"Ih....sebelllllllllllll dan BeTe banget Gw, diputusin pacar di malam minggu. Maunya minum racun tikus aja!!!!" sebuah status seorang anak remaja muncul di linimasa akun Facebook saya.Â
Status ABG ini tentu saja menuai banyak komentar dari akun yang berteman dengannya. Mayoritas menunjukkan kepedulian yang intinya melarangnya melakukan tindakkan nekat bunuh diri. Sayangnya ada yang membulinya dengan mengatakan: cuman cinta monyet, kok galau?
Ketika direnungkan, kalimat ABG tersebut sebenarnya sering dikatakan oleh orang-orang yang pernah mengalami patah hati.Â
Di keluarga kami, sejak saya beranjak remaja, orang tua senantiasa mengingatkan putra-putrinya agar hati-hati ketika mulai puber dan jatuh cinta. Karena dampak dari orang yang kasmaran maupun yang patah hati akan sangat mempengaruhi suasana hidup keluarga. Hal ini benar adanya.
Bila anak baru kasmaran, suasana lingkungan keluarga terasa serba indah, ceria, dan penuh warna. Semua anggota keluarga merasakan betul virus cinta yang sedang merasuki salah seorang penghuninya. Suasana rumah terasa hidup oleh gurauan-gurauan atau ejekan-ejekan kepada yang lagi jatuh cinta yang ditangkap sebagai humor atau bumbu semangat untuk semakin bertumbuhnya rasa cinta.
Sebaliknya, bila seorang anak mengalami patah hati, suasana rumah menjadi muram, komunikasi yang tidak tepat dan ejekan remeh bisa menjadi bahan pertengkaran. Orang rumah menjadi tidak nyaman, serba salah, serta penuh ketegangan menghadapi anak remajanya yang lagi patah hati. Â
Seperti curhatan yang dikemukakan seorang ibu:Â
 "Saya harus bagaimana menghadapi anak saya yang baru diputus cinta oleh pacarnya? Saya merasa serba salah, karena kalau ditanya baik-baik pun,  jawaban anak bukan kata-kata yang lembut dan enak didengar.Â
Eh malah yang muncul kata-kata kasar, menyinggung perasaan saya, dan akhirnya terjadi pertengkaran antara saya dengan anak saya. Buntutnya, saya yang menangis dan anak masuk kamar, mengunci diri, dan tidak mau makan. Jadi, suasana rumah menjadi kacau dan tegang."
Permasalahan di atas dapat menjadi suatu bahan permenungan bagi orang tua yang memiliki anak remaja yang sedang berpacaran. Orangtua mestinya mempersiapkan diri anaknya sejak dini sebelum mulai memasuki masa puber dan terlibat cinta monyet.Â
Sehingga orangtua tidak kebingungan dalam bersikap ketika nantinya anak bertengkar dengan pacarnya atau sampai terjadi putus cinta yang menjadikan anak patah hati.Â
Umumnya sakit hati yang disebabkan patah hati dalam pacaran, dirasakan oleh orang yang diputus cinta.
Sedangkan yang memutuskan hubungan relatif lebih kurang kadar sakit hati, bahkan bawaannya terkadang cenderung "cuek" dengan perasaan mantan pacar yang sedang galau tingkat dewa.Â
Rasa sakit yang disebabkan patah hati dapat berlangsung lama ataupun singkat, tergantung dari dalamnya rasa cinta terhadap pacarnya, lamanya berpacaran, jenis kelamin, dan dukungan dari keluarga.
Dalamnya cinta seseorang terhadap pacarnya memang sulit diukur. Yang tahu adalah pribadi yang bersangkutan.Â
Namun, bisa dilihat dari indikator perilaku yang tampak, seperti misalnya seberapa banyak ia berkorban untuk kepentingan pacarnya, munculnya rasa cemas dan khawatir bila terjadi sesuatu terhadap pacarnya, rasa rindu yang taktetahankan bila pacarnya tidak update kabar terkini dan rasa ingin selalu dekat dengan pacarnya.Â
Dalamnya cinta inilah yang menjadi tolok ukur berlangsungnya lama tidaknya sakit hati. Semakin dalam cintanya, semakin lama sembuh luka hati yang ditimbulkan oleh putusnya hubungan percintaan.
Sedangkan lamanya berpacaran, cenderung sangat relatif dalam kaitannya dengan penyembuhan rasa sakit hati oleh karena putus cinta. Ada yang baru beberapa minggu saja menjalin asmara dan kemudian diputus, dapat memunculkan rasa sakit hati yang amat mendalam, sehingga lama penyembuhannya.Â
Sebaliknya, biarpun sudah bertahun-tahun menjalin asmara, ada juga yang ketika putus cinta dengan pacarnya, malah tidak begitu merasakan sakit hati, sehingga tidak membutuhkan waktu lama penyembuhan luka batinnya.Â
Antara lamanya berpacaran dengan dalamnya rasa cinta saling berkaitan satu sama lain.
Terkait jenis kelamin, umumnya anak laki-laki lebih cepat mengembalikan kondisi sakit hati yang disebabkan karena patah hati (mudah move on).
Sebab anak laki-laki cenderung mencari penyelesaian di luar rumah, misalnya melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya fisik (olahraga) sehingga rasa sakit hati dapat terekspresikan atau dialihkan sementara waktu dengan melakukan teriak-teriakan selama berolah raga atau bersendau-gurau dengan teman-teman sesama yang berolah raga atau mengobrol/sharing dengan teman-teman sebayanya, sehingga beban yang dirasakan menjadi ringan.Â
Namun, bila tidak terkendali, remaja lelaki juga bisa lari ke minum-minuman keras dan paling parah bisa lari ke narkoba.Â
Sebaliknya, remaja perempuan lebih cenderung untuk tinggal/diam di rumah bila mengalami sakit hati. Pelampiasan sakit hatinya cenderung diredam, yang bisa saja menjurus pada penyiksaan diri sendiri, menangis, mengunci kamar, tidak mau makan, dan sulit diajak komunikasi yang sehat.
Sehingga untuk penyembuhan sakit hati biasanya remaja perempuan relatif butuh waktu lama daripada remaja pria. Bila tidak terkendalikan bisa saja bunuh diri.
Faktor yang sangat besar pengaruhnya dalam penyembuhan sakit hati yang disebabkan patah hati pada anak adalah dukungan keluarga, dalam hal ini orangtua dan saudara-saudara.Â
Orangtua dan saudara-saudara harus cepat dan tanggap untuk segera mendampingi anaknya yang sedang sakit hati karena diputus cinta. Jangan membiarkan anak dalam kondisi sendirian dalam waktu yang lama. Karena bila terlalu lama, dampaknya bisa lebih parah.Â
Langkah-langkah dalam pendampingan:Â
1)Â Jangan segera menanyakan penyebab putus cintanya, biarkan anak bercerita sendiri;Â
2) Dengarkan keluhan/cerita anak, jangan menyela; tunjukkan empati dan simpati. Bila perlu anak dipeluk agar ada rasa nyaman dalam menumpahkan kekesalannya (kalau anak menangis, biar menangis di dalam pelukan);Â
3) Beri dukungan bila ada nada-nada ungkapan yang membutuhkan dukungan;Â
4) Jangan selalu diikuti ke mana saja anak pergi (ke kamar atau ke tempat teman, dsb), karena kadang-kadang anak ingin sendirian. Namun, jangan sampai lepas dari pengawasan;Â
5) Dekati teman-teman sebayanya dan minta untuk ikut mengawasi;Â
6) Bila anak dipandang sudah cukup mampu diajak komunikasi dengan baik, berilah nasihat-nasihat atau informasi berkaitan dengan masalah cinta dan pacaran.Â
Namun, sebaiknya tidak ditanyakan sebab-sebab putus cintanya, karena akan membuka luka lama, jika dia belum mau banyak bercerita.
Langkah-langkah di atas, tentunya sangat tergantung pada sifat/pribadi anak. Karena itu, seyogianya orangtua atau saudara-saudara dekatnya lebih memahami sifat/kepribadian anak sehingga model pendekatannya lebih cocok dengan karakter anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H