Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam: Perayaan Tahun Baru (2)

15 Juni 2017   09:07 Diperbarui: 15 Juni 2017   09:31 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Malam pergantian tahun baru kali ini aku memilih mengurung diri di dalam kamar kos, duduk di depan komputer, dan mulai mengetik. Dari tahun ke tahun inilah ambisiku; menyelesaikan sebuah tulisan atau membongkar tulisan terdahulu. Seraya berharap tahun baru kali ini atau setidaknya suatu saat kelak yang tak pernah pasti, aku akan mendapatkan pengakuan atas karya-karyaku.

Demi menjaga konsentrasi aku sengaja mematikan lampu kamar. Dibanding terang, meskipun terasa mencekam, gelap sedikit banyak membantuku lebih fokus pada pekerjaan dan menghindarkanku dari hal-hal yang mengganggu. Sorot biru yang terpancar dari layar komputer menjadi satu-satunya sumber penerangan di kegelapan kamar. Dengan begitu imajinasiku yang berkelebat dalam kepala bisa lebih jelas terlihat. Aku tak perlu tengok kanan kiri memperhatikan kondisi sekitar; cicak yang merayap di atas dinding, kecoa yang berlarian di sudut-sudut kamar, tumpukan buku, lemari pakaian dari serbuk gergaji yang pintunya telah lepas, ataupun sejumlah pakaian kucel yang tergantung di atas daun pintu, samar-samar terlihat dalam pandangan mata serta membisu merana seperti sekumpulan hantu lugu yang mengintai di balik kegelapan. Lebih dari itu, gelap membantuku menyembunyikan diri dan menjauhkanku dari kebisingan dunia yang aku benci.

Sambil berpikir hendak menulis apa, aku pandangi layar komputer lamat-lamat. Cahaya birunya yang tajam pelan-pelan menusuk bola mataku, yang seperti tak mengizinkanku membuka bola mata lebar-lebar, dan biar mataku bisa menyesuaikan dengan silaunya cahaya biru tersebut, dengan sendirinya mataku terpicing mencegah lebih banyak lagi cahaya biru yang masuk menyerang mata. Apabila  terus menerus begini mungkin suatu saat aku membutuhkan kaca mata.

Dengan segenap kecemasan, aku mulai menggerakkan jari-jari tanganku di atas tombol-tombol huruf. Rasa kaku di tangan tiap kali mulai mengetik perlahan-lahan melunak meskipun tak cukup luwes bergerak. Menulis yang katanya mudah, sebenarnya, setelah aku mengalami penolakan berkali-kali, sama sekali tidaklah mudah. Meja-meja redaksi di luar sana selalu punya alasan tertentu untuk menolakku. Meskipun tulisanku mengikuti segala teknik yang telah diajarkan sebagaimana seharusnya sebuah karya diciptakan tidaklah menjamin tulisanku dapat diterima dengan baik, bahkan ditolak secara mentah-mentah. Lebih-lebih, ada pula sejumlah penerbit yang tak pernah memberitahukan keputusannya bahwa apakah tulisanku ditolak atau tidak. Tetapi karena tak ada pemberitahuan apapun aku menganggap tulisanku pastilah ditolak.

Kegagalan demi kegagalan menjadikan mentalku tertekan dan kerap merasakan bagaimana rasanya putus asa. Seharusnya fakta tersebut membuatku bertambah kuat, lebih ikhlas menerima keadaan, tapi kenyataannya aku malah makin lemah. Meski banyak ide berkelebat-kelebat dalam kepala, aku tak bisa langsung menuliskannya. Biasanya aku biarkan dulu ide-ide itu mengendap dan meresap masuk ke dalam otak; menunggu diri sendiri betul-betul yakin. Karena alasan-alasan itulah mungkin aku agak kesulitan merangkai kata per kata untuk membuat kalimat; tak tahu harus memulainya seperti apa. Begitu berhasil dituliskan aku juga tak langsung yakin. Kembali aku baca berulang-ulang, dan selalu saja apa yang telah aku tulis terasa jelek dan tak layak. Dan malam ini sebelum aku selesai mengetikkan sebuah kalimat pembuka, aku segera menghapusnya kembali.

Meskipun aku mulai tak yakin dengan apa yang aku lakukan, setidaknya menulis memberikanku sedikit penghiburan, membuatku barang sejenak melupakan ketakutan-ketakutanku sendiri yang terus meneror, membuatku berpikir optimis bahwa suatu saat aku akan penuh percaya diri meninggalkan pekerjaanku sebagai tukang cuci piring. Seperti malam ini aku ingin sekali menertawakan diri sendiri; aku tampak seperti penulis  betulan; menjauh dari keramaian, berteman sunyi, merenung, kemudian berpikir. Aku benci diriku sendiri karena tampaknya tanganku lebih berguna menggosok-gosok piring kotor daripada mengetik menciptakan kalimat.

Terdengar suara pintu diketuk. Aku mendengarkan suara ketukan tersebut, terdiam memperhatikan daun pintu dan bayangan hitam yang bergoyang-goyang di bawahnya, dan menunggu apa yang bakal terjadi berikutnya seakan-akan di balik kegelapan sana terdapat roh-roh halus yang meronta-ronta. Ketika pikiranku mulai terkonsenterasi sangatlah menjengkelkan mendengarkan suara gedoran semacam ini. Padahal aku telah berusaha semaksimal mungkin mengindari hal-hal yang mungkin akan mengganggu, berharap suara gedoran itu segera berlalu, kemudian aku kembali fokus pada pekerjaanku. Namun suara gedoran itu terdengar kembali, kali ini lebih keras dari sebelumnya, bahkan Iwin yang berdiri di balik pintu tersebut mulai memanggil-manggil namaku.

Iwin memamerkan deretan giginya begitu aku membukakan pintu. Cara ia tersenyum itu tampaknya ia ingin menyapaku lebih ramah daripada biasanya. Melihat penampilannya malam ini terlihat bahwa ia bersiap-siap jalan keluar dan menebar pesona. Tak seperti biasanya ia berdandan senecis ini. Ia pasti butuh waktu berjam-jam hanya untuk menyisir dan meminyaki rambutnya yang kasar itu. Dengan penampilan yang menurutnya keren itu, Iwin tampak yakin mampu bersaing dengan para pejantan lainnya di luar sana untuk memperebutkan hati para perawan. Aku yang tengah didera kemerosoton mental merasa iri melihatnya begitu bersemangat.

"Ayo," ajaknya. Ia kedip-kedipkan mata dan alisnya bergoyang naik turun, kemudian merentangkan tangannya seolah-olah meminta pendapatku bagaimana gayanya malam ini.

"Aku tidak keluar malam ini," ucapku yakin.

Di balik siratan wajahnya, Iwin tampak kecewa karena satu-satunya teman yang dapat diandalkan jalan bareng menolak ajakannya. Agak tercengang ia menatapku, lalu ia tertawa habis-habisan. Ia tak habis pikir ada seorang pemuda bersedia melewatkan keramaian tahun baru di luar sana. "Di malam tahun baru ada seorang pemuda mengurung diri di dalam kamar kos?" Iwin menggeleng-gelengkan kepala sambil mendecak-decakkan lidahnya. Kemudian ia menepuk-nepuk pipiku. "Mau jadi apa pemuda semacam itu kelak? Ayolah! Kita keluar malam ini seperti orang-orang. Jangan sumpek-sumpek melulu. Mumpung masih muda, kita manfaatkan kesempatan ini. Kalau tua mana bisa?"

Aku cukup tersinggung dengan perkataan Iwin tersebut. Sambil menahan gemuruh dalam dada, aku mencoba bersikap maklum karena pastinya Iwin tak bermaksud menghinaku. Namun, ketika ia bilang bahwa mau jadi apa pemuda semacam aku kelak, perkataan itu benar-benar menusuk kalbu. Aku merasa dikutuk oleh seluruh dunia dan menganggapku sebagai seorang pemuda yang tak punya guna sama sekali. Seandainya saja tulisan-tulisanku memberikan kepastian sebagaimana penghargaan yang diterima oleh para penulis terkemuka mungkin perasaanku takkan sesakit ini.

"Tahun baru," ucapku sambil menahan-nahan perasaan, "kebanyakan orang paling-paling tahunya hanya ganti kalender. Kalau sekadar pergantian angka, kita bisa saja tiap saat merayakan pergantian tanggal atau bulan."

Iwin tertawa melecehkan. "Tapi kita tak cukup punya uang buat merayakannya, bukan?" timpalnya bernada retoris. "Apalagi pesta tiap saat. Ini tahun baru, Yus. Banyak hiburan gratis."

Mengingat tahun-tahun belakang aku tak cukup punya alasan merayakan tahun baru malam ini. Mungkin aku terlalu pesimis menghadapi hidup, merasa yakin bahwa tahun ini paling-paling keadaanku sama saja, begini-begini juga seperti kemari-kemarin. Sebagai lelaki yang tak pernah memperoleh pencapaian apapun atas segala usahanya, aku merasa lebih tenang berpikir pesimis daripada dibuat kecewa terus oleh harapan.

"Tahun baru bukanlah momen istimewa," ucapku kemudian. "Lagi pula tahun baru belumlah berjalan---belum memberikan apa-apa kecuali janji dan harapan. Sementara di dalam janji dan harapan banyak terjadi kemungkinan. Lebih sering kita dibuat patah hati karenanya," sesaat aku terdiam demi mengambil nafas. "Tahun baru; apakah itu artinya kita merayakan ketidak-pastian? Mengapa kita merayakan sesuatu yang belum pasti? Lebih tepat tahun baru itu kita jadikan awal dari sebuah peringatan."

Melirik raut muka Iwin, aku yakin ia merasa jengkel dengan isi ceramahku tersebut. Aku sendiri merasa heran, yang dikenal sebagai lelaki pendiam, mampu mengeluarkan kalimat-kalimat bernada retoris langsung dari mulutku sendiri. Aku tak tahu bagaimana isi pikiran Iwin saat ini padaku; apakah ia menganggapku sok tahu atau memakluminya saja.

Peringatan, pikirku kembali, bukan perayaan. Menghitung-hitung umurku saat ini, aku bukanlah anak remaja lagi. Sangatlah menyakitkan mengingat umurku saat ini karena seharusnya aku mampu meninggalkan watak kekanak-kanakkan dalam jiwaku dan mampu menuntut diri sendiri untuk bersikap dewasa. Sejumlah teman semasa sekolah dulu bilang bahwa salah satu mencapai kedewasaan pikiran adalah pernikahan. Mudah saja mereka bilang begitu, yang menurut pandanganku mereka berkata demikian sebenarnya bertujuan mengolok-olokku. Tentu saja pilihan terbaik ketika itu adalah bersikap tabah. Karena pada kenyataannya sendiri justru para pelaku nikah muda kebanyakan adalah orang-orang yang belum mampu meninggalkan pergaulan remajanya, sementara orang yang berpikir dewasa kebanyakan justru lebih memilih kerja dulu. Persoalannya di usia sebanyak ini yang seharusnya aku punya karir yang menjamin atau setidaknya punya beberapa pencapaian kecil, faktanya aku belumlah menjadi apa-apa. Hidup tanpa pencapaian apapun ternyata lebih menyakitkan daripada melihat teman yang telah berkeluarga. Meskipun bagi teman-temanku pernikahan dan memiliki anak merupakan suatu pencapaian tersendiri.

Di kota besar seperti Jakarta ini usia tiga puluh masih tergolong muda. Tak ada persoalah serius apabila aku masih melajang, terutama aku adalah seorang lelaki. Aku cukup mengonsenterasikan diri pada pekerjaan. Persoalannya, ketika malam tiba dan tidur sendiri di dalam kamar sempit, diam-diam tanganku suka merayap ke balik celana dan membelai-belai benda yang berada di dalamnya. Bahkan ketika bulan puasa tiba hal tersulit bukanlah menahan lapar ataupun haus, melainkan syahwat yang sulit dikendalikan di balik celana. Libido seorang lelaki selalu lebih besar daripada kemampuannya, terutama di usiaku seperti sekarang adalah saat-saatnya puncak kegairahan seorang lelaki. Membayangkan teman-temanku saat itu benar-benar membuatku malu, karena mereka telah bisa mempergunakan kelamin mereka sebagaimana mestinya, sementara masturbasi malah menjadi jalan terakhir bagiku.

Tahun baru sungguh-sungguh momok mengerikan. Tanpa kenal ampun ia menambah angka ketuaan umurku sekaligus mengurangi waktu sisa hidupku. Kerapkali aku diselubungi ketakutan; bagaimana kalau-kalau umurku tak mencukupi untuk menghasilkan sebuah karya ataupun bertemu jodoh? Sementara kesempatan tak selalu datang tepat pada waktunya. Aku tak boleh menyia-nyiakan waktu sedetikpun. Malam ini telah aku niatkan, untuk memanfaatkan tiap detiknya, aku harus menulis. Tak boleh tidak.

"Kita tak selalu mendapatkan hiburan besar-besaran seperti malam tahun baru, Yus," kilah Iwin kembali.

"Bersenang-senanglah." Sebelum Iwin berhasil memaksaku, aku dorong ia keluar dan kembali menutup pintu.

Selain rekan satu kerja, Iwin tinggal tepat di sebelah kamar kosku dan menjadi tetanggaku satu-satunya. Memang di sini hanya terdapat dua pintu kamar kos. Padahal kalau mau induk semang kami bisa membuat satu-dua pintu kamar lagi. Tapi sisa ruang kosong itu malah dijadikan ruang duduk dan santai. Di waktu senggang aku kerap menghabiskan waktu dengan membaca buku sambil tiduran di atas sofa di ruangan ini. Hidup induk semang kami tampaknya sudah cukup sejahtera. Semua anaknya telah menikah. Jadilah ia tinggal sendiri di rumah ini dan mengurus segala sesuatunya juga sendiri. Motivasinya membuka kos barangkali didasari kondisi mentalnya. Ia tak mau kesepian di masa tuanya. Sekaligus biar lantai atas rumahnya tak menjadi sarang tikus ataupun laba-laba.

Mendapatkan kamar kos seperti yang aku tempati saat ini----murah dan cukup layak--- di Jakarta ini sungguh untung-untungan. Berkali-kali aku berpindah tempat dan mengeluhkan banyak hal. Persoalan utamanya selalu saja tentang kebersihan dan kelayakan, karena hampir semua kamar kost murah di Jakarta lebih menyerupai kandang ternak; dibangun berdasarkan demi uang semata tanpa berminat mengelola usaha kamar kosnya sebagai tempat tinggal yang diperuntukkan manusia. Tak heran awal-awal kedatanganku di Jakarta langsung dijangkiti penyakit orang-orang miskin, yakni gatal-gatal kulit dan batuk-batuk.

Apabila aku cukup punya uang hal demikian mungkin takkan terjadi. Dengan tumpukan uang di kantong aku dapat menyewa kamar kos yang bagus dengan fasilitas lengkap. Sementara aku hanya mampu tinggal di kamar kos murah yang harga sewa per bulannya hampir menghabiskan separuh dari penghasilanku. Sebenarnya apabila dihitung-hitung, dengan berbagai fasilitas yang diberikan, kamar kos bagus di Jakarta lebih murah daripada kamar kos murahan. Perumpamaan terdekatnya seperti orang miskin yang membeli rokok ketengan, sementara orang kaya minimal sebungkus rokok. Tentu saja membeli rokok ketengan harganya lebih mahal daripada bungkusan. Barangkali sudah nasibnya orang yang memiliki sedikit uang; segala-galanya menjadi mahal, tapi tetap saja dianggap manusia tak berkelas.

Kamar kos murah, dengan kondisinya yang menyerupai kandang ternak, seperti yang telah diketahui tidaklah sebanding dengan penghasilan para pekerja seperti aku. Biasanya untuk menghemat kami mengajak beberapa teman kos bersama. Malangnya, bagi orang-orang seperti kami, memperoleh kamar kos dengan air mandi berbau kaporit dan gampang keluar masuk jamban, asalkan ada tempat berteduh dan tidur, sudah lebih mencukupi.

Masih teringat jelas saat aku mendapatkan kamar kos yang kini aku tempati. Keinginanku mencari tempat kos baru karena didorong perasaan tidak betah tinggal di kamar kos dengan kondisi yang menyedihkan, yang membuatku merasa dikutuk menjadi seekor kambing. Hari itu, dibawah terik matahari, di Jalan Kebon Sayur belakang Grand Indonesia, aku berputar-putar seperti orang linglung, menembusi gang demi gang, bertanya dari satu pintu ke pintu berikutnya. Ketika aku mulai kelelahan dan putus asa, berpikir bahwa di sekitar sini tak ada kamar kos kosong, tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak-teriak seakan-akan memanggilku. Dikarenakan suara itu cukup keras terdengar, aku menoleh ke belakang. Seorang perempuan penuh baya melambaikan tangan kearahku. Aku pikir ia hendak memberitahuku bahwa dompetku telah terjatuh, tapi begitu aku berdiri tepat dihadapannya, ia bertanya, "Lagi cari kos, ya?"

Sambil mengelap keringat dan menahan haus, aku mengangguk pasti. Perempuan itu, yang usianya berkisar di atas enam puluhan atau tujuh puluhan, lantas membuka pagar rumahnya dan mengajakku masuk. Ia menuduhkan sebuah kamar kosong di lantai atas rumahnya. Seperti kamar kos murah di Jakarta seumumnya, kamar ini juga berdinding triplek dan kayu, tapi setidaknya kamar ini terkesan lebih rapi dan bersih. Sebagai orang yang telah berpindah-pindah tempat kos, kamar kos ini terbilang cukup layak ditempati oleh seorang manusia; ada kasur, meja kecil, lemari, dan stop kontak yang masih utuh. Si Ibu menawarkan harga sewa pasaran. Karena harga pasaran pun terbilang agak mahal, dengan sedikit menghiba-hiba aku coba menawar. Tanpa adu debat ataupun bersikeras, tak disangka-sangka, si Ibu bersedia menurunkan harganya sekian rupiah. Di kota kapitalis dan materialis seperti Jakarta, yang memiliki tingkat urbanisasi sangat tinggi, hal yang langka harga sewa kost dapat ditawar. Aku yakin tujuan Ibu ini menyewakan kamar kosong di rumahnya bukanlah soal uang.

Karena berpengalaman bahwa sekamar bersama beberapa kawan tidaklah menenangkan dan dituntut selalu bersikap toleran, aku memutuskan kos sendiri di sini. Lagi pula aku termasuk orang yang suka menyendiri dan pendiam. Iwin yang semula berminat tinggal bersamaku, aku tolak dan malah menyarankannya untuk mengisi kamar sebelahnya. Mungkin karena ia juga merasa lebih nyaman tinggal sendiri, ia tak mengajak beberapa kawannya untuk tinggal bersama. Aku bersyukur Iwin bertindak begitu dan merasa tak keberatan ketika harus mengeluarkan uang sewa kost lebih besar daripada biasanya. Sehingga di dalam suasana yang hening ini aku bisa menekuni hobi menulisku tanpa rasa terganggu.

Kembali aku duduk di depan layar komputer. Karena belum satu kalimat pun yang berhasil aku ketik, perasaan benci pada diri sendiri tumbuh makin besar. Begitu aku berhasil mengetikkan sebuah kalimat, aku langsung hapus lagi. Saat itulah aku teringat bahwa biar para pembaca terus tertarik membaca tulisanku sampai akhir, aku harus memulainya dengan kalimat yang bikin penasaran ataupun penuh sensasional. Teknik itu aku dapatkan saat mengikuti pelatihan-pelatihan menulis. Tapi teknik semacam itu ternyata cukup sulit diterapkan karena aku percaya selera tiap orang berbeda-beda; bagus menurut seseorang, belum tentu orang lain ikut sepakat.

Memikirkan teknik justru membuatku terjebak. Teknik yang seharusnya membuat pekerjaanku terasa lebih mudah, malah terasa menyiksa pikiran dan menguras isi otakku. Barangkali selama ini aku salah dan tak pernah menyadari adanya kesalahan tersebut. Meskipun aku telah menerapkan teknik-teknik yang telah diajarkan, aku tak pernah mampu menulis yang sepatutnya. Bahkan ibuku sendiri meragukan apakah menulis mampu menjamin masa depan anaknya. Konyolnya aku sendiri tak mampu menjawab keraguannya.

Dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana dan keterbatasan ekonomi, aku hidup berdasarkan banyak harapan dan meyakini bahwa suatu saat kelak harapan-harapan itu dapat menjadi kenyataan. Barangkali berkat harapan itulah, meskipun aku kerap didera rasa putus asa, aku tetap mampu terus melangkah. Ibu, yang tak memiliki harta apapun untuk diwariskan, menginginkan anaknya bekerja sewajarnya dan tak terbuai harapan-harapan palsu; melakukan sesuatu yang pasti-pasti saja. Seperti kebanyakan orang di kampungku; bekerja di pabrik dan mendapatkan gaji yang jelas tiap bulannya. Aku tahu maksud Ibu bukan karena ia ingin memupuskan harapan anaknya, tetapi ia merasa sakit hati apabila melihat anaknya menderita karena harapan yang terlalu tinggi.

Demi menenangkan perasaan Ibu akhirnya aku bekerja di pabrik dan menjalani kehidupan buruh yang serba monoton. Menurut Ibu, kita sebagai orang dari kalangan sederhana, janganlan terlalu banyak tingkah. Ia meyakini bahwa orang-orang seperti kami seperti ditakdirkan harus bekerja lebih menggunakan tenaga ketimbang pikiran. Tentu saja bekerja menggunakan tenaga sangat sedikit memberikan kebanggaan. Menurutku seorang manusia harus melakukan sesuatu yang bisa membuatnya sombong, kemudian demi mendapatkan limpahan pujian, ia harus mampu bersikap rendah hati dan memperlihatkan diri bak sesosok malaikat.

Meski tak cukup alasan untuk berlaku sombong, penghasilanku sebagai buruh pabrik sebenarnya cukup lumayan, tapi ada sesuatu yang tak bisa memuaskanku, tak ada sesuatu yang mengisi relung-relung kosong dalam jiwaku. Hidup menjadi buruh pabrik sekadar menunggu gaji karena itulah satu-satunya kebahagiaan duniawi yang dimiliki dan selalu merasa emosional tiap kali gaji datang terlambat ataupun tak kunjung naik. Melihat para buruh kerap berbondong-bondong menuju ibukota makin menjelaskan kepadaku tentang seharusnya menjalani hidup sebagai manusia sejati.

Untuk menghindari Ibu dan enggan mengecewakannya lagi, aku melarikan diri ke Jakarta dan bekerja di sebuah restoran. Rupa-rupanya di sini aku malah dikutuk oleh sumpahku sendiri; bekerja sebagai pencuci piring yang nasibnya tak jauh beda dengan buruh pabrik. Seperti orang yang dilahirkan secara massal, aku tidaklah menonjol dan kerap dilupakan. Tapi setidaknya aku tak perlu melihat wajah kekhawatiran Ibu karena anaknya menulis.

Mengingat kondisi hidup yang selalu tak memungkinkan, barangkali tujuanku menulis tak lain demi uang. Tapi karena aku telah gagal berkali-kali, rasa-rasanya ini lebih dari sekadar uang. Meski menulis tak menjanjikan pangkat dan harta, malahan menguras isi kantong, nyata-nyatanya aku masih saja menulis. Kata per kata, kalimat per kalimat, yang aku tuliskan itulah hidupku. Dengan segala rasa sakit, aku mengerti, arti kesuksesan bagi seorang penulis akan lain dari sewajarnya. Tak seperti para usahawan, ia tak perlu memerlukan peluang untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya. Seorang penulis mesti rela dipandang orang sebagai manusia gagal seumur hidup.

Persoalannya, dengan menulis, apakah Ibu akan bangga padaku? Seperti orang-orang seumumnya, mungkin Ibu menganggap kalau menulis dan membaca adalah pekerjaan para pemalas; banyak berpikir tapi tak tahu kerja. Kalau aku terus menulis aku akan menjadi manusia egois. Pemikiran-pemikiran itulah yang membuatku takut dan kehilangan daya cipta. Lima belas tahun berjalan namun usahaku belum memperlihatkan hasil apapun. Malahan makin kemari aku merasa apa yang aku harapkan selama ini makin jauh tenggelam. Hidupku makin terasa tak nyata; hanya melayang-layang tak tentu arah.

Seandainya sejak awal aku berjualan, waktu lima belas tahun dapat mengantarkanku menjadi seorang pedagang besar atau setidaknya memiliki sebuah toko. Sementara menulis seolah kutukan yang mesti aku tanggung dan tiap usaha yang aku lakukan merupakan pengkhianatan terhadap keberlangsungan hidupku sendiri. Pada saat itu aku ingin menyumpahi diri sendiri karena terlalu berpikir idealis bahwa aku ingin melihat hidup lebih sebagai ilmu, bukan peluang. Seolah-olah merasa jijik, aku bahkan meringis tiap kali mendengar kata peluang.

Sekali lagi aku hapus kalimat pembuka yang berhasil aku tulis. Kali ini aku tak bisa menampik kata-kata Iwin. Untuk menjernihkan pikiran kembali, aku butuh keluar dan menghirup suasana baru. Kegelapan yang menyelubungi kamar kost dan himpitan dinding-dinding bak ruang isolasi penjara takkan mampu memberikan banyak ilham. Aku memutuskan mematikan komputer, kemudian ambil jaket dan keluar.

Ternyata Iwin belum berangkat. Ia duduk di atas sofa sambil asyik memencet-mencet tombol telepon genggamnya. Ia agak terkesiap melihatku menutup pintu dan menguncinya dari luar. Jadilah kami berangkat bersama untuk melihat ledakan kembang api tahun baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun