Setamat dari bangku SMA di Purwokerto, Ahmad Tohari pernah berkuliah di Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976) tetapi tidak tamat dan memilih menetap tinggal di desanya, Tinggarjaya, mengasuh Pondok Pesantren Nahdatul Ulama Al Falah.
Tahun 1966-1967 di BNI 1946 Ahmad Tohari pernah bekerja sebagai tenaga honorer yang menggarap majalah perbankan. Juga pernah bekerja di majalah Keluarga dari tahun 1979 sampai 1981. Koran harian Merdeka, majalah Amanah dan majalah Kartini, Ahmad Tohari pernah menjadi redaktur.
Tahun 1070-an merupakan masa karya-karya diterbitkan walaupun semasa SMA, Ahmad Tohari telah menulis tapi hanya disimpan di laci meja belajar. Setamat SMA mulailah Ahmad Tohari mengirimkan karyanya ke berbagai media massa, antara lain ke Kompas.
Cerpennya berjudul "Jasa-Jasa buat Sanwirya" memenangi Hadiah Harapan Sayembara Cerpen Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (1977). Novel Di Kaki Bukit Cibalak memperoleh salah satu hadiah Sayembara Penulisan Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979. Novel Kubah yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai bacaan terbaik dalam bidang fiksi tahun 1980. Di tahun 1986 Novel Jantera Bianglala dinyatakan sebagai fiksi terbaik.
Novelnya yang berjudul Bekisar Merah meraih Hadiah Sastra ASEAN tahun 1995. Berkaitan dengan aktivitasnya di dunia tulis-menulis, tahun 1990 Ahmad Tohari mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat, selama tiga bulan. Resep yang ampuh untuk menjadi seorang penulis yang berhasil, menurut Ahmad Tohari, selain faktor bakat juga harus rajin berlatih menulis dan banyak membaca
Karya-karya Ahmad Tohari yang melintas batas Negara dan bahasa dengan antara lain, Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah diterbitkan dalam bahasa Jepang atas biaya Toyota Ford Foundation oleh Imura Cultural Co. Ltd. Tokyo, Jepang. Selain itu, trilogi novelnya, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Belanda dan Jerman.
Yayasan Lontar di tahun 2002 menerbitkan trilogi tersebut ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The Dancer tanpa ada bagian yang disensor. Sebelumnya, teks-teks yang disensor dari Ronggeng Dukuh Paruk yang diterbitkan Gramedia  tahun 1986 telah terbit di Swedia. Kini, setelah reformasi, Gramedia baru berani menerbitkan ulang trilogi tersebut menjadi satu buku yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (2002) dengan mengembalikan bagian-bagian yang dulu dihilangkan.
Karya Ahmad Tohari yang disalin ke bentuk lain yaitu film adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk yang difilmkan oleh Garuda Film dengan judul "Darah Mahkota Ronggeng". Novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1979) diubah menjadi bentuk sinetron. Novelnya yang lain adalah Lingkar Tanah Lingkar Air (1995).
Buku kumpulan cerpenya berjudul Senyum Karyamin (diterbitkan tahun 1989). Cerpennya yang lain adalah "Tanah Gantungan" dalam Amanah, 28 Desember 1992---Januari 1993, "Mata yang Enak Dipandang" dalam Kompas, 29 Desember 1991, "Zaman Nalar Sungsang" dalam Suara Merdeka, 15 November 1993, "Sekuntum Bunga telah Gugur" dalam Suara Merdeka, 7 Mei 1994, "Di Bawah Langit Dini Hari" dalam Suara Merdeka, 1 November 1993, "Pencuri" dalam Pandji Masjarakat, 11 Februari 1985, "Orang-Orang Seberang Kali" dalam Amanah, 15 Agustus 1986, "Ah, Jakarta" dalam Pandji Masjarakat, 11 September 1984, "Penipu yang Keempat" dalam Kompas, 27 Januari 1991, dan "Warung Panajem" dalam Kompas, 13 November 1994.
Rerata karya Ahmad Tohari (berbentuk novel maupun cerpen) berlatar desa dan orang-orang kecil yang ditindas oleh sistem yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru. Tahun 1982 Novel Ronggeng Dukuh Paruk terbit, berkisah tentang pergulatan penari tayub di dusun kecil bernama Dukuh Paruk pada masa pergolakan komunis.