Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam; Bioskop di Ruang Sopir

26 Juli 2017   09:09 Diperbarui: 26 Juli 2017   09:15 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah memang tampangku terlihat lebih tua beberapa tahun dari usiaku yang sebenarnya? Aku akui, dibandingkan dengan teman-teman sepantaran, aku memiliki lebih banyak beban pikiran. Tentu saja, karena aku belum punya KTP, aku menyerahkan kartu pelajarku. Yang membuatku masih aneh, penjaga rental itu sepertinya masih tak sadar berapa usiaku sebenarnya. Barangkali ia mengira aku adalah anak SMA yang beberapa bulan lagi lulus sekolah.

Malam itu, ketika  seluruh orang di rumah telah tidur, diam-diam aku menonton film tersebut sendirian. Pembukaan film itu jauh dari kesan-kesan yang aku pikirkan sebelumnya; dimulai dari pertemuan tokoh utama laki-laki----diperankan oleh Antonio Banderas----dengan si sensual Angelina Jolie sebagai tokoh utama perempuannya di sebuah dermaga atau pelabuhan di Havana, Kuba. Hari itu merupakan pertemuan pertama mereka setelah berkenalan lewat iklan kontak jodoh pada sebuah surat kabar. Pertemuan itu juga diselingi beberapa keganjilan karena wajah sang perempuan tak seperti potret yang dikirimkan yang oleh si lelaki disimpan dibalik liontinnya. Namun karena perempuan yang ditemuinya lebih cantik daripada perempuan dalam foto, tanpa menunda-nunda waktu lagi, sepulang dari pelabuhan atau dermaga tersebut, mereka melangsungkan pernikahan dengan pesta kecil-kecilan yang tergolong mewah. Namun, sebagai suami istri meraka tak langsung tidur sekamar.

Cerita berjalan dengan runtut mengenai sejumlah kebahagiaan setelah pernikahan. Hingga akhirnya, beberapa hari setelah pernikahan tersebut, pasangan suami istri baru tersebut berjalan-jalan di sebuah perkebunan kopi, yang sekaligus membantah bahwa si suami yang mengaku sebagai pegawai perkebunan dalam surat-surat yang ditulisnya, sebenarnya adalah pemilik perkebunan kopi tersebut. Kemudian si suami memetik sebutir biji kopi untuk menunjukkan kualitas kopi yang ditanam di perkebunannya. 

Biji kopi yang ia putar-putar diantara jemari tangannya tersebut tiba-tiba terlempar dan masuk ke dalam belahan dada si istri barunya tersebut. Merasa canggung, si suami itu meminta maaf dan memasukkan tangannya untuk mengambil biji kopi tersebut yang terselip diantara belahan dada istrinya tersebut. Tiba-tiba suasana di sekitar mereka menjadi hening. Mereka saling bertatapan, membisu, dan seolah ragu-ragu mereka saling mendekatkan wajah untuk akhirnya mereka berciuman dengan penuh gairah. Adegan ciuman di perkebunan kopi itu tiba-tiba membawa mereka masuk ke dalam adegan malam pertama setelah beberapa hari pernikahan.

Selama beberapa menit lamanya aku menyaksikan adegan terlarang bagi remaja seusiaku. Jantungku berdebar-debar dan sepasang mataku seolah berusaha tak berkedip menyaksikan tayangan yang menurut aturan tak sesuai dengan norma-norma ketimuran. Yang menakjubkan dari itu semua, ada yang tiba-tiba mengeras dibalik celanaku.

Malam-malam berikutnya adegan pasangan suami istri dalam film tersebut melulu membayangi pikiranku. Segala imajinasiku soal rahasia dibalik kamar para pasangan suami istri digantikan oleh adegan Angelina Jolie yang saling bertumpang tindih dengan Antonio Banderas. Ketika bayangan film tersebut membuatku ereksi, diam-diam tangan kananku menyusup ke balik celana seperti seekor tikus yang celingak-celinguk keluar sarang karena takut kepergok terlihat manusia. Begitu aku merasakan ada sesuatu yang memancar dari kelamin kelelakianku, panas tubuh dan gairahku menjadi tenang kembali. 

Aku tak mengerti, dengan hanya membelai-belai dan membolak-balik organ kelelakian, aku merasakan sesuatu kenikmatan yang tak pernah sebelumnya aku rasakan sebagai anak laki-laki. Cepat-cepat aku ke kamar mandi untuk mencuci selangkangan dan berganti celana. Namun begitu aku memperhatikan apa yang terpancar dari kelaminku beberapa menit lalu saat menggosok celana dalamku sungguh di luar dugaan. Yang semula aku mengira itu adalah air kencing biasa, cairan itu malah serupa lendir yang mirip dengan ingus. Sejak itulah aku memaklumi ungkapan bahwa seorang lelaki takkan pernah tumbuh dewasa, karena berapapun usianya, seorang lelaki akan selalu ingusan. Hanya saja, sesuai dengan usia, lubang keluar dan cara keluarnya berbeda.

Dingin dan gelapnya ruang sopir ini membuat mataku mudah terkantuk-kantuk. Lagipula aku sudah menonton berkali-kali film Angelina Jolie yang berperan sebagai Lara Croft tersebut, sehingga aku merasa bosan untuk menyaksikannya sampai selesai. Aku menguap sekali dan mengulat untuk meregangkan otot-otot yang terasa tegang disekujur tubuh. Di bioskop yang tentunya juga berhawa dingin dan gelap seperti ruang sopir ini, aku yakin ada sejumlah penonton yang lebih memilih memejamkan mata daripada menyaksikan film yang tengah diputar hingga selesai.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan menyelipkan diri diantara tubuh-tubuh yang tengah berbaring. Ada yang telentang, menyamping, bahkan tengkurap seperti orang ketakutan. Saking banyaknya orang tidur, suara dengkuran saling bersahutan, berpadu dengan suara-suara yang keluar dari layar televisi. Begitu aku membaringkan badanku, sehati-hati mungkin agar tak menyenggol orang-orang di sebelahku, aku merasakan lantai yang terasa beku. Baru beberapa menit memejamkan mata, Iwin menggoyang-goyang bahuku.

"Bangun," bisiknya dengan nada suara yang dijaga selembut mungkin agar tak mengganggu tidur orang-orang di sekitarnya. "Saatnya masuk kerja."

Ia memperlihatkan jam tangannya padaku sambil menepuk-nepuk layarnya dengan jari telunjuk. Aku membuka mata pelan-pelan dan kembali menyesuaikan pandangan dengan pencahayaan minim di dalam ruang sopir ini. Di tempat segelap ini gerakan jarum jam tangan itu kurang jelas terlihat, tapi aku percaya saja omongan Iwin. Soal waktu aku takkan pernah mengerti; saat bekerja waktu terasa panjang dan membosankan, sementara saat rebah istirahat begini waktu rasanya bergerak dua kali lebih cepat dari biasanya. Dengan rasa malas, aku susah payah berdiri kembali seperti seorang lumpuh yang tengah terapi berjalan, kemudian aku tergopoh berjalan keluar dan mengenakan sepatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun