tahun penyuka aliran air sungai dan pepohonan. Walaupun di sekolah ada perkumpulan pecinta alam namun aku tak ikut bergabung. Â
Kesukaanku  kepada aliran air sungai dan pepohonan dimulai sejak usia 9 tahun dan sudah duduk dikelas tiga SD. Kakek dan nenek lah yang mengenalkanku kepada aliran air sungai dan pepohonan pertama kali.
Kala itu ayah yang suntuk dan sumpek dengan urusan kerja kantor di Kota Rio, mengajak ibu dan aku pulang ke Desa Amazon. Ini kebiasaan ayah jika suntuk-sesuntuknya dalam kerja.
Pernah Ayah coba mengusir suntuk kerja dengan mengajak kami ke Restoran Brazilia of Paradise nan megah mewah. Makanan kelas satu dan beberapa sudut ruangan ada aliran sungai dan pohon sintetis. Â
Tapi raut ketakpuasan tampak dari wajah ayah. Makanan yang terhidang di depan kami hanya ayah makan sedikit. Berbeda dengan aku dan ibu yang makan sangat lahap.
Beberapa hari kemudian keinginan ayah terkabul dengan pemberian cuti selama seminggu dari kantor. Sabtu pagi kami berangkat pukul sembilan pagi dan tiba di desa pukul tiga  siang.
Perjalanan yang rasanya cukup panjang bagiku karena usiaku masih 9 tahun.Â
Di sela-sela perjalanan untuk mengusir kepenatan dan kebosanan maka ibu mengajak bercerita dengan benda-benda yang dilihat selama perjalanan.