Aku terdiam sejenak, memproses kalimat yang barusan keluar dari mulutnya. "Apa? Sama siapa?"
"Orang tua aku menjodohkan aku... dengan anak teman mereka," jawabnya pelan. "Aku nggak punya pilihan, Bayu. Keluargaku terlilit utang besar... dan orang tuaku nggak punya cara lain untuk bayar."
Hatiku tenggelam mendengar itu. Clara, yang ceria dan penuh semangat, kini terjebak dalam situasi yang tak terbayangkan. "Utang ke siapa?"
Clara terisak di seberang sana. "Boss narkoba, Bayu. Keluargaku terjerat... dan mereka mengancam kalau kami nggak segera bayar, mereka akan---"
Aku tak sanggup mendengarnya melanjutkan. Dunia seakan runtuh dalam hitungan detik.
"Clara, aku... aku akan bicara sama Reza," kataku buru-buru.
Namun Clara menghentikan niatku. "Jangan. Ini sudah terlambat. Aku harus menikah minggu depan."
Hari pernikahan Clara tiba, dan aku hadir di sana, bersama Reza. Kami berdiri berdampingan, menonton Clara menikah dengan pria yang tidak ia cintai. Tak ada yang bisa kami lakukan. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar kalah oleh keadaan. Begitu juga Reza.
Sejak hari itu, persahabatan kami tidak pernah kembali seperti semula. Kami tetap berteman, tapi selalu ada jeda, ada ruang kosong yang tak terisi lagi.
Dan Clara? Ia pergi, membawa cintanya yang tak pernah terbalas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H