Menelisik proses kreatif Kuntowijoyo dalam sastra membuat kita terheran sekaligus kagum. Ia tak memiliki resep khusus dalam menulis dan menulis begitu saja. Di rasanya baik untuk ditulis maka ia tuliskan. Pun jika kemudian orang-orang menemukan sesuatu dari karyanya atau tidak sejalan dengan karyanya, itu merupakan masalah lain.
Heran dan kagum kita akan bertambah bahwa Kuntowijoyo kemana-mana mengantongi sebuah buku kecil (notes) untuk mencatat ide-ide yang muncul secara kebetulan.Â
Bahkan novel Khutbah di Atas Bukit yang membuat namanya melambung dan pernah di muat di Koran Kompas sebagai cerita bersambung, ternyata ditulisnya hanya sambil lalu di sela-sela waktu mengajar.
Kuntowijoyo bangun tidur sekitar jam 03.30. Kemudian shalat tahajud, shalat fajar dan berzikir. Selepas itu ia menulis sampai azan subuh. Usai shalat Subuh meneruskan lagi menulis.Â
Setelah jalan pagi Kuntowijoyo melanjutkan menulis lagi. Siang hari ia tidur, sorenya kembali menulis. Di atas jam 8 malam menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga jam 02.00 wib.Â
Meminjam pendapat M.H. Abrams bahwa karya sastra memiliki empat sisi dasar: pengarang, masyarakat, teks karya dan pembaca yang berujung munculnya pendekatan hubungan karya sastra dengan pengarang (baca: ekspresif), hubungan peniruan karya sastra dengan fenomena yang terjadi (baca: mimetik), memandang teks dengan objektif (baca: objektif), dan bagaimana karya sastra dibaca dan bermanfaat  bagi pembaca (baca: pragmatik).
Biasanya para sastrawan memiliki "prinsip bersastra" dan pengendapan masa lalu yang kemudian tercermin dari karya sastra yang dibuat. Prinsip bersastra Kuntowijoyo yaitu berisikan bangunan pengalaman, bangunan daya pikir untuk membayangkan, dan pesan yang disampaikan ke pembaca. Ketiga prinsip sastra Kuntowijoyo itu disebut dengan strukturisasi pengalaman, strukturiasi imaji dan strukturisasi nilai menurut Amien Wangsitalaja yang juga sastrawan Indonesia.
Karenanya dapat dipahami pada karya-karya sastra Kuntowijoyo kental dengan tiga struktur tadi seperti novel "Khutbah di Atas Bukit" dan kumpulan sajak yang dibukukan "Makrifat Daun, Daun Makrifat."
Pun proses kreatif sastra Kuntowijoyo lahir dari dua cara: menulis sastra dari dalam dan menulis sastra dari bawah. Dua cara ini dijelaskan lebih lanjut oleh Wan Anwar (Wan Anwar, 2007: 6) dengan "menulis dari dalam" dimaksudkan peristiwa-peristiwa dalam karya sastra dipahami sebagaimana tokoh-tokohnya memahami dunianya sendiri. Ini dapat dilihat pada novelnya berjudul "Wasripin dan Satinah."Â Intinya, suara sang tokoh oleh Kunto tidak dijadikan sebagai alat kepentingan.
Sedangkan "menulis dari bawah" berarti Kuntowijoyo tidak berpendapat ilmiah yang ketat dalam menulis sastra. Sastrawan dengan karya yang dibuat hanya dituntut konsisten mendeskripsikan sang tokoh supaya sealur dengan tema dan plot. Intinya, sang sastrawan dalam berkarya di bimbing oleh "intuisi." Â
Beragam karya sastra (novel, cerpen, puisi) dihasilkan Kuntowijoyo untuk menyebut beberapa judul seperti, novel Pasar, Khutbah Di Atas Bukit, Mantra Pejinak Ular, Wasripin dan Satinah. Cerpen, Hampir Sebuah Subversi, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Puisi, Suluk Awang-Uwung, Makrifat Daun,Daun Makrifat.Â