"Kita ke toilet dulu," mintaku. "Aku mau cuci muka."
Kami berjalan beriringan menuju toilet yang letaknya tak jauh dari mushalla. Saat kami berbelok, hampir saja aku menabrak seseorang. Buah dadanya yang sebesar kelapa nyaris saja tercium olehku. Dengan cepat aku mundur selangkah dan menegakkan kepala. Belum sempat minta maaf, aku malah terlanjur kaget melihat wajah orang itu. Orang itu adalah penyanyi dangdut yang memang terkenal karena buah dadanya daripada suaranya. Aku begitu takjub dan terpesona melihat artis yang sering muncul di televisi sedekat ini, bahkan kulit kami nyaris saja bersentuhan.Â
Mungkin mimik mukaku yang terlihat seperti penggemar fanatik, penyanyi dangdut itu yang seharusnya memarahiku malah tersenyum ramah padaku. Aku cepat-cepat menyingkir dari hadapannya, berlagak seperti penjaga pintu yang mempersilahkan seorang putri untuk masuk ke ruang pesta. Aku perhatikan ia berjalan hingga masuk ke balik pintu kaca, kemudian aku benar-benar merasa tergugah karena nyaris bertabrakan; buah dada penyanyi dangdut itu seperti tahu jelotot. Sepasang mataku yang tadi terasa begitu berat mendadak melotot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H