Penguasa dalam bentuk kekuasaan yang dipegangnya besar atau kecil sangat memerlukan orang bijak -- bukan pandai dan dungu -- yang mengingatkan mana dari kritik yang emas dan loyang.
Daniel Dhakidae dan Membangun dengan Kritik
Daripada Soeharto untuk mempertahankan Orde Baru sebagaimana ditulis diatas melakukan penghalusan bahasa (eufisme).Â
Kata ''kritik' yang bermakna pertimbangan baik dan buruk terhadap sesuatu disandingkan dengan kata 'membangun' maka jadilah ia 'kritik yang membangun'.
Ini penggababungan dua kata dan kebahasaan yang ganjil. Mana ada "kritik yang membangun" yang ada itu adalah "membangun dengan kritik."Â
Sebab itulah Daniel Dhakidae bersuara keras dan lantang mengkritik istilah "kritik yang membangun" itu.
Menurut Daniel Dhakidae --doktor ilmu politik dan pemerintahan serta pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Redaksi Kompas-- kritik harus menghujam tajam, yang tampak mesti dikuliti karena ia berbeda dari yang tak tampak, dan menjelujur hingga ke jantung persoalan. Karena itu, kritik tidak mungkin berkawan dekat dengan bumbu pujian.
Kritik berbumbu pujian akan menjadi bukan kritik. Intinya kritik tidak sama dengan membangun, dan sudah semestinya memang tak perlu dan tidak berguna digabung-gabungkan.Â
Maka kala seorang penguasa yang dikritik, baik secara pribadi maupun jabatannya, bukanlah objek yang diam dan harus mempertahankan diri.
Mereka adalah pelaku yang siap sedia dan seharusnya memperbaiki diri dengan kritik apa pun sebagai akibat dari jabatan publik yang melekat dan diemban di pundak mereka. Bukankah para penguasa tiada jaminan selalu bertindak benar.
Dengan demikian, setiap kritik wajar apabila akan diterima dengan lapang dada, akal yang menganalisa apa yang salah dan dimana letak salahnya dan disikapi dengan memperbaiki apa pun yang dilakukan salah pada saat itu sehingga menjadi benar.