Ketiga, kritik sastra pragmatik yaitu kritik sastra yang menelaah manfaat karya sastra bagi masyarakat atau pembaca.
Pada sisi kritik sastra pragmatik inilah sastra dan komitmen sosialnya diteropong. Teks bukanlah sesuatu yang mandiri dan otonom. Kesalahan dalam memperlakukan teks sastra hanya sebagai struktur yang berdiri sendiri. Teks sastra seolah-olah hanya deretan kalimat baku, tercerabut dari lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang yang melahirkannya.
Bagaimanapun juga, sastra merupakan perwakilan kegelisahan sastrawan. Ia muncul dari proses yang rumit pengamatan, pencermatan, pengendapan, dan pemaknaan sastrawan atas kehidupan ini.
Sastra sebagai fenomena tindak berkebudayaan ujar Maman S Mahayan dalam buku "Sastra yang Gundah: Kumpulan Esai Riau Pos 2009" coba diterjemahkan dan dicerminkan dalam bentuk karya sastra, di dalamnya tak terhindarkan, mendekam problem sosio-kultural. Sebab itu sesiapapun sastrawannya, karya yang dihasilkan tidak dapat tidak terlepas dari persoalan yang terjadi di sekitarnya, masalah yang berkecamuk di ruang masyarakatnya. Ketika itu tidak terjadi maka ia disebut a-sosial.
Sastra yang berkomitmen sosial adalah sastra yang menggambarkan realitas sosial yang terjadi kemudian dituangkan ke dalam puisi, prosa  (novel atau cerpen). Lalu bagaimana jika pertanyaan yang muncul tentang ukuran sebuah karya disebut sebagai sastra sosial.
Teringat saya akan sebuah sajak Subagio Sastrowardoyo dalam Catatan Pinggir-nya Goenawan Muhammad,
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Â