Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komitmen Sosial dalam Karya Sastra

26 Juni 2019   23:07 Diperbarui: 26 Juni 2019   23:49 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Hendak Kemana Sastra?

Di suatu hari saya ber-sms-an dengan seorang teman tentang komitmen sosial sastra. Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana sastra terhubung dengan sosial? Lalu dijawab oleh teman itu, "Secara tidak langsung sastra menjadi gambaran realitas sosial yang terjadi. Tapi, belum semua sisi sosial itu digarap."

Seusai mendapatkan jawaban dari teman tersebut saya terdiam dan berpikir tentang dua hal. Pertama, jawabannya tentang sastra menjadi gambaran realitas sosial yang terjadi. Kedua, belum semua sisi sosial itu digarap.

Ribuan bahkan jutaan dari sekian abad manusia hidup sastra ditulis. Dari rentang waktu yang panjang, masa yang penuh peperangan dan perdamaian, tawa dan derai air mata, dipenjara dan diasingkan. Kata-kata yang dirangkai dari kepedihan dan kebahagiaan, kesengsaraan dan kemerdekaan jiwa, rangkaian aksara yang timbul dari segenap lahiriah dan batiniah.

Sastra hadir dengan memberi makna disadari ataupun tidak. Sastra menjadi pembangun peradaban manusia walaupu ini masih menimbulkan perdebatan. Bagi yang setuju, sastra adalah pembentuk peradaban berargumen bahwa, sastra telah memunculkan manusia-manusia yang mengokohkan hati dan membawa perubahan baik fisik dan psikis.

Sedangkan yang menolak, berdalil sastra hanya berdampak kepada orang per orang ---individual-- bukan kolektif yang terasakan bersama dan bermanfaat bak makanan yang sesudah dimakan buat perut kenyang.

Pontianak.tribunnews.com
Pontianak.tribunnews.com
Tulisan ini coba menyigi karya sastra dan komitmen sosialnya dari satu model jenis kritik sastra yaitu pragmatik dari empat model yang ada seperti kritik sastra mimetik, kritik sastra ekspresif dan kritik sastra objektif (Yudiono K.S, 44: 2009).

Pertama, kritik sastra mimetik berarti kritik sastra yang menekankan perhatian atau uraiannya kepada ketepatan atau kesesuaian karya sastra dengan objek yang dilukiskan.

Kedua, kritik sastra ekspresif berarti kritik sastra yang menelaah hubungan karya sastra dengan dunia batin ---pengalaman jiwa---si pengarang.

Ketiga, kritik sastra objektif berarti kritik sastra yang menelaah susunan karya sastra dengan kemungkinan membebaskannya dari dunia pengarang, pembaca, dan situasi zamannya.

Ketiga, kritik sastra pragmatik yaitu kritik sastra yang menelaah manfaat karya sastra bagi masyarakat atau pembaca.

Pada sisi kritik sastra pragmatik inilah sastra dan komitmen sosialnya diteropong. Teks bukanlah sesuatu yang mandiri dan otonom. Kesalahan dalam memperlakukan teks sastra hanya sebagai struktur yang berdiri sendiri. Teks sastra seolah-olah hanya deretan kalimat baku, tercerabut dari lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang yang melahirkannya.

Bagaimanapun juga, sastra merupakan perwakilan kegelisahan sastrawan. Ia muncul dari proses yang rumit pengamatan, pencermatan, pengendapan, dan pemaknaan sastrawan atas kehidupan ini.

Sastra sebagai fenomena tindak berkebudayaan ujar Maman S Mahayan dalam buku "Sastra yang Gundah: Kumpulan Esai Riau Pos 2009" coba diterjemahkan dan dicerminkan dalam bentuk karya sastra, di dalamnya tak terhindarkan, mendekam problem sosio-kultural. Sebab itu sesiapapun sastrawannya, karya yang dihasilkan tidak dapat tidak terlepas dari persoalan yang terjadi di sekitarnya, masalah yang berkecamuk di ruang masyarakatnya. Ketika itu tidak terjadi maka ia disebut a-sosial.

Sastra yang berkomitmen sosial adalah sastra yang menggambarkan realitas sosial yang terjadi kemudian dituangkan ke dalam puisi, prosa  (novel atau cerpen). Lalu bagaimana jika pertanyaan yang muncul tentang ukuran sebuah karya disebut sebagai sastra sosial.

Teringat saya akan sebuah sajak Subagio Sastrowardoyo dalam Catatan Pinggir-nya Goenawan Muhammad,

Kita takut kepada momok karena kata

Kita cinta kepada bumi karena kata

Kita percaya kepada Tuhan karena kata

Nasib terperangkap dalam kata

 

Deskgram.net
Deskgram.net
Sastra adalah Senjata

Karya sastra tak bisa melepaskan momen-momen pembebasan dalam proses kreatif. Emansipasi bukanlah hanya sesuatu yang terletak di masa depan. Ia terpaut erat dengan saat ini. namun, apapun perlakuan yang ditimpakan kepadanya, pengalaman pribadinya adalah juga pengalaman bangsanya, dan pengalaman bangsanya adalah juga pengalaman pribadinya.

Sebagian kecil atau besar atau seluruhnya, akan membuncah dalam tulisan-tulisannya dan akan kembali kepada bangsanya dalam bentuk kenyataan baru, kenyataan sastra. Hakikat fiksi karenanya adalah juga hakikat sejarah.

Sehingga Pramoedya Ananta Toer perlu menyatakan "Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tugas mengelola semua materi yang belum selesai itu dalam suatu karya sastra. Bukan mencerminkan atau memantulkan kejadian-kejadian, karena sastra tidak bertugas memotret, tetapi mengubah kenyataan-kenyataan hulu menjadi kenyataan sastrawi, yang membawa pembacanya lebih maju daripada yang mapan."

Sastrawan adalah orang-orang yang sarat imajinasi dan simbol-simbol. Tapi ungkaian kata-kata yang ditulis dalam bentuk sajak, prosa, dan puisi kemudian dibaca oleh publik adalah refleksi dari keadaan masyarakat yang mengharapkan keadaan lebih baik.

Sastra adalah kebutuhan masyarakat yang melihat dirinya sendiri disana tanpa rasa diburu-buru dan rasa takut. Sastra bukanlah barang mewah buat masyarakat. Ia merupakan "makanan" dan "minuman" sehari-hari. Pada akhirnya, setiap aksara atau kata adalah senjata yang dapat melumpuhkan apa saja tergantung siapa dibelakangnya. 

JR

Curup

26.06.2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun