Arti dan Mahkota
Seorang gadis berjalan sendirian sambil menggendong sebuah tas ransel berwarna merah, ia mendekatkan dirinya kepada poster yang tertempel pada sebuah tiang listrik “Pembukaan padepokan bela diri di balai desa, hanya perlu membayar 5.000 dalam seminggu.” Gumam nya, segera ia mengambil ponsel lalu memotret poster itu.
“Ibu... Ibu lihatlah!” Panggil sang gadis seraya berlari menuju dapur. “Lihat bu, padepokan bela diri akan dibuka dibalai desa minggu depan! Bolehkah aku ikut? Aku janji akan membayarnya dengan uang saku ku sendiri, ini bisa jadi bekal untuk melindungi diriku bu!” Katanya dengan antusias.
“Bekal untuk melindungi diri? Dari siapa? Untuk apa? Kamu ini seorang perempuan, nantinya juga akan tetap tinggal dirumah, karena kodrat wanita adalah berdiam diri didalam rumah!” Ucap sang ibu.
“Tapi bu, ini juga bagus untuk kesehatan...” Balasnya.
“Kalau mau sehat tinggal makan sayur! Sudahlah ganti baju sana, lalu segera cuci piring dan cuci baju!”
Gadis itu hanya bisa menunduk kecewa, dia kesal, dia ingin marah namun yang keluar hanyalah air matanya, yang mewakilkan kemarahannya. Padahal adik laki-lakinya diperbolehkan mengikuti bela diri.
“Apakah hanya laki-laki yang boleh melakukan segala hal diluar rumah? Apa rumah benar-benar tempat terbaik untuk seorang wanita?” Tanya gadis itu dalam hatinya, ia enggerutu sambil mencuci piring seperti yang telah diperintahkan ibunya tadi.
Matahari sudah dilahap oleh ufuk barat sepenuhnya, langit mulai gelap, para jangkrik mulai mengeluarkan suaranya, ayam pun mulai berhenti berkokok. Ibu gadis itu baru saja menerima kabar dari telepon. “Arti tolong bersihkan kamar kosong itu, besok budhe, pakdhe, dan sepupumu mau berkunjung dan menginap. Sudah 4 tahun tidak bertemu, pasti sepupumu sudah besar.” Ucap ibunya.
“Iya bu, mas Gilang pasti sudah lulus SMA ya bu.” Balas gadis itu seraya membawa sapu untuk membersihkan kamar kosong yang diperintahkan ibunya.
Sang fajar pun kembali menguasai langit, mengusir seluruh malam. Arti dan ibunya sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk suguhan, sementara ayah dan adik laki-lakinya menata rumah agar lebih rapi dan enak dipandang. Jam mulai menunjukkan pukul 11 pagi, terdengar suara mesin mobil berhenti didepan rumah, ayah Arti keluar untuk melihat, ada 2 orang laki-laki dan 1 perempuan keluar dari mobil berwarna putih itu, mereka kerabat Arti yang baru saja sampai.
Suasana rumah Arti menjadi sangat ramai, mereka duduk lesehan dikarpet yang telah digelar oleh Arti, sambil menikmati makanan yang disuguhkan oleh keluarga Arti.
“Dek Arti tambah cantik ya, gak kerasa sudah kelas 12 SMA.” Ucap budhenya sambil mengelus rambut Arti.
“Hahaha betul kata budhe mu itu, tambah cantik kamu, saking cantiknya bisa pakdhe jadikan istri kedua hahahaha.” Semua orang tertawa, kecuali Arti dan sepupunya yaitu, mas Gilang. Semua orang masih sibuk begurau diruang keluarga, Arti menyusul ibunya ke dapur.
“Bu, pakdhe itu apa-apaan sih jijik aku denger kalimatnya tadi, kaya pedofil, aku takut bu.” Bisiknya. sebuah tamparan tiba-tiba melesat dipipi gadis itu.
“Jaga mulut kamu Arti! Pakdhe itu hanya bercanda, tidak punya sopan santun kamu bilang seperti itu kepada pakdhemu! Kamu saja yang kecentilan, sampai ge er mengira pakdhe mu naksir sama kamu!” Bentak sang ibu kepadanya.
Arti terkejut, mencoba menahan amarah dan air matanya. Arti menunduk dan mengalihkan pandangan ke arah pintu, disana ternyata ayahnya menyaksikan hal tersebut, ia menatap wajah sang ayah dengan berbinar, matanya mengharapkan pertolongan dan pembelaan, namun.
“Ayah benar-benar tidak menyangka kamu bisa bicara seperti itu Arti! Dasar tak tahu sopan santun! Masuk ke kamar sekarang juga!” Teriak sang ayah.
Sontak Arti berlari menuju kamar membanting pintu kuat-kuat lalu meluapkan tangisannya, ia tidak menyangka ibu dan ayahnya akan seperti itu.
Disaat tidur lelapnya ia merasakan kulit lain menyentuh kulitnya, sontak Arti terbangun dari tidur lelapnya.
“Pakdhe! K – Kenapa pakdhe masuk ke kamar Arti tanpa izin?” Teriaknya diawal, namun langsung memelankan suaranya karena takut.
“Maaf Ar, kemarin pakdhe hanya bercanda, pakdhe tidak tahu kalau kamu akan merasa tersinggung dengan ucapan pakdhe, pakdhe kesini cuma mau membangunkan kamu untuk beribadah, ternyata kamu tiba-tiba bangun sendiri. Ya sudah yuk ayo berribadah sama-sama kita sambung lagi tali kekeluargaan kita Ar.” Ucap lelaki setengah paruh baya itu dengan nada lembut. Arti hanya mengangguk lalu menyikap selimutnya dan ikut beribadah bersama keluarganya.
Pakdhe dan budhe Arti mengajak seluruh keluarga jalan-jalan ke pantai untuk mencairkan ketegangan yang terjadi semalam. Arti yang begitu mencintai sang laut, langsung memancarkan senyum yang cerah, ia antusias untuk ikut ke pantai.
“Laut memang yang paling terbaik dari yang terbaik!!” Teriaknya meluapkan segala beban dan amarah yang ia pendam kemarin. Ia berenang agak jauh dari daratan, gelombang kecil dari lautan seakan-akan mengusir beban yang ada didalam hatinya, ia merasa disucikan kembali, ia menangis didalam air, benar-benar salah satu mengusir lelah terbaik.
2 jam telah berlalu, tangan gadis itu juga sudah mengerut, karena terlau lama berasa didalam air, dia melihat kedua tangannya dengan tersenyum. “Kapan ya terakhir kali aku melihat tanganku mengerut seperti ini saking asiknya bermain di laut.” Gumam gadis itu.
Arti bergegas mengambil baju ganti dan juga alat mandi seperti sabun dan shampo untuk membersihkan diri. Namun ia dikejutkan karena sebuah tangan setengah keriput menyentuh pundaknya.
“Arti, segera bergegas ya katanya kamu mau ada kerja kelompok? Jadi pulang duluan sama pakdhe dan mas Gilang, adik pengen naik perahu soalnya.” Arti hanya mengangguk mendengar kata yang dilontarkan pakdhe nya. Jujur ia takut, tapi ya sudahlah tak mungkin pakdhe nya berani macam-macam kepadanya.
Sesampai dirumah ia kembali membersihkan diri, karena merasa masih kurang bersih saat bilas tadi, gawatnya ia lupa membawa handuk, padahal badannya sudah basah dan baru saja keramas, apalagi ada 2 laki-laki dirumahnya. Dengan hati-hati dia keluar dari kamar mandi dengan baju yang basah karena air yang belum kering dari rambut dan badannya.
“Arti kamu gak pakai handuk? Kok masih basah kuyup gitu?” Tanya pakdhe.
“Iya pakdhe, lupa bawa tadi, ini mau ambil handuk buat ngeringin rambut.” Balasnya.
“Ini ada handuk bekas pakdhe, kamu pakai saja.” Ucapnya sambil mendekatkan diri dan mengusapkan handuk itu dikepala Arti. “Rambut yang ini juga pasti masih basah ya Arti?” Tiba-tiba handuknya berpindah kebawah perut Arti, mulutnya dibekap tengan tangan setengah keriput itu, Gadis kecil itu memberontak, namun handuk itu tak mau beralih dari bawah perutnya. Dia berteriak dan menangis, tangannya mencoba meraih sebuah gelas kaca, membenturkannya ke kepala tua bangka itu.
“BAPAK!!” Suara mas Gilang menggema keseluruh ruangan. Lehernya mengeras, serta tangannya mengepal menunjukkan urat-uratnya.
“Lang, ini bukan seperti yang kamu lihat. Arti, dia yang menggoda bapak! Lihat lah dia tiba-tiba menurunkan celananya, bapak menyuruh dia memakai celananya dengan benar, tapi Arti mengancam akan berteriak kalau bapak tidak mau lang.” Jawab bapaknya membela diri dengan menangis tersedu-sedu.
Arti menggeleng dan menangis, ia meringkuk, menatap Gilang untuk meminta pertolongan. Melihat kondisi Arti yang tak berbentuk itu, Gilang bergegas membawanya untuk pergi melapor ke polisi. Tangan bapaknya mencengkram pundak Gilang dengan keras, lalu berbisik kepadanya.
“Ibu, punya sakit jantung lang. Kamu tidak tahu kan? Sekarang bapak kasih tau kamu! Jika kamu mau ibu tetap hidup bareng kita, jangan laporkan ini ke polisi. Apa kamu tidak mau mencicipi sepupumu yang cantik itu? Bapak janji tidak akan bilang siapapun asal kamu juga tidak bilang kepada siapapun.” Gilang tak menggubris dan menepis tangan lelaki tua itu secara kasar.
Diperjalanan, pikirannya berkecamuk, harus dia apakan sepupu dan bapaknya. Harus apa dia depan ibunya dan keluarga Arti. “Kalau dia hilang, apakah semua masalah akan ikut hilang? Tidak! Tapi setidaknya beberapa masalah ikut hilang kan?” Entah setan apa yang merasuki dirinya, hingga bisa berpikir seperti itu. Jalan pintas yang dibangun oleh setan, telah ia masuki, dan ia mulai melangkahkan kakinya ke jalan maksiat itu.
“Arti?” Ucapnya, membuka obrolan.
“Kenapa mas?” Balas gadis itu.
“Maafin mas ya.” Arti tak mengerti apa maksud dari kalimat terakhir dari kaka sepupunya itu. Kini yang ia pahami ialah, semuanya gelap, matanya sangat berat. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya, serta rasa sakit mengalir diseluruh bagian paha dan bawah perutnya bersamaan dengan itu kepalanya begitu nyeri, ia juga mencium aroma yang sangat anyir mengalir ke bawah telinganya.
Ia menahan rasa sakit dan dingin disekujur tubuhnya. Air mata ikut menetes tanpa ia sadari, dibatinnya ia ingin tahu, apa yang terjadi kepadanya? Apakah kehampaan dan rasa sakit ini adalah sebuah kematian yang sering orang-orang ceritakan?
Ditengah-tengah saat ia menahan rasa sakitnya, terdengar suara seorang perempuan berteriak dan menangis histeris. Tak tahu apa yang terjadi, hanya rasa hangat dari sehelai kain lah yang kini ia sedang rasakan. Tak lama, terasa seperti beberapa kulit menyentuh tubuhnya. Entah kenapa rasanya begitu damai dan tenang saat kehangatan mulai menutupi seluruh tubuhnya, dia merasa ini saatnya ia memuaskan rasa kantuknya dengan tidur.
Terdengar suara banyak mesin berdenting ditelinganya, serta cahay yang begitu terang didepan matanya. Rasanya sangat mengantuk, tapi ia penasaran kenapa banyak air menetes ditubuhnya.
“Arti! Bangun nak! Maafkan ayah dan ibu, maaf arti!” Ibu dan ayahnya menangis dengan histeris. Namun Arti tak tahu harus seperti apa, tubuhnya sangat berat untuk digerakkan, hanya matanya yang mampu berkedip. Banyak sekali orang, bahkan dokter dan polisi juga, kenapa?
Kondisi gadis cantik itu mulai membaik setelah 7 hari perawatan medis, hanya saja mentalnya terguncang mengetahui apa yang terjadi kepadanya 7 hari yang lalu. Polisi datang untuk meminta keterangan korban, tapi tetap saja tak mudah bagi ia meneceritakan kembali kisah dimana mahkota nya telah dihancurkan begitu saja.
Sekarang sudah 14 hari sejak kejadian, sedikit mulai sedikit, psikolog membantu Arti untuk memberi keterangan. Namun tetap saja ia tidak mampu, dia hanya sanggup bercerita ketika ia pulang kerumah setelah dari laut.
Hari ini tepat 21 hari setelah kejadian, kedua pelaku dijatuhi hukuman 5 dan 7 tahun penjara. Namun malangnya nasib gadis ini. Hari ini juga merupakan hari dimana ia dinyatakan mengalami pembuahan dari kejadian 21 hari yang lalu. Sayangnya hukum dinegeri ini begitu menjijikkan, dimana korban dipaksa menikah dengan pelaku yang telah membuahinya secara paksa dan kriminal. Negara dimana korban dipaksa tetap mengandung dan mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan janin yang dibuahi pelaku.
Bahkan gadis malang itu harus dikeluarkan dari sekolahnya, padahal hal tersebut bukan kesalahannya. Gadis malang itu harus dikucilkan seluruh masyarakat padahal kehamilan itu bukan apa yang ia inginkan. Gadis itu hanya ingin hidup dengan sebuah keadilan yang benar-benar adil. Kalau hanya 5 dan 7 tahun penjara, gadis 17 tahun itu bahkan nantinya belum menginjak umur 25 tahun, lalu setelah itu, harus apakah dia bila bertemu kembali dengan sang pelaku? Bahkan harus menikah dengan sang pelaku?
“Tuhan, sebenarnya aku salah apa? Kenapa harus aku? Dosa kah aku bila membunuh janin yang tak pernah kuinginkan ini? Lebih berdosa mana dengan orang yang memaksaku untuk mengandung janin yang tak pernah ku inginkan ini?” Tanya nya kepada langit sambi meneteskan air mata.
“Ketika dia lahir, aku harus apa? Cita-cita dan masa depanku lenyap begitu saja karena dia dan janin ini. Haruskah aku mengeluarkan keringat, tenaga, dan uangku untuk hal mengurusnya? Apakah ini yang semesta mau dari ku? Kenapa semesta tak memberinya dengan cara yang baik-baik? Aku bahkan bukan anak nakal, kenapa harus aku?” lanjutnya.
Ibu Arti yang melihat anaknya menangis dan berbicara sendiri, ikut tersayat hatinya. Gadis kecil itu dulu meminta pertolongan kepadanya, tapi tangannya malah melemparkan sebuah tamparan. Dia menyesal, dia merasa adalah ibu paling buruk didunia. Ayah nya pun begitu, begitu depresi akan penyesalannya.
“Ibu? Bukankah kalian bilang rumah adalah tempat terbaik bagi perempuan? Lalu yang terjadi padaku di dalam rumah, itu apa? Apakah salahku dalam memakai baju? Aku hanya menggunakan baju tidur bermotif beruang dan bunga, serta celana panjang yang kebesaran milik ayah. Apakah laki-laki begitu murahnya, terangsang dengan rambut yang basah? Kalau aku tidak keramas waktu itu, apakah aku selamat, ibu?” Tanya nya kepada sang ibu tanpa menoleh ke belakang sama sekali.
Ibunya berlari menghampiri dan memeluk putri sulungnya itu. “Maaf sayang, ibu minta maaf, bila ibu bisa menggantinya dengan nyawaku, akan kulakukan sekarang juga!” ujarnya.
“Tidak perlu ibu. Nyawaku lah yang akan membayarnya, karena memang dunia ini hanya milik nafsu para laki-laki.” Balas Arti.
Diam-diam ia sembunyikan tangan kirinya, gadis itu benar-benar menyerahkan nyawanya kepada sang kuasa, dia ingin mengunjungi sebuah tempat yang katanya keadilan benar-benar ditegakkan.
“Aku mau melihat sebuah timbangan ibu, timbangan yang katanya benar-benar setara dalam menimbang. Tidurlah ibu, aku ingin segera tidur juga untuk meoihat timbangan itu.” Ibunya tak paham maksut dari kalimat yang dilontarkan Arti, ia pikir Arti berhalusinasi efek dari obat ketenangan yang diberikan dokter.Ibunya meninggalkan ia sendiri agar Arti bisa lebih tenang.
Keesokan harinya, gadis itu benar-benar menemui timbangan yang ia cari selama ini. Ia tersenyum sangat bahagia, sementara dibelakangnya semua orang menangis.memandang dirinya yang sedang tertidur lelap.
“Tidurku malam ini ternyata sangat cantik ya? Baiklah saatnya aku menimbang ditimbangan yang adil itu!” Katanya, yang terakhir kalinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H