Aku cukup tersinggung dengan perkataan Iwin tersebut. Sambil menahan gemuruh dalam dada, aku mencoba bersikap maklum karena pastinya Iwin tak bermaksud menghinaku. Namun, ketika ia bilang bahwa mau jadi apa pemuda semacam aku kelak, perkataan itu benar-benar menusuk kalbu. Aku merasa dikutuk oleh seluruh dunia dan menganggapku sebagai seorang pemuda yang tak punya guna sama sekali. Seandainya saja tulisan-tulisanku memberikan kepastian sebagaimana penghargaan yang diterima oleh para penulis terkemuka mungkin perasaanku takkan sesakit ini.
"Tahun baru," ucapku sambil menahan-nahan perasaan, "kebanyakan orang paling-paling tahunya hanya ganti kalender. Kalau sekadar pergantian angka, kita bisa saja tiap saat merayakan pergantian tanggal atau bulan."
Iwin tertawa melecehkan. "Tapi kita tak cukup punya uang buat merayakannya, bukan?" timpalnya bernada retoris. "Apalagi pesta tiap saat. Ini tahun baru, Yus. Banyak hiburan gratis."
Mengingat tahun-tahun belakang aku tak cukup punya alasan merayakan tahun baru malam ini. Mungkin aku terlalu pesimis menghadapi hidup, merasa yakin bahwa tahun ini paling-paling keadaanku sama saja, begini-begini juga seperti kemari-kemarin. Sebagai lelaki yang tak pernah memperoleh pencapaian apapun atas segala usahanya, aku merasa lebih tenang berpikir pesimis daripada dibuat kecewa terus oleh harapan.
"Tahun baru bukanlah momen istimewa," ucapku kemudian. "Lagi pula tahun baru belumlah berjalan---belum memberikan apa-apa kecuali janji dan harapan. Sementara di dalam janji dan harapan banyak terjadi kemungkinan. Lebih sering kita dibuat patah hati karenanya," sesaat aku terdiam demi mengambil nafas. "Tahun baru; apakah itu artinya kita merayakan ketidak-pastian? Mengapa kita merayakan sesuatu yang belum pasti? Lebih tepat tahun baru itu kita jadikan awal dari sebuah peringatan."
Melirik raut muka Iwin, aku yakin ia merasa jengkel dengan isi ceramahku tersebut. Aku sendiri merasa heran, yang dikenal sebagai lelaki pendiam, mampu mengeluarkan kalimat-kalimat bernada retoris langsung dari mulutku sendiri. Aku tak tahu bagaimana isi pikiran Iwin saat ini padaku; apakah ia menganggapku sok tahu atau memakluminya saja.
Peringatan, pikirku kembali, bukan perayaan. Menghitung-hitung umurku saat ini, aku bukanlah anak remaja lagi. Sangatlah menyakitkan mengingat umurku saat ini karena seharusnya aku mampu meninggalkan watak kekanak-kanakkan dalam jiwaku dan mampu menuntut diri sendiri untuk bersikap dewasa. Sejumlah teman semasa sekolah dulu bilang bahwa salah satu mencapai kedewasaan pikiran adalah pernikahan. Mudah saja mereka bilang begitu, yang menurut pandanganku mereka berkata demikian sebenarnya bertujuan mengolok-olokku. Tentu saja pilihan terbaik ketika itu adalah bersikap tabah. Karena pada kenyataannya sendiri justru para pelaku nikah muda kebanyakan adalah orang-orang yang belum mampu meninggalkan pergaulan remajanya, sementara orang yang berpikir dewasa kebanyakan justru lebih memilih kerja dulu. Persoalannya di usia sebanyak ini yang seharusnya aku punya karir yang menjamin atau setidaknya punya beberapa pencapaian kecil, faktanya aku belumlah menjadi apa-apa. Hidup tanpa pencapaian apapun ternyata lebih menyakitkan daripada melihat teman yang telah berkeluarga. Meskipun bagi teman-temanku pernikahan dan memiliki anak merupakan suatu pencapaian tersendiri.
Di kota besar seperti Jakarta ini usia tiga puluh masih tergolong muda. Tak ada persoalah serius apabila aku masih melajang, terutama aku adalah seorang lelaki. Aku cukup mengonsenterasikan diri pada pekerjaan. Persoalannya, ketika malam tiba dan tidur sendiri di dalam kamar sempit, diam-diam tanganku suka merayap ke balik celana dan membelai-belai benda yang berada di dalamnya. Bahkan ketika bulan puasa tiba hal tersulit bukanlah menahan lapar ataupun haus, melainkan syahwat yang sulit dikendalikan di balik celana. Libido seorang lelaki selalu lebih besar daripada kemampuannya, terutama di usiaku seperti sekarang adalah saat-saatnya puncak kegairahan seorang lelaki. Membayangkan teman-temanku saat itu benar-benar membuatku malu, karena mereka telah bisa mempergunakan kelamin mereka sebagaimana mestinya, sementara masturbasi malah menjadi jalan terakhir bagiku.
Tahun baru sungguh-sungguh momok mengerikan. Tanpa kenal ampun ia menambah angka ketuaan umurku sekaligus mengurangi waktu sisa hidupku. Kerapkali aku diselubungi ketakutan; bagaimana kalau-kalau umurku tak mencukupi untuk menghasilkan sebuah karya ataupun bertemu jodoh? Sementara kesempatan tak selalu datang tepat pada waktunya. Aku tak boleh menyia-nyiakan waktu sedetikpun. Malam ini telah aku niatkan, untuk memanfaatkan tiap detiknya, aku harus menulis. Tak boleh tidak.
"Kita tak selalu mendapatkan hiburan besar-besaran seperti malam tahun baru, Yus," kilah Iwin kembali.
"Bersenang-senanglah." Sebelum Iwin berhasil memaksaku, aku dorong ia keluar dan kembali menutup pintu.