Karya sastra tak bisa melepaskan momen-momen pembebasan dalam proses kreatif. Emansipasi bukanlah hanya sesuatu yang terletak di masa depan. Ia terpaut erat dengan saat ini. namun, apapun perlakuan yang ditimpakan kepadanya, pengalaman pribadinya adalah juga pengalaman bangsanya, dan pengalaman bangsanya adalah juga pengalaman pribadinya.
Sebagian kecil atau besar atau seluruhnya, akan membuncah dalam tulisan-tulisannya dan akan kembali kepada bangsanya dalam bentuk kenyataan baru, kenyataan sastra. Hakikat fiksi karenanya adalah juga hakikat sejarah.
Sehingga Pramoedya Ananta Toer perlu menyatakan "Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tugas mengelola semua materi yang belum selesai itu dalam suatu karya sastra. Bukan mencerminkan atau memantulkan kejadian-kejadian, karena sastra tidak bertugas memotret, tetapi mengubah kenyataan-kenyataan hulu menjadi kenyataan sastrawi, yang membawa pembacanya lebih maju daripada yang mapan."
Sastrawan adalah orang-orang yang sarat imajinasi dan simbol-simbol. Tapi ungkaian kata-kata yang ditulis dalam bentuk sajak, prosa, dan puisi kemudian dibaca oleh publik adalah refleksi dari keadaan masyarakat yang mengharapkan keadaan lebih baik.
Sastra adalah kebutuhan masyarakat yang melihat dirinya sendiri disana tanpa rasa diburu-buru dan rasa takut. Sastra bukanlah barang mewah buat masyarakat. Ia merupakan "makanan" dan "minuman" sehari-hari. Pada akhirnya, setiap aksara atau kata adalah senjata yang dapat melumpuhkan apa saja tergantung siapa dibelakangnya.Â
JR
Curup
26.06.2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H