Fajar terdiam, tak tahu harus menjawab apa. "Gue gak tau, Ga... Tapi lo kan selalu dapet apa yang lo mau."
Angga menunduk, memainkan puntung rokok di antara jarinya. "Itu dia, Jar. Semua yang gue mau, gue dapetin. Tapi gue lupa sama satu hal yang sebenernya paling penting."
Fajar menunggu, tapi Angga hanya terdiam. Dia tak ingin mendesak, namun rasa penasaran membuatnya bertanya pelan, "Apa yang lo lupain, Ga?"
"Perasaan orang lain," jawab Angga lirih, hampir seperti bisikan.
Fajar terkejut. Selama ini Angga adalah tipe orang yang tak pernah peduli dengan perasaan siapa pun. Tapi malam ini, ada yang berbeda dalam dirinya.
"Gue udah nyakitin banyak orang, Jar. Gue ngerasa kuat karena gue bisa ngelakuin apa aja. Tapi tadi sore, gue ketemu sama anak kecil di jalan, anaknya nangis gara-gara bapaknya gue hajar buat bayar utang. Anak itu... dia ngeliat gue kayak gue ini monster." Suara Angga mulai bergetar.
Fajar terdiam. Angga tidak pernah terlihat selemah ini sebelumnya.
"Dan lo tau apa yang paling parah?" lanjut Angga, tanpa menunggu respon Fajar. "Gue ngeliat bayangan gue sendiri di mata anak itu. Gue dulu juga kayak dia. Bokap gue dihajar orang-orang kayak gue sekarang. Gue udah jadi apa, Jar?"
Fajar tak tahu harus berkata apa. Dia hanya diam, merasakan kesedihan yang begitu dalam terpancar dari Angga.
Angga menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Gue bajingan, Jar. Dan mungkin gue udah terlalu jauh buat balik lagi."
Fajar menepuk pundak Angga, mencoba memberi dukungan tanpa banyak kata. "Ga, semua orang punya pilihan buat berubah. Nggak ada yang terlalu jauh selama lo mau."