Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam: Perayaan Tahun Baru (2)

15 Juni 2017   09:07 Diperbarui: 15 Juni 2017   09:31 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Meski tak cukup alasan untuk berlaku sombong, penghasilanku sebagai buruh pabrik sebenarnya cukup lumayan, tapi ada sesuatu yang tak bisa memuaskanku, tak ada sesuatu yang mengisi relung-relung kosong dalam jiwaku. Hidup menjadi buruh pabrik sekadar menunggu gaji karena itulah satu-satunya kebahagiaan duniawi yang dimiliki dan selalu merasa emosional tiap kali gaji datang terlambat ataupun tak kunjung naik. Melihat para buruh kerap berbondong-bondong menuju ibukota makin menjelaskan kepadaku tentang seharusnya menjalani hidup sebagai manusia sejati.

Untuk menghindari Ibu dan enggan mengecewakannya lagi, aku melarikan diri ke Jakarta dan bekerja di sebuah restoran. Rupa-rupanya di sini aku malah dikutuk oleh sumpahku sendiri; bekerja sebagai pencuci piring yang nasibnya tak jauh beda dengan buruh pabrik. Seperti orang yang dilahirkan secara massal, aku tidaklah menonjol dan kerap dilupakan. Tapi setidaknya aku tak perlu melihat wajah kekhawatiran Ibu karena anaknya menulis.

Mengingat kondisi hidup yang selalu tak memungkinkan, barangkali tujuanku menulis tak lain demi uang. Tapi karena aku telah gagal berkali-kali, rasa-rasanya ini lebih dari sekadar uang. Meski menulis tak menjanjikan pangkat dan harta, malahan menguras isi kantong, nyata-nyatanya aku masih saja menulis. Kata per kata, kalimat per kalimat, yang aku tuliskan itulah hidupku. Dengan segala rasa sakit, aku mengerti, arti kesuksesan bagi seorang penulis akan lain dari sewajarnya. Tak seperti para usahawan, ia tak perlu memerlukan peluang untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya. Seorang penulis mesti rela dipandang orang sebagai manusia gagal seumur hidup.

Persoalannya, dengan menulis, apakah Ibu akan bangga padaku? Seperti orang-orang seumumnya, mungkin Ibu menganggap kalau menulis dan membaca adalah pekerjaan para pemalas; banyak berpikir tapi tak tahu kerja. Kalau aku terus menulis aku akan menjadi manusia egois. Pemikiran-pemikiran itulah yang membuatku takut dan kehilangan daya cipta. Lima belas tahun berjalan namun usahaku belum memperlihatkan hasil apapun. Malahan makin kemari aku merasa apa yang aku harapkan selama ini makin jauh tenggelam. Hidupku makin terasa tak nyata; hanya melayang-layang tak tentu arah.

Seandainya sejak awal aku berjualan, waktu lima belas tahun dapat mengantarkanku menjadi seorang pedagang besar atau setidaknya memiliki sebuah toko. Sementara menulis seolah kutukan yang mesti aku tanggung dan tiap usaha yang aku lakukan merupakan pengkhianatan terhadap keberlangsungan hidupku sendiri. Pada saat itu aku ingin menyumpahi diri sendiri karena terlalu berpikir idealis bahwa aku ingin melihat hidup lebih sebagai ilmu, bukan peluang. Seolah-olah merasa jijik, aku bahkan meringis tiap kali mendengar kata peluang.

Sekali lagi aku hapus kalimat pembuka yang berhasil aku tulis. Kali ini aku tak bisa menampik kata-kata Iwin. Untuk menjernihkan pikiran kembali, aku butuh keluar dan menghirup suasana baru. Kegelapan yang menyelubungi kamar kost dan himpitan dinding-dinding bak ruang isolasi penjara takkan mampu memberikan banyak ilham. Aku memutuskan mematikan komputer, kemudian ambil jaket dan keluar.

Ternyata Iwin belum berangkat. Ia duduk di atas sofa sambil asyik memencet-mencet tombol telepon genggamnya. Ia agak terkesiap melihatku menutup pintu dan menguncinya dari luar. Jadilah kami berangkat bersama untuk melihat ledakan kembang api tahun baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun