Selain rekan satu kerja, Iwin tinggal tepat di sebelah kamar kosku dan menjadi tetanggaku satu-satunya. Memang di sini hanya terdapat dua pintu kamar kos. Padahal kalau mau induk semang kami bisa membuat satu-dua pintu kamar lagi. Tapi sisa ruang kosong itu malah dijadikan ruang duduk dan santai. Di waktu senggang aku kerap menghabiskan waktu dengan membaca buku sambil tiduran di atas sofa di ruangan ini. Hidup induk semang kami tampaknya sudah cukup sejahtera. Semua anaknya telah menikah. Jadilah ia tinggal sendiri di rumah ini dan mengurus segala sesuatunya juga sendiri. Motivasinya membuka kos barangkali didasari kondisi mentalnya. Ia tak mau kesepian di masa tuanya. Sekaligus biar lantai atas rumahnya tak menjadi sarang tikus ataupun laba-laba.
Mendapatkan kamar kos seperti yang aku tempati saat ini----murah dan cukup layak--- di Jakarta ini sungguh untung-untungan. Berkali-kali aku berpindah tempat dan mengeluhkan banyak hal. Persoalan utamanya selalu saja tentang kebersihan dan kelayakan, karena hampir semua kamar kost murah di Jakarta lebih menyerupai kandang ternak; dibangun berdasarkan demi uang semata tanpa berminat mengelola usaha kamar kosnya sebagai tempat tinggal yang diperuntukkan manusia. Tak heran awal-awal kedatanganku di Jakarta langsung dijangkiti penyakit orang-orang miskin, yakni gatal-gatal kulit dan batuk-batuk.
Apabila aku cukup punya uang hal demikian mungkin takkan terjadi. Dengan tumpukan uang di kantong aku dapat menyewa kamar kos yang bagus dengan fasilitas lengkap. Sementara aku hanya mampu tinggal di kamar kos murah yang harga sewa per bulannya hampir menghabiskan separuh dari penghasilanku. Sebenarnya apabila dihitung-hitung, dengan berbagai fasilitas yang diberikan, kamar kos bagus di Jakarta lebih murah daripada kamar kos murahan. Perumpamaan terdekatnya seperti orang miskin yang membeli rokok ketengan, sementara orang kaya minimal sebungkus rokok. Tentu saja membeli rokok ketengan harganya lebih mahal daripada bungkusan. Barangkali sudah nasibnya orang yang memiliki sedikit uang; segala-galanya menjadi mahal, tapi tetap saja dianggap manusia tak berkelas.
Kamar kos murah, dengan kondisinya yang menyerupai kandang ternak, seperti yang telah diketahui tidaklah sebanding dengan penghasilan para pekerja seperti aku. Biasanya untuk menghemat kami mengajak beberapa teman kos bersama. Malangnya, bagi orang-orang seperti kami, memperoleh kamar kos dengan air mandi berbau kaporit dan gampang keluar masuk jamban, asalkan ada tempat berteduh dan tidur, sudah lebih mencukupi.
Masih teringat jelas saat aku mendapatkan kamar kos yang kini aku tempati. Keinginanku mencari tempat kos baru karena didorong perasaan tidak betah tinggal di kamar kos dengan kondisi yang menyedihkan, yang membuatku merasa dikutuk menjadi seekor kambing. Hari itu, dibawah terik matahari, di Jalan Kebon Sayur belakang Grand Indonesia, aku berputar-putar seperti orang linglung, menembusi gang demi gang, bertanya dari satu pintu ke pintu berikutnya. Ketika aku mulai kelelahan dan putus asa, berpikir bahwa di sekitar sini tak ada kamar kos kosong, tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak-teriak seakan-akan memanggilku. Dikarenakan suara itu cukup keras terdengar, aku menoleh ke belakang. Seorang perempuan penuh baya melambaikan tangan kearahku. Aku pikir ia hendak memberitahuku bahwa dompetku telah terjatuh, tapi begitu aku berdiri tepat dihadapannya, ia bertanya, "Lagi cari kos, ya?"
Sambil mengelap keringat dan menahan haus, aku mengangguk pasti. Perempuan itu, yang usianya berkisar di atas enam puluhan atau tujuh puluhan, lantas membuka pagar rumahnya dan mengajakku masuk. Ia menuduhkan sebuah kamar kosong di lantai atas rumahnya. Seperti kamar kos murah di Jakarta seumumnya, kamar ini juga berdinding triplek dan kayu, tapi setidaknya kamar ini terkesan lebih rapi dan bersih. Sebagai orang yang telah berpindah-pindah tempat kos, kamar kos ini terbilang cukup layak ditempati oleh seorang manusia; ada kasur, meja kecil, lemari, dan stop kontak yang masih utuh. Si Ibu menawarkan harga sewa pasaran. Karena harga pasaran pun terbilang agak mahal, dengan sedikit menghiba-hiba aku coba menawar. Tanpa adu debat ataupun bersikeras, tak disangka-sangka, si Ibu bersedia menurunkan harganya sekian rupiah. Di kota kapitalis dan materialis seperti Jakarta, yang memiliki tingkat urbanisasi sangat tinggi, hal yang langka harga sewa kost dapat ditawar. Aku yakin tujuan Ibu ini menyewakan kamar kosong di rumahnya bukanlah soal uang.
Karena berpengalaman bahwa sekamar bersama beberapa kawan tidaklah menenangkan dan dituntut selalu bersikap toleran, aku memutuskan kos sendiri di sini. Lagi pula aku termasuk orang yang suka menyendiri dan pendiam. Iwin yang semula berminat tinggal bersamaku, aku tolak dan malah menyarankannya untuk mengisi kamar sebelahnya. Mungkin karena ia juga merasa lebih nyaman tinggal sendiri, ia tak mengajak beberapa kawannya untuk tinggal bersama. Aku bersyukur Iwin bertindak begitu dan merasa tak keberatan ketika harus mengeluarkan uang sewa kost lebih besar daripada biasanya. Sehingga di dalam suasana yang hening ini aku bisa menekuni hobi menulisku tanpa rasa terganggu.
Kembali aku duduk di depan layar komputer. Karena belum satu kalimat pun yang berhasil aku ketik, perasaan benci pada diri sendiri tumbuh makin besar. Begitu aku berhasil mengetikkan sebuah kalimat, aku langsung hapus lagi. Saat itulah aku teringat bahwa biar para pembaca terus tertarik membaca tulisanku sampai akhir, aku harus memulainya dengan kalimat yang bikin penasaran ataupun penuh sensasional. Teknik itu aku dapatkan saat mengikuti pelatihan-pelatihan menulis. Tapi teknik semacam itu ternyata cukup sulit diterapkan karena aku percaya selera tiap orang berbeda-beda; bagus menurut seseorang, belum tentu orang lain ikut sepakat.
Memikirkan teknik justru membuatku terjebak. Teknik yang seharusnya membuat pekerjaanku terasa lebih mudah, malah terasa menyiksa pikiran dan menguras isi otakku. Barangkali selama ini aku salah dan tak pernah menyadari adanya kesalahan tersebut. Meskipun aku telah menerapkan teknik-teknik yang telah diajarkan, aku tak pernah mampu menulis yang sepatutnya. Bahkan ibuku sendiri meragukan apakah menulis mampu menjamin masa depan anaknya. Konyolnya aku sendiri tak mampu menjawab keraguannya.
Dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana dan keterbatasan ekonomi, aku hidup berdasarkan banyak harapan dan meyakini bahwa suatu saat kelak harapan-harapan itu dapat menjadi kenyataan. Barangkali berkat harapan itulah, meskipun aku kerap didera rasa putus asa, aku tetap mampu terus melangkah. Ibu, yang tak memiliki harta apapun untuk diwariskan, menginginkan anaknya bekerja sewajarnya dan tak terbuai harapan-harapan palsu; melakukan sesuatu yang pasti-pasti saja. Seperti kebanyakan orang di kampungku; bekerja di pabrik dan mendapatkan gaji yang jelas tiap bulannya. Aku tahu maksud Ibu bukan karena ia ingin memupuskan harapan anaknya, tetapi ia merasa sakit hati apabila melihat anaknya menderita karena harapan yang terlalu tinggi.
Demi menenangkan perasaan Ibu akhirnya aku bekerja di pabrik dan menjalani kehidupan buruh yang serba monoton. Menurut Ibu, kita sebagai orang dari kalangan sederhana, janganlan terlalu banyak tingkah. Ia meyakini bahwa orang-orang seperti kami seperti ditakdirkan harus bekerja lebih menggunakan tenaga ketimbang pikiran. Tentu saja bekerja menggunakan tenaga sangat sedikit memberikan kebanggaan. Menurutku seorang manusia harus melakukan sesuatu yang bisa membuatnya sombong, kemudian demi mendapatkan limpahan pujian, ia harus mampu bersikap rendah hati dan memperlihatkan diri bak sesosok malaikat.