Mohon tunggu...
Fajrin Haerudin
Fajrin Haerudin Mohon Tunggu... Penulis - Pecinta Kopi

Kopi Biar Sehat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Covid 19 Undercover: ODP, PDP, dan IDP “Potret Regresi Penanganan Covid-19 di Kabupaten Bima”

10 April 2020   20:47 Diperbarui: 11 April 2020   14:33 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Fajrin Haerudin

“Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia” saya mengawali tulisan ini dengan kata bijak dari seorang tokoh yang pertama kali memeluk agama Islam. Yaitu Ali Bin Abi Thalib keluarga dari Nabi Muhammad yang lahir di Mekkah Arab Saudi 15 September 601 M dan beliau mengakhiri hidupnya di Masjid Agung Kufah Irak pada 29 Januari 661 M, saya sengaja mengawalinya dengan kebijaksanaan kata Ali Bin Abi Thalib diatas untuk melerai state of mind manusia-manusia tidak humanis dalam menangani penyebaran covid-19 yang sedang menjadi cobaan bagi dunia termasuk negara tempat saya berpijak yaitu Negara Republik Indonesia tercinta, fenomena tragis ini menimpa tanpa batas sadar dari berbagai aspek terhadap masyarakat yang seakan mengejar fatamorgana dengan ceceran air mata diatas aspal panas mematikan.

Sebelum masuk ke Pembahasan, saya sedikit ingin menyatukan persepsi agar ada keselarasan dalam menyudutkan istilah pada tulisan ini yang takutnya paradoks kalau tidak dideskripsikan terlebih dahulu. 

Istilah IDP dalam tulisan ini bukanlah singkatan dari nama Bupati Kabupaten Bima yaitu “Indah Damayanti Putri” melainkan istilah tambahan yang lahir dari ide saya setelah resah melihat proses penanganan penyebaran covid-19 yang sangat tidak eksplisit pada aspek informasi. Sampai presiden Republik Indonesia “Jokowi minta masyarakat batasi konsumsi berita agar tidak stres”(link), jadi istilah IDP dari ide saya yaitu “Independent Policy” atau kebijakan independen. Karena saya mengamati beberapa media mainstream yang memuat himbauan, keputusan, sampai kebijakan para policy maker dinegara ini banyak sekali yang tidak independent policy dalam menangani penyebaran covid-19. 

Bahkan ketidakselarasan makin menggila dari kebijakan-kebijakan dalam penanganan penyebaran covid-19 ini. WNA, TKA tetap masuk, Masyarakat disuruh Social Distancing, Urusan masker tumpang-tindih antara Presiden, WHO, Menkes, dan Stafsuf Presiden, Pembebasan Napi yang menyimpan misteri, sampai ke perdebatan diksi-diksi kebijakan antara Lock Down, Darurat Sipil, dan Karantina Wilayah. Sangat ambigu karena banyak sekali broker-broker friksi yang seakan menyalip di tikungan walau oli mesinnya bocor, sungguh tidak humanis dan tidak asketik. 

Hal ini membuat saya berpikir kalau independent policy dalam setiap diskresi yang berdasar pada State Of Mind sangat diperlukan karena ketepatan dan kecepatan menentukan angka kematian, jadi itulah sedikit deskripsi dari istilah IDP yang saya masukan di tulisan ini semoga tidak sensitif.

ODP (Orang Dalam Pemantauan)
Orang Dalam Pemantauan atau Status ODP diberikan kepada mereka yang memiliki gejala panas badan atau gangguan saluran pernapasan ringan, dan pernah mengunjungi atau tinggal di daerah yang diketahui merupakan daerah penularan virus tersebut (link).

Kini ODP di Indonesia melonjak signifikan pada Kamis (9/4) 2020. Ada penambahan 337 kasus sehingga menjadi 3. 293 kasus (link).

PDP (Pasien Dalam Pemgawasan)
Pasien Dalam Pemgawasan atau lebih tepatnya yaitu Status PDP diberikan kepada mereka yang memiliki gejala Virus Corona Covid-19 yang kita ketahui secara umum seperti panas badan dan gangguan saluran pernapasan. 

Gangguan saluran pernapasan itu bisa ringan atau berat, serta pernah berkunjung ke atau tinggal di daerah yang diketahui merupakan daerah penularan Virus Corona Covid-19 (link). 

Kamis (9/4) 2020 Terdapat 40 kasus pasien meninggal dari konfirmasi positif Covid-19, sehingga totalnya 280 orang (link), saya tidak terlalu memberi varian ide-ide terhadap ODP Dan PDP karena ini tidak substansial. 

Jadi saya hanya membahas secara lurus saja seperti sajian data-data, sangat terlalu berat bagi sekelas anak muda kemarin sore seperti saya kalau untuk pembahasan yang luas. Jadi saya hanya ingin membahas tentang Kabupaten Bima saja walau tulisan ini masih akan ditertawakan nantinya.

IDP (Independent Policy)
Independent Policy iyalah sederet sintesis dari kebangkitan state of mind para stakeholder secara presisi serta spekulatif yang prodeo dan tidak kontradiktif, narsisme, makar, lebih-lebih profan dalam menangani proses penyebaran covid-19 didaerah Kabupaten Bima, Independent policy harus melekat pada diri seorang pemimpin sehingga tidak ada tekanan yang membuatnya terlambat dalam mengambil keputusan untuk dijadikan sebagai simpul kebijakan.

Covid-19 undercover
Bupati lebih mematikan dari covid-19 dengan banyaknya rahasia dibalik pandemi, mungkin tidak terlalu sarkasme, sebanya dasar Peryataan ini iyalah simpul dari banyaknya elit negara didunia bahkan diindonesia yang di beri tanda pagar dengan perbandingan serupa karena mengganggu Independent policy dari policy maker pada saat proses penanganan covid-19.

Penanganan bupati Bima terhadap penyebaran covid-19 bukan saja lambat dan tidak presisi tapi juga banyaknya selipan proses marketing politik pribadinya pada aspek diri calon bupati yang masih mengumpulkan sales serta marketer politiknya di tempat-tempat yang dia tentukan, padahal dari sebagian masyarakat yang sadar sudah banyak melakukan social distancing dan diri calon bupati dari bupati Bima ini masih menyempatkan dirinya untuk sibuk dengan masker bersimbol “lanjutkan” berwarna kuning sedangkan tiap daerah semakin banyak yang terjangkit covid-19 gara-gara terlambat menangani. Kenapa saya menyatakan bupati lebih berbahaya, karena kalau tidak tepat dan cepat maka kematian akan meningkat.

Sebenarnya tanda-tanda kegentingan dari pemerintah  sangat berpengaruh terhadap puncak kesadaran masyarakat, kalau hal demikian sudah dikumandangkan berarti pemerintah memiliki serangkaian ide-ide visioner dalam melihat penyebaran covid-19 ini, juga bisa dikatakan bahwa pemerintah punya rasa memiliki terhadap kondisi masyarakatnya. 

Masyarakat kabupaten Bima masih sangat santai berkumpul bahkan proses asosiasi masyarakat sama sekali tidak memperhatikan himbauan serta keamanan dirinya detengah kegentingan pandemi global ini, apakah harus menunggu kesadaran masyarkat? Sedangkan masyarkat kabupaten Bima masih banyak yang cultural lag apalagi detengah pesatnya arus informasi atau era simulakrum ini, masyarkat sedang butuh pemerintah yang tidak profan bahkan narsis dengan kepentingan pribadi saat ini. 

Pemerintah harus mampu mengedukasi masyarakat agar keluar dari kezholiman pikirannya sendiri yang tidak mampu melihat potensi cerdas dalam dirinya karena ditutupi oleh hegemoni dan sugesti hal-hal negatif pada tubuh pemerintah, bagaimana mau kooperatif sedangkan kebijakan pemerintah tidak mampu melerai ruang sadar masyarakat.

Diri seakan mati dan yang hidup hanya bayangan diri. Dua diri yang penulis potret lebih didominasi oleh kepentingan calon bupatinya bukan bupati, saya merasa tidak ada hal yang lebih penting selain dari humanisme. 

Bergerak atas nama kemanusiaan adalah puncak fitrah kemanusiaan dalam diri siapapun termasuk policy maker, mungkin masyarakat harus menyatakan bupati Bima saat ini sudah terintegrasi dari tiga model diksi pada covid-19 ini yaitu bupati harus dinyatakan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan tidak Independen Policy (IDP) karena masih bergerak ke arah lain disaat nyawa manusia diujung jurang kehampaan. 

Bupati dipantau karena tidak mampu mengedukasi masyrakat secara preseden, Bupati di awasi atas gerakannya yang lebih narsisme daripada humanisme, Dan Bupati tidak Independent Policy dengan konstruksi intrik-intrik politiknya yang masih terang-terangan ditampakkan ditengah ganasnya penyebaran covid-19 ini.

Kuasa sebagai Bupati dimanfaatkan hanya untuk kepentingan calon Bupatinya, sifat spekulan ini sungguh mendarah daging pada tubuh penguasa yang harusnya memikirkan surplus terhadap sanitasi agar stigma sedikit bergeser menjadi lebih positif, hal ini memang riskan Tapi kekuasaan yang dimiliki harus benar-benar diproyeksi untuk penanganan covid-19 karena selain dari himbauan hajat hidup masyarakat juga bergantung pada distribusi kebijakan yang tepat. 

Masyarkat saat ini hanya menganggap pemerintah sedang main-main dalam menangani covid-19 ini sebab   pemerintah terlalu spekulan dengan intrik-intrik untuk diri calon Bupatinya, dan sekarang masyarakat hanya bergantung Pada kekuasaan yang anti humanisme serta profan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun