Mohon tunggu...
Fajar Rizky Wahyu W.
Fajar Rizky Wahyu W. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Kejepangan Universitas Airlangga

Man Jadda Wajada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Hubungan Laki-Laki dan Wanita Jepang dalam Ranah Bisnis

12 Oktober 2022   20:04 Diperbarui: 12 Oktober 2022   21:12 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jepang tercatat menduduki ranking negara termaju ke-8 di Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 2020. Hal ini dibuktikan dengan kekuatan industrinya yang produknya telah tersebar hampir ke seluruh dunia sebagai hasil dari disiplin mental masyarakat Jepang yang sangat tinggi. Namun sebaliknya, Jepang masih dikategorikan sebagai negara yang tingkat kesetaraan gendernya rendah. 

Menurut World Economic Forum yang mengeluarkan Global Gender Gap Index 2022, Jepang menduduki ranking 116 dari 146 negara, yang artinya indeks kesetaraan gender di Jepang masih tergolong rendah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bagaimana kontribusi wanita Jepang saat ini di ranah ekonomi? Dan bagaimana keadaan wanita karir masa kini meskipun sudah diperbolehkan berkontribusi dalam ranah bisnis?

Jepang saat ini menganut sistem sosial patriarki. Konsep sosial ini merupakan hasil dari kebudayaan yang telah lama tertanam di Jepang. Meskipun pada awalnya sejak masa awal peradaban Jepang (masa kodai), Jepang menganut konsep matrilineal society, yaitu konsep sosial yang memberikan wanita hak secara politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. 

Namun konsep sosial semacam ini hanya berlaku hingga akhir periode Heian (sekitar tahun 1180-an). Hal ini dipengaruhi masuknya agama Buddha dari India dan ajaran Konfusianisme dari Cina. Kedua kepercayaan ini membawakan konsep patriarkal ke dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang. 

Beberapa petuah lama yang terkenal di antaranya, 'Wanita pada masa kanak-kanak harus patuh pada ayahnya, saat menikah harus patuh pada suaminya, dan pada anak laki-lakinya jika suaminya telah tiada'. Atau juga adanya ungkapan 'pria di luar dan wanita di dalam'. Semenjak masa pertengahan pada era Kamakura (antara tahun 1185-1868), posisi perempuan benar-benar menjadi lemah. 

Posisi wanita mulai masa itu hanya berperan dalam ranah domestik, sementara posisi breadwinner dipegang oleh laki-laki selaku kepala rumah tangga. Selain itu, dalam kebudayaan aristokrat pada masa pertengahan, laki-laki berperan menjadi pewaris properti keluarga atau kepala sistem ie, sementara itu wanita berperan sebagai penghubung ikatan antar dua keluarga melalui pernikahan.

Kebudayaan aristokrat yang menjunjung tinggi konsep patriarkal di Jepang berlangsung selama masa Kamakura hingga akhir Edo (tahun 1851). Selanjutnya ketika Jepang memasuki era Meiji pada tahun 1860-an, kebudayaan aristokrat menjadi pudar. Kehidupan Jepang mulai berkiblat pada negara 'Barat'. 

Saat masa inilah paham-paham kesetaraan gender mulai memasuki Jepang. Para wanita mulai diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan. Meskipun pendidikan yang ditempuh oleh para wanita ditujukan untuk mengejar kesetaraan gender, nyatanya pendidikan yang di dapat adalah pendidikan berbasis ryousaikenbo (良妻賢母) atau pendidikan berbasis keterampilan domestik. 

Adapun arti dari ryousaikenbo adalah 'good wife, wise mother' atau 'istri yang baik, ibu yang bijaksana'. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, mulai dikeluarkan Undang-Undang kesetaraan agar semua orang baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan kesempatan yang sama baik dari segi pendidikan maupun pekerjaan.

Meskipun saat ini Jepang menjadi negara sekuler dan berkiblat pada negara 'barat', nyatanya konsep patriarkal yang telah menjadi bagian kebudayaan Jepang selama berabad-abad cukup sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Hak-hak wanita di ruang publik masih belum terpenuhi sepenuhnya. 

Contohnya dalam ranah bisnis sebagai wanita karir. Terdapat beberapa perlakuan-perlakuan yang berbeda yang didapat antara pegawai laki-laki dan perempuan, misalnya saja gap gaji yang didapat, usaha yang harus dilakukan untuk mendapatkan posisi yang diinginkan, dan lain-lain. 

Wanita yang bekerja dalam ranah 'kerah putih' atau disebut Office Lady (OL) tidak hanya melakukan pekerjaan administratif sesuai kesepakatan kerja saja, tetapi juga memenuhi kebutuhan karyawan lain terutama atasan meskipun hal bukanlah bagian dari kesepakatan kerjanya, contohnya seperti membuatkan teh, membersihkan meja atasan, memfotokopi pekerjaan karyawan lain, dan sebagainya. 

Selain itu, wanita karir ini sering disalah artikan keberadaannya sebagai 'bunga kantor' atau shokuba no hana (職場の花). Keberadaannya untuk menyenangkan secara visual. Hal ini tentunya juga menimbulkan adanya sexual harassement atau sekuhara di lingkungan kerja.

Adapun untuk memperoleh posisi/jabatan yang diinginkan di kantor, karyawan wanita harus bekerja dua kali lebih keras dibandingkan laki-laki. Fenomena ini sering disebut the glass ceiling atau garasu no tenjo, secara harfiah bermakna langit-langit kaca. 

Fenomena ini merupakan batas yang tidak terlihat namun dapat dirasakan oleh sebagian wanita karir di Jepang. Hal ini berdampak pada sebagian besar pekerja wanita di Jepang saat ini yang memutuskan untuk menunda pernikahan atau memiliki anak. 

Atas sebab inilah yang mempengaruhi menurunnya persentase pernikahan di Jepang setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan jika wanita memutuskan untuk memiliki anak, maka suatu saat akan membutuhkan cuti melahirkan dan merawat anak. 

Perusahaan menilai bahwa hal ini tidak cukup efektif untuk memberikan gaji kepada karyawan yang melakukan cuti panjang, sementara tidak melakukan pekerjaan kantor, sehingga berpotensi untuk mengancam posisi karirnya.

Atas permasalahan ini, Perdana Menteri Shinzo Abe mengeluarkan kampanye womenomics dalam program reformasi dan perkembangan ekonomi Jepang yang dicanangkannya dengan nama program 'Abenomics'. Womenomics ini sendiri ditujukan untuk lebih memberdayakan wanita dalam peran ekonomi dan sosial. 

Alasan kampanye ini adalah untuk mengejar ketertinggalanan kesetaraan gender yang terjadi di Jepang. Yang mana salah satu kampanyenya adalah dengan lebih memberikan kelonggaran pada para wanita karir untuk mengurus keluarganya juga, contohnya dalam hal kemudahan mengurus cuti. Namun kenyataannya, kampanye ini tidak berjalan dengan sempurna. Hal ini dikarenakan budaya korporat yang telah mengakar sejak lama.

Budaya patriarki telah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jepang sejak ratusan tahun yang lalu. Salah satu penyebabnya adalah karena kepercayaan yang dianut oleh bangsa Jepang. Meski sejak masa Meiji pemikiran kesetaraan gender telah masuk ke Jepang, hal ini masih belum menghapus budaya patriarki di Jepang, terutama dalam ranah bisnis. 

Namun, suara-suara para wanita karir di Jepang mulai banyak terdengar sehingga permasalahan ini tidak lagi termarginalkan. Pemerintah Jepang pun mulai berusaha untuk memperjuangkan nasib masyarakat yang tidak mendapatkan kesetaraan peran baik dalam ekonomi dan sosial, terutama bagi kaum perempuan.

Daftar Pustaka

CNA Insider. (2020). Why Is Japan Gender Gap So Wide?. https://www.youtube.com/watch?v=5dsD6FWfZHE&t=308s.  Diakses pada 27 September 2022.

Davies, Roger. (1949). The Japanese Mind: Understanding Contemporary Culture, Turtle Publishing.

Farrer, Gracia L. (2009). "I am the Onlu Woman in Suits": Chinese Immigrants and Gendered Careers in Corporate Japan. Journal of Asia-Pasific Studies (Waseda University) No. 13.

Hara, Hiromi. (2022). The Gender Wage Gap in Japan--the Glass Ceiling Phenomenon. In CESifo Forum (Vol. 23, No. 2, pp. 36-40). Institut fr Wirtschaftsforschung (Ifo).

Macnaughtan, Helen. (2015). Womenomics for Japan: is the Abe policy for gendered employment viable in an era of precarity?. The Asia-Pacific Journal: Japan Focus, 13(13), 4302.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun