Wanita yang bekerja dalam ranah 'kerah putih' atau disebut Office Lady (OL) tidak hanya melakukan pekerjaan administratif sesuai kesepakatan kerja saja, tetapi juga memenuhi kebutuhan karyawan lain terutama atasan meskipun hal bukanlah bagian dari kesepakatan kerjanya, contohnya seperti membuatkan teh, membersihkan meja atasan, memfotokopi pekerjaan karyawan lain, dan sebagainya.
Selain itu, wanita karir ini sering disalah artikan keberadaannya sebagai 'bunga kantor' atau shokuba no hana (職場の花). Keberadaannya untuk menyenangkan secara visual. Hal ini tentunya juga menimbulkan adanya sexual harassement atau sekuhara di lingkungan kerja.
Adapun untuk memperoleh posisi/jabatan yang diinginkan di kantor, karyawan wanita harus bekerja dua kali lebih keras dibandingkan laki-laki. Fenomena ini sering disebut the glass ceiling atau garasu no tenjo, secara harfiah bermakna langit-langit kaca.
Fenomena ini merupakan batas yang tidak terlihat namun dapat dirasakan oleh sebagian wanita karir di Jepang. Hal ini berdampak pada sebagian besar pekerja wanita di Jepang saat ini yang memutuskan untuk menunda pernikahan atau memiliki anak.
Atas sebab inilah yang mempengaruhi menurunnya persentase pernikahan di Jepang setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan jika wanita memutuskan untuk memiliki anak, maka suatu saat akan membutuhkan cuti melahirkan dan merawat anak.
Perusahaan menilai bahwa hal ini tidak cukup efektif untuk memberikan gaji kepada karyawan yang melakukan cuti panjang, sementara tidak melakukan pekerjaan kantor, sehingga berpotensi untuk mengancam posisi karirnya.
Atas permasalahan ini, Perdana Menteri Shinzo Abe mengeluarkan kampanye womenomics dalam program reformasi dan perkembangan ekonomi Jepang yang dicanangkannya dengan nama program 'Abenomics'. Womenomics ini sendiri ditujukan untuk lebih memberdayakan wanita dalam peran ekonomi dan sosial.
Alasan kampanye ini adalah untuk mengejar ketertinggalanan kesetaraan gender yang terjadi di Jepang. Yang mana salah satu kampanyenya adalah dengan lebih memberikan kelonggaran pada para wanita karir untuk mengurus keluarganya juga, contohnya dalam hal kemudahan mengurus cuti. Namun kenyataannya, kampanye ini tidak berjalan dengan sempurna. Hal ini dikarenakan budaya korporat yang telah mengakar sejak lama.
Budaya patriarki telah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jepang sejak ratusan tahun yang lalu. Salah satu penyebabnya adalah karena kepercayaan yang dianut oleh bangsa Jepang. Meski sejak masa Meiji pemikiran kesetaraan gender telah masuk ke Jepang, hal ini masih belum menghapus budaya patriarki di Jepang, terutama dalam ranah bisnis.
Namun, suara-suara para wanita karir di Jepang mulai banyak terdengar sehingga permasalahan ini tidak lagi termarginalkan. Pemerintah Jepang pun mulai berusaha untuk memperjuangkan nasib masyarakat yang tidak mendapatkan kesetaraan peran baik dalam ekonomi dan sosial, terutama bagi kaum perempuan.
Daftar Pustaka