Mohon tunggu...
Fajar setiono
Fajar setiono Mohon Tunggu... Buruh - copywriter

Selalu bersyukur atas apa yang kita dapatkan.Jangan pernah menyerah sebelum kita mendapatkan apa yang kita inginkan.Selalu semangat dan pantang menyerah!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tertutup Senyuman

6 September 2024   08:00 Diperbarui: 6 September 2024   08:11 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, Angga duduk di bangku panjang di depan warung kopi langganannya. Kopi hitam di tangannya mulai dingin, tapi dia tak terlalu peduli. Rokok di mulutnya sudah habis separuh, puntungnya dia putar-putar sambil menatap kosong jalanan yang sepi. Di belakangnya, obrolan para pelanggan lain samar-samar terdengar, tapi semua itu seperti teredam dalam pikirannya yang sedang melayang entah ke mana.

Angga dikenal di lingkungannya sebagai orang yang keras. Gaya bicara lugas, tangan sering ringan, dan urusan duit baginya cuma soal menang atau kalah. Kalah ya hajar, menang ya tertawa. Banyak orang segan, tapi juga banyak yang benci. Dan dia tak peduli.

Namun malam itu, di sela-sela asap rokok yang membumbung, ada yang aneh dengan tatapan matanya. Tatapan yang kosong, seolah ada sesuatu yang hilang. Angga yang biasanya penuh percaya diri dan congkak kini duduk dengan beban di pundaknya yang tak terlihat.

"Ga, ngapain lo di sini sendirian? Biasanya udah sibuk ketawa-tawa sama anak-anak," ujar Fajar, salah satu teman baiknya, yang baru datang dan langsung mengambil tempat di sebelahnya. Fajar memang sudah lama mengenal Angga, tapi malam ini dia merasa ada yang berbeda.

Angga menoleh pelan, menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Gue lagi mikir, Jar," jawabnya, singkat.

Fajar terdiam sejenak, mencoba mencerna. "Mikir? Tumben lo mikir," katanya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

Angga tersenyum tipis, tapi senyumnya hambar. "Iya, kali ini gue mikir... soal hidup gue."

Fajar semakin heran. Angga yang dia kenal bukan tipe orang yang suka merenung soal hidup. Biasanya, Angga cuma peduli soal urusan geng, uang, dan cewek. Tapi malam ini, dia terlihat berbeda.

"Jar, lo pernah nggak ngerasa kayak... hidup lo kosong?" Angga tiba-tiba bertanya.

Fajar menatapnya, sedikit bingung. "Kosong gimana?"

"Kayak lo udah dapet semuanya. Duit ada, cewek dateng pergi, geng lo solid. Tapi di dalam sini..." Angga menunjuk dadanya, "kosong."

Fajar terdiam, tak tahu harus menjawab apa. "Gue gak tau, Ga... Tapi lo kan selalu dapet apa yang lo mau."

Angga menunduk, memainkan puntung rokok di antara jarinya. "Itu dia, Jar. Semua yang gue mau, gue dapetin. Tapi gue lupa sama satu hal yang sebenernya paling penting."

Fajar menunggu, tapi Angga hanya terdiam. Dia tak ingin mendesak, namun rasa penasaran membuatnya bertanya pelan, "Apa yang lo lupain, Ga?"

"Perasaan orang lain," jawab Angga lirih, hampir seperti bisikan.

Fajar terkejut. Selama ini Angga adalah tipe orang yang tak pernah peduli dengan perasaan siapa pun. Tapi malam ini, ada yang berbeda dalam dirinya.

"Gue udah nyakitin banyak orang, Jar. Gue ngerasa kuat karena gue bisa ngelakuin apa aja. Tapi tadi sore, gue ketemu sama anak kecil di jalan, anaknya nangis gara-gara bapaknya gue hajar buat bayar utang. Anak itu... dia ngeliat gue kayak gue ini monster." Suara Angga mulai bergetar.

Fajar terdiam. Angga tidak pernah terlihat selemah ini sebelumnya.

"Dan lo tau apa yang paling parah?" lanjut Angga, tanpa menunggu respon Fajar. "Gue ngeliat bayangan gue sendiri di mata anak itu. Gue dulu juga kayak dia. Bokap gue dihajar orang-orang kayak gue sekarang. Gue udah jadi apa, Jar?"

Fajar tak tahu harus berkata apa. Dia hanya diam, merasakan kesedihan yang begitu dalam terpancar dari Angga.

Angga menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Gue bajingan, Jar. Dan mungkin gue udah terlalu jauh buat balik lagi."

Fajar menepuk pundak Angga, mencoba memberi dukungan tanpa banyak kata. "Ga, semua orang punya pilihan buat berubah. Nggak ada yang terlalu jauh selama lo mau."

Angga tersenyum pahit. "Gue nggak tau, Jar. Gue cuma takut udah nggak ada yang bisa gue selametin dari hidup gue sekarang."

Malam itu, di depan warung kopi, Angga mungkin untuk pertama kalinya dalam hidupnya merasa hancur. Dia sadar bahwa di balik senyum sinisnya, ada luka yang tak pernah dia obati. Dan luka itu semakin dalam setiap kali dia menyakiti orang lain.

Malam itu, dia bukan lagi Angga si bajingan. Dia hanya Angga, manusia yang rapuh dan tersesat, yang untuk pertama kalinya dalam hidupnya bertanya-tanya apakah dia masih bisa kembali ke jalan yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun