Di bawah lindungan atap asbes yang ditopang tiang-tiang bambu, aku memperhatikan tingkah tema-temanku yang sedang berusaha menyibukkan diri dengan cara mereka masing-masing. Lantas kuperiksa papan yang tertempel pada tiang bambu: berisi nama-nama para tukang ojek dan berapa trip yang sudah mereka jalankan. Tapi papan itu bersih, hanya ada bekas angka-angka romawi yang tampak pudar, sisa catatan kemarin atau kemarinnya lagi.
Ada apa ini?
Tanpa pikir panjang aku mendekati orang-orang yang sedang berdiri dipinggir jalan, "ojek, mas? Mau ke mana?"
Ada yang menghindar ketika kudekati, ada yang pura-pura tak mendengar, acuh, ada yang menggelengkan kepalanya---tanda penolakan atas tawaranku; dan,  tak sedikit yang bilang: "sudah  ada yang jemput!" sambil terus menatap layar gawai di tangannya.
Tak apa, yang penting usaha.
Setelah beberapa menit memperhatikan lalu-lalang kendaraan, mafhumlah aku sekarang. Rupanya, yang mereka katakan sudah ada yang jemput itu adalah penegndara sepeda motor yang dilengkapi atribut: jaket dan helm pada si pengendara.
"Penyakit!" Aku utarakan kekesalanku kepada teman-teman. "Dari paguyuban mana mereka?"
Tidak ada yang menjawab.
"Bagaimana mereka tahu bahwa di sini ada penumpang yang membutuhkan jasanya?"
Ternyata gejolak yang kami rasakan juga dialami oleh yang lainnya di hampir seluruh daerah. Aku mengetahuinya di televisi: terjadi konflik horizontal antar penyedia jasa transportasi, antara konvensional dan online. Awalnya yang menjadi sasaran amuk adalah ojol, dan banyak yang mereka alami: dari hanya berupa intimidasi, pengerusakan kendaraan, luka-luka hingga hilangnya nyawa.
Tanpa mengurangi rasa simpatikku terhadap para korban, maaf, Â itulah akibat jika kalian mengambil tanah garapan orang.