Mohon tunggu...
Fajar Saputro
Fajar Saputro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Mereka Sebut sebagai Ekonomi Berbagi

12 Agustus 2018   11:39 Diperbarui: 18 Agustus 2018   05:44 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari pertemuan ini akhirnya aku tahu, bahwa kendaraan roda dua tidak masuk dalam kategori transportasi umum. Maka  aku memilih tak banyak bicara, khawatir akan ada equality: semua jenis kendaraan ojol ataupun opang tidak boleh beroperasi. Di dalam kesempatan ini aku hanya menyuarakan agar ojol tak memasuki area kami. Dan, dicapailah sebuah kemufakatan tentang zona merah bagi ojol. Ada tujuh: bandara, stasiun, terminal, mal, rumah sakit, pasar dan tempat hiburan malam. Di lokasi-lokasi tersebut, para ojol dilarang mencari penumpang. Kecuali mengantar.

Masalah selesai? Belum. Selain faktor makin sepinya order yang kami terima, masih ada saja ojol yang berusaha melanggar---memasuki zona merah yang telah disepakati. Meskipun tindakan tersebut tidak merepresentasikan perilaku ojol secara institusi, tapi yang namanya pengkhianatan ya pengkhianatan!

Aku mengkoordinir teman-temanku untuk mendatangi kantor ojol beramai-ramai, meminta perhatian mereka.

"Begini saja, bapak-bapak," perwakilan opang diterima di kantornya untuk membicarakan masalah ini. "Jika ada mitra (sebutan untuk driver ojol) kami  yang memasuki zona merah, silakan ditindak. Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh oknum yang sama, silakan dilaporkan. Kami akan melakukan PM (pemutusan mitra)."

Tapi, hal tersebut tak mengubah keadaan. Para ojol melengkapi dirinya alat agar bisa berkomunikasi dengan calon pengguna jasanya. Mereka bertransaksi secara sembunyi-sembunyi dengan caranya masing-masing. Dan, situasi ini tak kunjung reda. Sebab pihak perusahaan ojol tak dapat mengontrol perilaku culas mitranya. Maka jalan satu-satunya adalah mengajak kami, para opang, untuk bergabung bersama mereka. 

Mereka datang ke pangkalan-pangkalan ojek, mengsosialisasikan produk yang mereka sebut sebagai ekonomi berbagi atau sharing economy yang mana saya pahami---kita adalah pemilik modal (kendaraan) sekaligus buruh dari kegiatan ini. Sedangkan pemilik aplikasi, berdiri sebagai perantara, mempertemukan antara si calon penumpang dan, yang mereka sebut sebagai mitra, dalam sebuah peristiwa antar-jemput.

Sebagai perantara, pemilik aplikasi mendapat pemasukan dari kedua belah pihak: dari penumpang, diambil dari tarif yang dikenakan kepadanya. Misal: jika yang ditempuh adalah jarak paling pendek, maka penumpang harus membayar sebesar sepuluh ribu rupiah---yang mana dari sepuluh ribu tersebut yang masuk ke pihak perantara adalah dua ribu rupiah. Maka delapan ribu rupiah inilah yang tertera pada aplikasi mitra, bahwa perjalanan yang akan dia tempuh menghasilkan sejumlah nominal tersebut: jika pembayaran dilakukan cash oleh si penumpang, berarti saldo handphone yang dimiliki si mitra akan terkurangi dalam transaksi tersebut; misalnya dua ribu rupiah. Jadi, fakta perjalanan tersebut bernilai enam ribu rupiah bagi si mitra.

Begini ya bapak-bapak dan mas-mas sekalian. Kami ini generasi analog. Usia yang boleh dikatan sudah tidak muda lagi ini, mempersulit kami untuk menggunakan perang-perangkat canggih yang sangat tidak ramah dengan orang gaptek semacam kami. Itu pertama.

 Yang kedua, tidak ada proses tawar-menawar dengan calon penumpang---di mana hal tersebut merupakan anugerah yang sangat hangat bagi kami: dapat berbincang-bincang dengan orang baru, saling menatap mata satu sama lain dan hal-hal yang dapat dilakukan antar manusia yang sedang berhadap-hadapan. Ketiga, kami tidak ingin pendapatan kami dipotong---seperti yang dilakukan oleh pihak perusahaan ojol kepada mitranya. Keempat, kami ingin pembayaran dilakukan secara cash, bukan kredit. Proses yang sangat asing ini membuat kami bingung dan kesulitan.

Dari semua hal yang kusebutkan tadi, sebenarnya masih ada satu hal lagi yang paling mendasar, yaitu ramalan Jangka Jayabaya tentang zaman Kalabendu: nalika pasar ilang kamndhange (ketika pasar kehilangan keriuhannya). Pasar di sini jangan ditafsir sebagai pasar dalam arti bangunan, tapi transaksi ekonominya. 

Ojol tak ada transaksinya. Kedua belah pihak "dipaksa" mentaati tarif yang telah ditentukan pihak perusahaan. Kami tidak mau menjadi salah satu menyumbang terjadinya zaman Kalabendu. Ditambah dengan bias tafsir tentang istilah 'mitra' bagi ojol yang mana tidak pernah ada kesetaraan antar mitra (penyedia ojek dan perusahaan). Dan masih banyak lagi persoalan lain, seperti: perilaku penumpang yang bossy, order fiktif dan lain sebaginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun