Reza menatapku bingung. "Apa? Clara? Hah, enggak lah."
Aku menatapnya tajam. "Dia serius, Za. Dia benar-benar suka sama kamu. Dan kamu? Kamu malah nggak sadar sama sekali."
Reza terkekeh, tak melihat ini sebagai hal yang besar. "Ah, santai aja. Lagian, aku nggak ada perasaan sama dia. Teman doang."
Kemarahan dalam diriku semakin membuncah. "Itu bukan masalah, Reza! Masalahnya, kamu nggak bisa terus-terusan bikin perempuan yang tulus sama kamu jadi terombang-ambing. Kamu tahu, Clara itu perempuan baik!"
Dia memandangku dengan ekspresi yang mulai berubah serius. "Apa sih, Yu? Kok kamu jadi kayak gini?"
"Aku cuma nggak mau dia tersakiti, Za. Aku nggak mau kamu main-main sama dia," jawabku keras, bahkan aku sendiri terkejut dengan nada suaraku.
Reza terdiam, lalu dia berkata, "Kamu suka sama Clara, ya?"
Pertanyaannya membuatku terperangah. Aku ingin menyangkal, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang berhenti untuk bicara. Apa aku suka sama Clara? Rasanya tidak, tapi kenapa aku merasa seolah ini masalah besar bagiku?
Kami saling diam, tak ada lagi percakapan setelah itu. Persahabatan kami terasa seperti seutas benang yang menipis, siap putus kapan saja.
Seminggu berlalu tanpa kabar dari Reza. Aku memutuskan untuk tidak mencari Clara juga. Aku butuh waktu untuk berpikir dan merenung. Namun, semuanya tiba-tiba berubah ketika suatu malam Clara menghubungiku. Suaranya serak, hampir tak terdengar jelas di telepon.
"Bayu, aku harus menikah."