Jadi saya hanya membahas secara lurus saja seperti sajian data-data, sangat terlalu berat bagi sekelas anak muda kemarin sore seperti saya kalau untuk pembahasan yang luas. Jadi saya hanya ingin membahas tentang Kabupaten Bima saja walau tulisan ini masih akan ditertawakan nantinya.
IDP (Independent Policy)
Independent Policy iyalah sederet sintesis dari kebangkitan state of mind para stakeholder secara presisi serta spekulatif yang prodeo dan tidak kontradiktif, narsisme, makar, lebih-lebih profan dalam menangani proses penyebaran covid-19 didaerah Kabupaten Bima, Independent policy harus melekat pada diri seorang pemimpin sehingga tidak ada tekanan yang membuatnya terlambat dalam mengambil keputusan untuk dijadikan sebagai simpul kebijakan.
Covid-19 undercover
Bupati lebih mematikan dari covid-19 dengan banyaknya rahasia dibalik pandemi, mungkin tidak terlalu sarkasme, sebanya dasar Peryataan ini iyalah simpul dari banyaknya elit negara didunia bahkan diindonesia yang di beri tanda pagar dengan perbandingan serupa karena mengganggu Independent policy dari policy maker pada saat proses penanganan covid-19.
Penanganan bupati Bima terhadap penyebaran covid-19 bukan saja lambat dan tidak presisi tapi juga banyaknya selipan proses marketing politik pribadinya pada aspek diri calon bupati yang masih mengumpulkan sales serta marketer politiknya di tempat-tempat yang dia tentukan, padahal dari sebagian masyarakat yang sadar sudah banyak melakukan social distancing dan diri calon bupati dari bupati Bima ini masih menyempatkan dirinya untuk sibuk dengan masker bersimbol “lanjutkan” berwarna kuning sedangkan tiap daerah semakin banyak yang terjangkit covid-19 gara-gara terlambat menangani. Kenapa saya menyatakan bupati lebih berbahaya, karena kalau tidak tepat dan cepat maka kematian akan meningkat.
Sebenarnya tanda-tanda kegentingan dari pemerintah sangat berpengaruh terhadap puncak kesadaran masyarakat, kalau hal demikian sudah dikumandangkan berarti pemerintah memiliki serangkaian ide-ide visioner dalam melihat penyebaran covid-19 ini, juga bisa dikatakan bahwa pemerintah punya rasa memiliki terhadap kondisi masyarakatnya.
Masyarakat kabupaten Bima masih sangat santai berkumpul bahkan proses asosiasi masyarakat sama sekali tidak memperhatikan himbauan serta keamanan dirinya detengah kegentingan pandemi global ini, apakah harus menunggu kesadaran masyarkat? Sedangkan masyarkat kabupaten Bima masih banyak yang cultural lag apalagi detengah pesatnya arus informasi atau era simulakrum ini, masyarkat sedang butuh pemerintah yang tidak profan bahkan narsis dengan kepentingan pribadi saat ini.
Pemerintah harus mampu mengedukasi masyarakat agar keluar dari kezholiman pikirannya sendiri yang tidak mampu melihat potensi cerdas dalam dirinya karena ditutupi oleh hegemoni dan sugesti hal-hal negatif pada tubuh pemerintah, bagaimana mau kooperatif sedangkan kebijakan pemerintah tidak mampu melerai ruang sadar masyarakat.
Diri seakan mati dan yang hidup hanya bayangan diri. Dua diri yang penulis potret lebih didominasi oleh kepentingan calon bupatinya bukan bupati, saya merasa tidak ada hal yang lebih penting selain dari humanisme.
Bergerak atas nama kemanusiaan adalah puncak fitrah kemanusiaan dalam diri siapapun termasuk policy maker, mungkin masyarakat harus menyatakan bupati Bima saat ini sudah terintegrasi dari tiga model diksi pada covid-19 ini yaitu bupati harus dinyatakan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan tidak Independen Policy (IDP) karena masih bergerak ke arah lain disaat nyawa manusia diujung jurang kehampaan.
Bupati dipantau karena tidak mampu mengedukasi masyrakat secara preseden, Bupati di awasi atas gerakannya yang lebih narsisme daripada humanisme, Dan Bupati tidak Independent Policy dengan konstruksi intrik-intrik politiknya yang masih terang-terangan ditampakkan ditengah ganasnya penyebaran covid-19 ini.
Kuasa sebagai Bupati dimanfaatkan hanya untuk kepentingan calon Bupatinya, sifat spekulan ini sungguh mendarah daging pada tubuh penguasa yang harusnya memikirkan surplus terhadap sanitasi agar stigma sedikit bergeser menjadi lebih positif, hal ini memang riskan Tapi kekuasaan yang dimiliki harus benar-benar diproyeksi untuk penanganan covid-19 karena selain dari himbauan hajat hidup masyarakat juga bergantung pada distribusi kebijakan yang tepat.