Bahkan Koran Republika pada edisi Senin- di halaman Khazanah memberitakan tentang "kelompok kajian ilmu" yang diadakan oleh pemikir/ilmuwan muslim.Â
Kelompok kajian bisa dilakukan di sejumlah tempat, baik di rumah seorang cendekiawan, toko buku, atau tempat terbuka seperti masjid, perpustakaan dan lainnya.
Menariknya dari tulisan tentang kajian kelompok ilmu itu adalah dijadikannya tempat-tempat yang selama ini kita kenal namun diabaikan justru merupakan sebagai pusat pentransferan gagasan dan ilmu dengan tokoh-tokoh ternama seperti Ibnu Sina, Al Ma'ari --penyair Persia terkenal- dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya.Â
Artinya, tempat yang dianggap biasa ditangan orang luar biasa digunakan sebagai sarana untuk berbagi ilmu.
Maka, pertanyaanya adalah, telahkah kita melakukan hal seperti itu? Contoh yang lain, Al-Fadhail seorang ilmuwan yang berprofesi sebagai dokter dengan segala kesibukannya semisal mengunjungi pasien dan mengajar murid-muridnya ia masih ikut serta dalam kelompok kajian ilmu.
Ibnu Sina karena sibuk di siang hari sebagai dokter istana maka malam hari adalah waktu baginya untuk membaca, menulis dan berdiskusi.Â
Keterikatan mereka pada ilmu pengetahuan menyebabkan munculnya keinginan untuk berbagi dengan siapa saja.
Terlebih lagi bagi mereka tujuan ilmu adalah veistegea dei " mencari jejak Tuhan di muka bumi."
Karena keilmuan yang dibangun bermakna mentransfer, menganalisa, dan mencari untuk menyelesaikan persoalan manusia dan kemanusiaan dibawah terang cahaya ilahi.
Diskusi sebagai Tradisi Ilmiah di Perguruan Tinggi
Diskusi sebagai tradisi ilmiah di beberapa perguruan tinggi mulai memudar karena disibukkan dengan kerja rutin, administrasi kampus dan hal-hal lainnya.Â