Mohon tunggu...
Faiz Zawahir Muntaha
Faiz Zawahir Muntaha Mohon Tunggu... -

KADER BIASA HMI tumbuh dan berkembang di HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung alumni Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung Akun lama kompasiana saya http://www.kompasiana.com/faiz_alzawahir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemaknaan Kalimat Syahadat Sebagai Pijakan Pendidikan Moral [1]

10 Februari 2016   22:45 Diperbarui: 10 Februari 2016   22:55 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Ketika mendapat sepucuk surat undangan untuk berdiskusi dengan mahasiswa fakultas Tarbiyah UIN Bandung yang di fasilitasi oleh senat mahasiswa fakultas tarbiyah dan keguruan dengan tema “pendidikan akhlaq menurut barat dan timur”. Saya dihinggapi oleh kebingungan dengan tema tersebut karena apa yang di maksud dengan barat dan timur pada tema tersebut? Jika yang dimaksudkan oleh tema tersebut kata “barat” merefresentaskan pemikir yang berasal dari eropa dan amerika sedangkan “timur” merefresentasikan islam.

Padahal sesungguhnya di dunia ini tidak ada barat dan timur (qs.an-nur:35). Barat dan timur adalah pendikotomian orang eropa dalam mebagi wilayah. Jika sudah dibagi menjadi barat dan timur maka Semua ilmu pengetahuan dan kemajuan itu berasal dari timur.Jika kita berkaca pada sejarah maka timur adalah pusat peradaban,peradaban yang dibangun oleh orang timur pasti sebuah peradaban yang maju dan tidak menimbulkan kerusakan di atas bumi ini hal ini berbanding terbalik dengan peradaban yang dibangun oleh orang barat baru saja menguasai perdaban dunia 3 abad dunia ni sudah dilanda kerusakan.

Fritjof Capra seorang ilmuwan Barat  mengungkapkan kegelisahannya. Menurutnya saat ini,  ahli-ahli dalam berbagai bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang keahlian mereka. Para ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi, Onkolog bingung tentang penyebab kanker; psikiater dikacaukan oleh schizofrenia,  dan polisi semakin tidak berdaya oleh semakin tingginya tingkat kriminalitas. [3]

Problematika sosial tersebut akhirnya  memunculkan pemberontakan-pemberontakan dalam masyarakat modern.  Barat kemudian berusaha mengembangkan pendidikan nilai atau karakter  yang berorientasi kepada nilai, etika dan moralitas yang diharapkan dapat  memunculkan manusia-manusia yang  humanis.

Peradaban Barat modern  menganggap nilai  sebagai produk rasionalitas  individu-individu, namun ketika nilai berada dalam konteks sosial dan budaya, maka nilai diartikan sebagai konsensus bersama sekelompok manusia. Sebagaimana pandangan Weber, salah seorang tokoh sosiologi Barat,  yang menyatakan bahwa nilai itu ada secara objektif dalam subjektivitas manusia dan murni menjadi milik dari pribadi-pribadi.

Dengan itu, konsepsi Barat tentang nilai, moral, dan etika bersifat relatif dan  sangat berbeda bahkan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Konsep tentang apa yang disebut baik dan buruk merupakan kancah pertarungan pemikiran yang tak pernah henti dari filosof-filosof Barat, sejak jaman Yunani sampai hari ini.   Dari pendidikan yang berorientasi kepada etika Kristen sebagaimana pemikiran Thomas Aquinas, kemudian berubah menjadi paham materiasme yang dikembangkan Decartes. Sejak saat itu, ilmu diaggap sebagai value free atau bebas nilai sehingga pendidikan di Barat dikembangkan “tanpa” nilai.  Moral, etika, agama, kemudian dijauhkan dari kurikulum dengan harapan manusia dapat lebih cerdas dan kreatif dalam menciptakan dan berinovasi di bidang sains dan teknologi.

Hal tersebut  merupakan konsenkuensi dari sekularisasi yang melanda Eropa setelah hilangnya kepercayaan masyarakat Barat terhadap kepempinan gereja. Sekularisasi menyebabkan  pengukuran baik-buruk, benar-salah,  semata-mata dilakukan melalui rasio dan pengalaman indera manusia. Masyarakat Barat pada akhirnya menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena subjektif yang dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal.   Konsepsi nilai dalam peradaban Barat  terus berevolusi sesuai dengan tuntutan jaman akibat ketiadaan nilai absolut yang bersumber dari wahyu yang mengatur kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan moralitas. Konsep nilai berkembang sesuai dengan konsepsi masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama dan ilmu serta kehidupan itu sendiri. Perkembangan konsep nilai ini  menunjukkan betapa Barat tidak pernah akan berhenti  merumuskan nilai-nilai  yang dianggap baik bagi kehidupan masyarakatnya. Sejarah memperlihatkan perubahan  radikal konsep nilai di Barat, dimulai dari penerimaan pada etika moral gereja, sampai akhirnya berujung kepada penghapusan unsur-unsur metafisika dalam etika moralnya. Dahulu gereja mengharamkan tindakan homoseksual karena tidak sesuai dengan nilai etika agama tersebut, namun  saat ini dunia menyaksikan  seorang homoseksual telah diangkat  menjadi Uskup di Gereja Angllikan, New Hamshire pada tahun 2003 lalu.

Hal tersebut tentunya berbeda dengan pendidikan karakter dalam Islam yang menekankan pada  konsep adab. Islam berbeda dengan Barat, mempunyai teladan manusia yang mempunyai karakter sempurna, yaitu Rasulullah saw.   Konsep adab dalam Islam  terkait  dengan  keyakinan bahwa dalam melakukan tindakan, manusia mempunyai rujukan yang utama yaitu wahy u Allah  swt dan sunnah Nabi-Nya. Konsep pendidikan karakter yang bercorak sekuler-liberal tidak mungkin dapat mencetak manusia-manusia beradab.

Menurut Prof al-Attas, prinsip etika yang sejati dan universal hanya dapat dibangun oleh jiwa manusia yang bersifat spiritual. Yaitu ketika jiwa mendapatkan ilmu yang benar dari Tuhannya.  Sehingga merupakan sesuatu yang memprihatinkan apabila umat Islam masih percaya bahwa  etika  universal  dapat dibangun menggunakan framework  Barat modern yang menganggap  Tuhan dan jiwa  tidak memiliki objektivitas dan nilai ilmiah sebagai sumber ilmu.

Islam yang membedakannya dengan etika filsafat, yaitu sebagai berikut:

Ø  Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.

Ø  Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan, didasarkan pada ajaran Allah SWT, yaitu Al-Qur’an, dan ajaran Rasul-Nya yaitu sunnah.

Ø  Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.

Ø  Dengan jaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah manusia dan akal pikiran manusia. Maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia.

Ø  Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT menuju keridhaan-Nya. Dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan selamatlah manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru dan menyesatkan.

 

Kembali pada nilai-nilai keislaman sebagai pijakan pendidikan moral guna kemajuan bangsa

Islam adalah agama yang paling sempurna dan tak ada yang lebih sempurna dari islam “al islamu yu’la wala ya’lu alaih” . manifestasi akan kesempurnaan islam ada dalam segala asfek kehidupan. Islal satu-satunya agama yang membahas segala asfek kehidupan manusia. Islam senantiasa mengatur bagaimana pola interaksi manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesame manusia,manusia dengan alam dan manusia dengan dirinya sendiri. Selain dari itu islam satu-satunya agama yang mengatur seluruh tingkah laku dalam kehidupan manusia. Kesempurnaan islam bisa dibuktikan oleh semua manusia menggunakan fersfektif apapun dan ketika islam dilihat dari berbagai fersfektif maka akan semakin Nampak kesempurnaan islam. Hal itu membuktikan bahwasanya kesempurnaan islam tak akan pernah terbantahkan lagi.

Jika suatu bangsa ataupun Negara dibangun dengan pijakan nilai-nilai islam maka bangsa itu akan menjadi bangsa yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT karena hal itulah yang menjadai “masyarakat Cita” yang menjadi tujuan islam. Hal itu akan Nampak  ketika islam yang rahmatan lil alamin terrealisasikan dalam segala asfek kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Akan tetapi kesempurnaan islam tidak akan pernah bisa terlihat dan dirasakan ketika nilai-nilai ajaran islam tidaklah di aflikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena sebuah nilai atau ajaran dikatakan hidup ketika diwujudkan dalam amal shaleh atau caknur menyebutnya kerja social. ketika ajaran serta nilai yang diajarkan agama itu tidak di implementasikan dalam kehidupan maka agama akan kehilangan subtansi serta esensi dari agama tersebut. Agama hanya akan menjadi ritus-ritus yang kehilangan maknanya,agama hanya akan menjadi seperangkat kitab-kitab yang mendongengkan kebaikan dan keburukan.

            Dalam mengimplementasikan ajaran islam dalam kehidupan ini maka kewajiban untuk seluruh umat islam yang pertama adalah membaca dua kalimat syahadat. Dua kalimat syahadat sebagaimana dibahas oleh para ulama adalah pintu gerbang menuju keislaman yang kaffah. Dalam hadis nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim Syahadat adalah rukun islam yang ke-1 dalam logika ilmu pasti tak mungkin manusia bisa sampai pada angka 2 jika angka satu belum sempurna begitu pula seterusnya. Oleh sebab itu maka penyempurnaan syahadat adalah kunci untuk mewujudkan islam yang rahmatan lil alamin.

 

Kepasrahan adalah titik nol sebagai prasarat mutlak Syahadat yang kaffah

            Akan tetapi masalah yang selanjutnya bagaimana caranya supaya manusia bisa sempurna dalam syahadatnya. Syahadat adalah rukun islam yang ke-1 namun dalam deret matematika di alam raya ini sebelum bisa menginjak ke angka 1 maka manusia haruslah menyempurnakan dulu bilangan 0 (nol) baru aka tercapai. Prasarat utama supaya syahadat seorang muslim sempurna adalah : pertama. Syahadat adalah perwujudan dari kepasrahan manusia dalam menerima Allah sebagai tuhannya serta Nabi Muhammad SAW sebagai nabinya. Seorang manusia bisa pasrah jika memiliki alasan yang tepat dan tidak terbantahkan kenapa saya harus pasrah? Kepasrahan adalah titik nol dalam diri manusia titik nol adalah titik keseimbangan alam semesta. Nol adalah bilangan yang nilainya tak terdefinisikan oleh sebab itu menurut saya keliru jika ada ahli matematika mengangap nol itu tidak bernilai jika tida disertai dengan bilangan yang lain. Dalam deret aritmetika titik nol adalah titik kesimbangan yang mana nilai nol tidaklah terdefinisikan dan tidak terbatas. Buktinya jika dari angka nol bergeser kekanan atau keatas maka itu bernilai positive mulai dari 1 sampai tidak terhingga dan jika bergeser kekiri atau kebawah maka negative mulai dai -1 sampai tidak terhingga. Jika manusia menghitung sampai ke angka berapapun kalau dikembalikan atau dikalikan pada titik nol maka nilainya adalah nol. Oleh sebab itu nol nilainya itu tidak terbatas bisa menjadikan angka lain bernilai atau tidak bernilai. Coba lihat betapa rumitnya filsafat dan penggunaan angka romawi yang tidak ada bilangan nol di dalamnya.

Oleh sebab itu menurut saya nol adalah titik ilahiyyah dimensi ketuhanan yang menjadikan alam semesta ini stabil. Manusia sekaya dan sekuat apapun ketika dikembalikan pada titik ketuhanan nilai yang ia miliki tidak ada apa-apanya. Pun manusia selemah atau semiskin apapun ketika dikembalikan kepada nilai-nilai ilahiyah maka semuanya tidak ada artinya. Semua bilangan baik positive ataupun negative berasal dari titik nol sebagai pijakan awalnya. “innalillahi wainna ilaihi roji’un” semua berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah. Semua berasal dari titik nol maka jika dikembalikan pada nol maka semuanya seakan-akan tak ada nilainya.

Seorang manusia bisa pasrah dalam bersyahadat ketika ia menyadari betapa dirinya tidak berdaya,tidak ada apa-apanya dan tak ada gunanya ktika tanpa Allah. Dia akan lemah jika tak diberikan kekuatan oleh Allah,dia akan miskin ketika tak diberikan kekayaan oleh Allah dan dia akan bodoh ketika tak dikaruniai ilmu oleh Allah sang pencipta awal dari sesuatu.

Jika kita fahami dan perhatikan secara seksama manusia-manusia yang enggan menyembah Allah dan enggan bersyahadat secara kaffah, hal itu disebabkan oleh adanya rasa kepemilikan kelebihan yang ada dalam dirinya.dia merasa dirinya kuat sehingga tak membutuhkan Allah untuk melindunginya,dia merasa kaya raya sehingga tak membutuhkan Allah sebagi dzat yang menjamin kehidupannya,dia merasa punya jabatan sehingga bisa merasa paling berkuasa. Sehingga rasa-rasa itulah yang menghalangi dari kepasrahan manusia terhadap TUHAN. Manusia bisa pasrah kepada Tuhan ketika dia menyadari dan kembali pada titik nol sebagai awal dari segala sesuatu yang ia miliki.

 

            Pemaknaan kalimat Syahadat sebagai pijakan bersyahadat secara Kaffah dan berakhlakul karimah

            Syahadat bukan hanya diucapkan melainkan yang terpenting haruslah dimaknai. Jika seorang muslim hanya bisa mengucapkan dua kalimat syahadat maka sesungguhnya dia gak pantas disebut manusia karena jika syahadat hanya di ucapkan maka seekor burung beo pun diberikan kemampuan untuk mengucapkan. Jika syahadat seorang mukallaf hanya diucapkan seorang bayi yang baru belajara berbicarapun bisa mengucapkan itu. Oleh sebab itu pemaknaan dua kalimat syahadat menjadi syarat mutlak muslim untuk menjadi muslim yang kaffah.

            Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini saya akan mencoba membahas kalimat syahadat sesuai dengan kemampun yang saya miliki. Adapun kalimat syahadat pertama sebagai syahadat ilahiyah yang menjadi sebuah ikrar serta perjanjian antara makhluk dengan sang khaliq adalah :

اشهد ان لااله الاالله

Kalimat syahadat pertama diawali dengan lafadz “asyhadu” yang dalam kajian bahasa arab asyhadu itu dhamir atau subjeknya adalah “ana/aku” yaitu muttakalim wahdah  dalam bahasa Indonesia biasa diartikan “aku bersaksi” subjek aku sebagai orang yang melakukan persaksian adalah keseluruhan dimensi serta realitas yang dimiliki oleh si “aku”. Aku bukanlah mulut saja,bukan mata saja,bukan telinga saja melainkan semua yang ia miliki. Oleh sebab itu ketika seseorang mengucapkan lafadz “asyhadu” maka itu berarti keseluruhan realitas yang ada dalam dirinya itu dipersaksikan. Oleh sebab itu maka sahadat itu bukan “MENGAKU” melainkan “MENG-AKU” dalam artian ketika seseorang mengucapkan lafadz “asyhadu”dalm dua kalimat syahadat maka dia sudah mempasrahkan keseluruhan realitas yang ia miliki untuk dipersaksikan kepada Allah sebagai tuhannya dan Muhammad sebagai nabinya.

            Kemudian lafadz kedua dalam kalimat syahadat adalah “AN” dalam bahasa sunda ulama salaf mengartikannya “kalawan kalakuan sareung tingkah” dalam artinya dengan  keseluruhan kinerja serta gerak langkah dalm hidupnya. Oleh sebab itu orang yang membaca kalimat ini mengikrarkan apapun yang ia lakukan dan ia kerjakan dipersaksikan serta diperuntukan hanya untuk dzat yang maha benar. Ia melakukan kebaikan bukan untuk harta jabatan ataupun pujian melainkan hanya semata-mata hanya untuk Allah tuhan semesta alam.

            Kemudian kalimat “lailahaillallah” kalimat lailahaillallah di awali dengan huruf “LA” yang dalam kajian bahasa arab huruf “la” dalam kalimat ini adalah la naïf artinya la yang mentiadakan atau dalam kajian bahasa Indonesia disebut sebagai kalimat negasi. Selanjutnya lafadz “ILAHA”  yang dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan “TUHAN” hal itu bisa dilihat pada terjemah al-quran Surat An-nas  ayat kedua. Lafadz ilaha adalah realitas yang dipertuhankan oleh manusia. Selanjutnya disambung denga huruf “ILa” yang dalam tata bahasa arab adalah huruf istisnya atau afirmasi dalam tata bahasa Indonesia yang arti dan gunanya “mengecualikan” selanjutnya lafadz “ALLAH” sebagai wujud realitas yang benar-benar dipertuhankan oleh manusia tidak ada dzat lain yang dipertuhankan dengan seutuhnya dan sebenar-benarnya kecuali Allah.

            Oleh sebab itu jika kita tarik benang merah makna dari lafadz syahadat ilahiyah ini ketika manusia mengucapkan اشهد ان لااله الاالله  "asyhaduanlailahailaAllah"

Maka sesungguhnya dia sudah mengirarakan bahwa sesunguhnya aku bersaksi dengan demua yang ada pada diriku dan apapun yang akan aku lakukan dan kerjakan bahwa tidak ada tuhan yang aku sembah melainkan Allah. Maka orang tersebut apapun yang ia lakukan bukan menginginkan harta,pujian ataupun jabatan melainkan semata-mata hanya untuk Allah. Sehingga jika semua umat islam sudah faham akan makna syahadat maka pemaknaan itu haruslah tercermin dalam setiap tingkah laku yang ia lakukan,jika itu belum tercermin maka syahadat ilahiyahnya belumlah pantas disebut sebagai syahadat.

            Pemaknaan syahadat ilahiyah sangatlah pening untuk difahami dan diaflikasikan oleh seluruh elemen umat islam guna mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan di ridhoi Allah SWT. Jika syahadat ini dimaknai dan diamalkan oleh seorang pemimpin maka setiap kebijakan dan apapun yang ia lakukan bukanlah untuk upah,pujian ataupun kekayaan melainkan semata-mata hanya untuk Allah begitu pula oleh tentara,birokrasi,tokoh masyarakat,tokoh agama ataupun masyarakat biasa. Jika semua itu sudah terlaksana maka akan dengan sendiri bangsa dan Negara tersebut akan menjadi bangsa yang adil makmur dan diridhai oleh Allah SWT yang akan dibukakan padanya keberkahan dari langit dan bumi.

            Dalam krisis kepemimpinan,krisis moral.krisis akhlak yang ada pada bangsa Indonesia yang notabene mayoritas bangsa ini mengaku beragama islam dan tentunya pernah bahkan setiap hari pastilah membaca syahadat karena syahadat merupakan salah satu rukun sholat. maka sudah menjadi sebuah keharusan untuk melakukan reorientasi serta pemaknaan kembali syahdat ilahiyah yang sudah ia ucapkan sebagai seorang muslim. Pemaknaan kembali kalimat syahadat akan melahirkan revolusi akhlaq,revolusi moral,revolusi hukum bangsa kita menjadi bangsa yang seutuhnya yang kembali menjadi Indonesia yang berdaulat dan beridentitas.

 

Amin ya rabbal alamin

Yakin usaha sampai

Bahagia HMI

SALAM PERJUANGAN

[1] Disampaikan pada diskusi mahasiswa fakultas tarbiyah 11 september 2014
[2] Faiz Al-zawahir Ketua Umum HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
[3] Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, cetakan keenam, Jakarta : Bentang Pustaka, 2004, hal. 8

 

Pemaknaan Kalimat Syahadat Sebagai Pijakan Pendidikan Moral [1]

Oleh : Faiz al-zawahir [2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun