Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penguasa dan Kritik

9 Juni 2020   19:08 Diperbarui: 9 Juni 2020   20:05 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap Penguasa terhadap Kritik

Penguasa alergi dengan kritik karena kritik dianggap mencari-cari kesalahan untuk diumbar ke publik dengan tujuan menjelek-jelekkan dan syukur jika kesalahan itu semakin tampak membesar dan rakyat melakukan demonstrasi. 

Seperti tukang sate yang mengipasi bara api untuk matangnya daging sate, makin dikipas makin asyik, bukankah bara api menjadi penyulut.  

Karena itulah penguasa dengan berbagai cara menutup pintu rapat-rapat untuk masuknya kritik ke dalam rumah (baca; kekuasaan) dan menyudutkan orang-orang yang mengkritik dengan dalih menjaga kestabilan negara.

Pers dibungkam, akses internet di perlambat bahkan dicekal, aparat keamanan dikerahkan bermodalkan gas airmata, mobil water canon, pentungan bahkan senjata, adanya pasal karet dalam Undang-undang untuk membidik yang kritis.

Sampaikah di situ saja? Ternyata tidak. Perlahan-lahan terjadi penghalusan bahasa (eufisme), sebagai contoh orang yang korupsi (koruptor) yang dikenal sebagai perampok uang negara diperhalus bahasanya menjadi maling.

Orde Baru dengan Presiden daripada Soeharto menjadi contoh bagaimana eufisme itu merasuk dalam bahasa keseharian dengan mesin birokrasi atas nama pembangunan. 

Kelanggengan penghalusan bahasa ini menggunakan mesin birokrasi berupa Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI), birokrasi, dan Golkar ataukah mungkin melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia di masa itu?

Politik sebagai panglima merupakan bentuk bahasa lain yang "diperjual belikan''sehingga segala kritik yang muncul dari masyarakat diberangus langsung.

Di masa daripada Orde Baru ini, Soeharto adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah Soeharto maka segala bentuk kritik dari siapapun dan kalangan apapun dianggap penghinaan kepada kepala negara (presiden).

Belajar dari Cicero dan Cak Nun

Tampaknya siapapun para penguasa dan dimanapun perlu belajar kepada Marcus Tullius Cicero atau kita lebih mengenalnya sebagai Cicero. 

Pemikir terkenal sekaligus tokoh dari tanah Romawi Kuno yang seorang penulis, orator, filosof, dan politikus.

Sanjung puja-puji tak henti mengalir dari orang-orang kepada Cicero. Tak ingin larut dengan puja-puji sanjung yang melenakan diri dan manusia tak luput dari salah dan khilaf maka Cicero memperkerjakan seorang budak yang selalu berbisik kepadanya di tengah-tengah kerumunan orang yang mendengar ia berorasi.  

Cak Nun di website caknun.com dengan judul tulisan 'tiga orang' menjelaskan tentang orang bijak mengerti susahnya menjadi penguasa, orang pandai memahami beratnya menjadi penguasa, orang dungu merasakan enaknya jadi penguasa.

Lanjutnya lagi "Orang bijak mengerti kenapa sebisa mungkin jangan sampai ia menjadi penguasa, tetapi ringan hatinya untuk kehilangan kekuasaan.

"Orang pandai memahami bagaimana menjadi penguasa, serta memahami bagaimana mempertahankan kekuasaan."

"Orang dungu tidak tahu kenapa ia direkayasa menjadi penguasa, sehingga lebih tidak tahu lagi kenapa ia harus turun dari kursi kekuasaannya.

"Orang bijak tidak tahu bagaimana pasang muka. Orang pandai tahu persis bagaimana pasang muka. Orang dungu tahunya hanya pasang muka."

"Orang bijak berjuang menyelami hati rakyat. Orang pandai berupaya dipahami oleh hati rakyat. Orang dungu bergaya di depan hati rakyat.

"Orang bijak senang duduk di kursi tapi sebisa mungkin menghindarinya. Orang pandai senang duduk di kursi dan berjuang untuk mewujudkannya. Orang dungu senang duduk di kursi dan minta dukungan untuk tetap duduk di atasnya."

Apa benang merah antara apa yang dilakukan Cicero dan tulisan Cak Nun itu? 

Penguasa dalam bentuk kekuasaan yang dipegangnya besar atau kecil sangat memerlukan orang bijak -- bukan pandai dan dungu -- yang mengingatkan mana dari kritik yang emas dan loyang.

Daniel Dhakidae dan Membangun dengan Kritik

Daripada Soeharto untuk mempertahankan Orde Baru sebagaimana ditulis diatas melakukan penghalusan bahasa (eufisme). 

Kata ''kritik' yang bermakna pertimbangan baik dan buruk terhadap sesuatu disandingkan dengan kata 'membangun' maka jadilah ia 'kritik yang membangun'.

Ini penggababungan dua kata dan kebahasaan yang ganjil. Mana ada "kritik yang membangun" yang ada itu adalah "membangun dengan kritik." 

Sebab itulah Daniel Dhakidae bersuara keras dan lantang mengkritik istilah "kritik yang membangun" itu.

Menurut Daniel Dhakidae --doktor ilmu politik dan pemerintahan serta pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Redaksi Kompas-- kritik harus menghujam tajam, yang tampak mesti dikuliti karena ia berbeda dari yang tak tampak, dan menjelujur hingga ke jantung persoalan. Karena itu, kritik tidak mungkin berkawan dekat dengan bumbu pujian.

Kritik berbumbu pujian akan menjadi bukan kritik. Intinya kritik tidak sama dengan membangun, dan sudah semestinya memang tak perlu dan tidak berguna digabung-gabungkan. 

Maka kala seorang penguasa yang dikritik, baik secara pribadi maupun jabatannya, bukanlah objek yang diam dan harus mempertahankan diri.

Mereka adalah pelaku yang siap sedia dan seharusnya memperbaiki diri dengan kritik apa pun sebagai akibat dari jabatan publik yang melekat dan diemban di pundak mereka. Bukankah para penguasa tiada jaminan selalu bertindak benar.

Dengan demikian, setiap kritik wajar apabila akan diterima dengan lapang dada, akal yang menganalisa apa yang salah dan dimana letak salahnya dan disikapi dengan memperbaiki apa pun yang dilakukan salah pada saat itu sehingga menjadi benar.

Bukan dengan cepat menjawab "iya" di depan para pengkritik dan rakyat yang memperhatikan dan mengetahui tapi tiada melakukan apapun untuk memperbaikinya. Istilahnya No Action Talk Only (NATO), tiada aksi hanya bicara.

Mari membangun dengan kritik karena sesuatu yang dimulai dari yang salah maka keujungnya akan makin banyak kesalahan dan sebaliknya sesuatu yang dimulai dari yang benar maka keujungnya akan makin benar. Yang salah akan dibenarkan bukan pembenaran terhadap kesalahan.

Jamalludin Rahmat

Curup

09.062020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun