Mohon tunggu...
Sinar Fajar
Sinar Fajar Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Seorang penulis sialan yang mencari keberuntungan Visit now; http://fajhariadjie.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mata Kolam: Perayaan Tahun Baru (2)

15 Juni 2017   09:07 Diperbarui: 15 Juni 2017   09:31 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam pergantian tahun baru kali ini aku memilih mengurung diri di dalam kamar kos, duduk di depan komputer, dan mulai mengetik. Dari tahun ke tahun inilah ambisiku; menyelesaikan sebuah tulisan atau membongkar tulisan terdahulu. Seraya berharap tahun baru kali ini atau setidaknya suatu saat kelak yang tak pernah pasti, aku akan mendapatkan pengakuan atas karya-karyaku.

Demi menjaga konsentrasi aku sengaja mematikan lampu kamar. Dibanding terang, meskipun terasa mencekam, gelap sedikit banyak membantuku lebih fokus pada pekerjaan dan menghindarkanku dari hal-hal yang mengganggu. Sorot biru yang terpancar dari layar komputer menjadi satu-satunya sumber penerangan di kegelapan kamar. Dengan begitu imajinasiku yang berkelebat dalam kepala bisa lebih jelas terlihat. Aku tak perlu tengok kanan kiri memperhatikan kondisi sekitar; cicak yang merayap di atas dinding, kecoa yang berlarian di sudut-sudut kamar, tumpukan buku, lemari pakaian dari serbuk gergaji yang pintunya telah lepas, ataupun sejumlah pakaian kucel yang tergantung di atas daun pintu, samar-samar terlihat dalam pandangan mata serta membisu merana seperti sekumpulan hantu lugu yang mengintai di balik kegelapan. Lebih dari itu, gelap membantuku menyembunyikan diri dan menjauhkanku dari kebisingan dunia yang aku benci.

Sambil berpikir hendak menulis apa, aku pandangi layar komputer lamat-lamat. Cahaya birunya yang tajam pelan-pelan menusuk bola mataku, yang seperti tak mengizinkanku membuka bola mata lebar-lebar, dan biar mataku bisa menyesuaikan dengan silaunya cahaya biru tersebut, dengan sendirinya mataku terpicing mencegah lebih banyak lagi cahaya biru yang masuk menyerang mata. Apabila  terus menerus begini mungkin suatu saat aku membutuhkan kaca mata.

Dengan segenap kecemasan, aku mulai menggerakkan jari-jari tanganku di atas tombol-tombol huruf. Rasa kaku di tangan tiap kali mulai mengetik perlahan-lahan melunak meskipun tak cukup luwes bergerak. Menulis yang katanya mudah, sebenarnya, setelah aku mengalami penolakan berkali-kali, sama sekali tidaklah mudah. Meja-meja redaksi di luar sana selalu punya alasan tertentu untuk menolakku. Meskipun tulisanku mengikuti segala teknik yang telah diajarkan sebagaimana seharusnya sebuah karya diciptakan tidaklah menjamin tulisanku dapat diterima dengan baik, bahkan ditolak secara mentah-mentah. Lebih-lebih, ada pula sejumlah penerbit yang tak pernah memberitahukan keputusannya bahwa apakah tulisanku ditolak atau tidak. Tetapi karena tak ada pemberitahuan apapun aku menganggap tulisanku pastilah ditolak.

Kegagalan demi kegagalan menjadikan mentalku tertekan dan kerap merasakan bagaimana rasanya putus asa. Seharusnya fakta tersebut membuatku bertambah kuat, lebih ikhlas menerima keadaan, tapi kenyataannya aku malah makin lemah. Meski banyak ide berkelebat-kelebat dalam kepala, aku tak bisa langsung menuliskannya. Biasanya aku biarkan dulu ide-ide itu mengendap dan meresap masuk ke dalam otak; menunggu diri sendiri betul-betul yakin. Karena alasan-alasan itulah mungkin aku agak kesulitan merangkai kata per kata untuk membuat kalimat; tak tahu harus memulainya seperti apa. Begitu berhasil dituliskan aku juga tak langsung yakin. Kembali aku baca berulang-ulang, dan selalu saja apa yang telah aku tulis terasa jelek dan tak layak. Dan malam ini sebelum aku selesai mengetikkan sebuah kalimat pembuka, aku segera menghapusnya kembali.

Meskipun aku mulai tak yakin dengan apa yang aku lakukan, setidaknya menulis memberikanku sedikit penghiburan, membuatku barang sejenak melupakan ketakutan-ketakutanku sendiri yang terus meneror, membuatku berpikir optimis bahwa suatu saat aku akan penuh percaya diri meninggalkan pekerjaanku sebagai tukang cuci piring. Seperti malam ini aku ingin sekali menertawakan diri sendiri; aku tampak seperti penulis  betulan; menjauh dari keramaian, berteman sunyi, merenung, kemudian berpikir. Aku benci diriku sendiri karena tampaknya tanganku lebih berguna menggosok-gosok piring kotor daripada mengetik menciptakan kalimat.

Terdengar suara pintu diketuk. Aku mendengarkan suara ketukan tersebut, terdiam memperhatikan daun pintu dan bayangan hitam yang bergoyang-goyang di bawahnya, dan menunggu apa yang bakal terjadi berikutnya seakan-akan di balik kegelapan sana terdapat roh-roh halus yang meronta-ronta. Ketika pikiranku mulai terkonsenterasi sangatlah menjengkelkan mendengarkan suara gedoran semacam ini. Padahal aku telah berusaha semaksimal mungkin mengindari hal-hal yang mungkin akan mengganggu, berharap suara gedoran itu segera berlalu, kemudian aku kembali fokus pada pekerjaanku. Namun suara gedoran itu terdengar kembali, kali ini lebih keras dari sebelumnya, bahkan Iwin yang berdiri di balik pintu tersebut mulai memanggil-manggil namaku.

Iwin memamerkan deretan giginya begitu aku membukakan pintu. Cara ia tersenyum itu tampaknya ia ingin menyapaku lebih ramah daripada biasanya. Melihat penampilannya malam ini terlihat bahwa ia bersiap-siap jalan keluar dan menebar pesona. Tak seperti biasanya ia berdandan senecis ini. Ia pasti butuh waktu berjam-jam hanya untuk menyisir dan meminyaki rambutnya yang kasar itu. Dengan penampilan yang menurutnya keren itu, Iwin tampak yakin mampu bersaing dengan para pejantan lainnya di luar sana untuk memperebutkan hati para perawan. Aku yang tengah didera kemerosoton mental merasa iri melihatnya begitu bersemangat.

"Ayo," ajaknya. Ia kedip-kedipkan mata dan alisnya bergoyang naik turun, kemudian merentangkan tangannya seolah-olah meminta pendapatku bagaimana gayanya malam ini.

"Aku tidak keluar malam ini," ucapku yakin.

Di balik siratan wajahnya, Iwin tampak kecewa karena satu-satunya teman yang dapat diandalkan jalan bareng menolak ajakannya. Agak tercengang ia menatapku, lalu ia tertawa habis-habisan. Ia tak habis pikir ada seorang pemuda bersedia melewatkan keramaian tahun baru di luar sana. "Di malam tahun baru ada seorang pemuda mengurung diri di dalam kamar kos?" Iwin menggeleng-gelengkan kepala sambil mendecak-decakkan lidahnya. Kemudian ia menepuk-nepuk pipiku. "Mau jadi apa pemuda semacam itu kelak? Ayolah! Kita keluar malam ini seperti orang-orang. Jangan sumpek-sumpek melulu. Mumpung masih muda, kita manfaatkan kesempatan ini. Kalau tua mana bisa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun