Bak musuh dalam selimut. Stunting ternyata diam-diam mengerogoti perekonomian Indonesia. Hasil riset Bank Dunia (2017) menggambarkan kerugian ekonomi akibat stunting mencapai 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Jika nilai PDB Indonesia 2017 sebesar Rp13.000 triliun, kerugian ekonomi akibat stunting di Indonesia diperkirakan mencapai Rp390-triliun.
Besarnya kerugian yang ditanggung akibat stunting lantaran naiknya pengeluaran pemerintah terutama jaminan kesehatan nasional yang berhubungan dengan penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, diabetes, ataupun gagal ginjal. Harap mafhum, ketika dewasa anak yang menderita stunting mudah mengalami kegemukan sehingga rentan terhadap serangan penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, ataupun diabetes.
Di sisi lain, stunting juga bisa menghambat potensi transisi demografis Indonesia dimana rasio penduduk usia tidak bekerja terhadap penduduk usia kerja menurun. Itu menggenapi ancaman lainnya berupa pengurangan tingkat intelejensi sebesar 5-11 poin.
Saat dewasa, anak yang terkena stunting pun pendapatannya rentan memperoleh 20% lebih rendah lantaran produkvitas mereka berkurang. Hal tersebut imbas pendidikan lebih rendah yang berujung pada pekerjaan dengan pemasukan lebih kecil. Â Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, pernah mengibaratkan anak yang mengalami stunting itu sudah kalah bahkan sebelum bertanding.
Stunting sendiri merujuk pada kondisi tinggi balita lebih pendek dari tinggi badan seumurannya. Istilah lain, kekerdilan. Terjadinya stunting bukan sesuatu yang tiba-tiba. Stunting timbul lantaran kekurangan gizi dalam waktu yang lama pada masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Yakni, sejak janin masih dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun.
Sejatinya, stunting bukan persoalan baru di Indonesia. Nukilan Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2007 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan menunjukkan angka prevalensi stunting secara nasional sebesar 36,8%. Angka prevalensi stunting pada Riskedas 2010 menurun tipis menjadi 35,6%.
Selanjutnya pada Riskedas 2013, angka prevalensi stunting kembali beringsut naik tipis menjadi 37,2%. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2015, prevalensi  Balita Indonesia yang mengalami stunting berhasil kembali turun menjadi 29,1%. Angka stunting kembali turun menjadi 27,5% berdasarkan PSG 2016. Hasil PSG 2017, angka prevalensi stunting kembali merambat naik tipis menjadi 29,6%.
Prevalensi angka Balita stunting di Indonesia sendiri masih berada di atas ambang batas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%. Dari 34 Â provinsi yang ada di seantero Indonesia, berdasarkan PSG 2017, hanya ada 2 provinsi yang berada di bawah ambang batas yang ditetapkan WHO.
Dua provinsi Yogyakarta sebesar 19,8% serta Bali dengan angka 19,1%. Saat ini diperkirakan ada 9 juta anak Indonesia yang menderita stunting. Artinya, 1 dari 3 anak Indonesia didera stunting. Secara global sendiri menurut WHO, sebanyak 22,9% atau setara dengan 154,8-juta anak Balita mengalami stunting.
Stunting menjadi penghambat hadirnya generasi Indonesia Sehat di masa kini dan mendatang. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pun telah berkomitmen penuh untuk menurunkan angka stunting lewat kerjasama lintas sektor yang terintegrasi. Pun, penetapan 100 kabupaten/kota sebagai lokasi prioritas penanganan stunting nasional. Penanganan stunting memang tidak bisa bersifat sektoral.
Kegiatan dalam ranah intervensi spesifik umumnya dilakukan lewat sektor kesehatan. Intervensi spesifik ini bersifat jangka pendek serta hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek. Kontribusi intervensi spesifik terhadap penurunan angka stunting sekitar 30%.
Ragam kegiatan yang dilakukan dalam kerangka intervensi spesifik ini diantaranya konsumsi tablet tambah darah bagi ibu hamil (minimal 90 tablet selama masa kehamilan), pemberian makanan tambahan ibu hamil, pemberian ASI ekslusif serta Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
Kegiatan lain berupa pemberian makanan pendamping ASI pada bayi di atas usia 6 bulan hingga 2 tahun serta pemberian imunisasi lengkap bagi anak.
Asupan gizi berkualitas selama 1.000 HPK menjadi penting untuk menghindarkan anak dari sergapan stunting. Terkait hal tersebut, penting untuk menyoroti pentingnya ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan berkualitas untuk menekan angka stunting di Indonesia.
Ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan berkualitas ini penting dalam upaya pemenuhan gizi masyarakat terutama ibu hamil agar terhindar dari stunting. Terkait hal tersebut perlu didorong adanya regulasi yang mengatur hal tersebut.
Nukilan dari laman Kementerian Kesehatan menunjukkan 1 dari 5 ibu hamil kurang gizi, 7 dari 10 ibu hamil mengalami kekurangan kalori dan protein. Sementara itu 7 dari 10 Balita mengalami kekurangan kalori serta 5 dari 10 Balita mengalami kekurangan protein.
Ketersedian bahan pangan berkualitas menjamin tersedianya bahan pangan kaya nutrisi bagi seluruh lapisan masyarakat. Kerapkali, bahan pangan berkualitas langka yang berakibat masyarakat sulit untuk memperolehnya.
D isisi lain, ketersediaan itu perlu digenapi dengan upaya keterjangkauan di mana bahan pangan berkualitas tersedia dengan harga rasional dan mampu ditebus masyarakat. Mafhum saja kerap kali terjadi bahan pangan berkualitas tersedia namun tidak mampu dibeli oleh masyarakat, terutama rumah tangga miskin, lantaran harganya selangit.
Mengimbangi langkah-langkah di atas, penting kiranya pula untuk memberikan pengetahuan mengenai seimbang bagi ibu hamil dan menyusui. Selain pengetahuan terkait jenis-jenis bahan nutrisi yang diperlukan, pun dengan cara pengolahan bahan makanan yang tidak mengurangi kandungan nutrisi dari bahan pangan yang diolah.
Faktor pola asuh pun turut berperan. Lalai memberikan masukan gizi seimbang bagi anak bisa berakibat stunting mengancam. Terbukti, tanpa pola asuh yang baik, 30% dari total balita yang terkena stunting berasal dari kalangan menegah atas yang abaik terhadap pengaturan asupan nutrisi bagi balita.
Sementara itu, intervensi sensitif  sendiri merujuk pada pelbagai intervensi yang dilakukan dalam penanganan stunting di luar sektor kesehatan. Sumbangsihnya dalam penanganan pencegahan stunting mencapai 70%. Contohnya, perilaku hidup sehat dan bersih, ketersediaan akses air bersih dan akses sanitasi, serta edukasi terkait pengasuhan, edukasi terkait gizi, kesehatan seksual dan reproduksi bagi remaja.
Penanganan stunting mustahil berhasil tanpa adanya kerjasama erat antara pemerintah dan warga masyarakat. Upaya penanganan stunting yang tengah dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan di Indonesia sejatinya sejalan dengan Nawa Cita Ke-5. Yakni, berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Menghadirkan generasi emas Indonesia di masa mendatang yang terbebas dari deraan stunting.
Apa yang kita tuai dalam masa waktu 15-20 tahun mendatang, merupakan buah dari apa yang kita tanam saat ini. Jika kita saat ini enggan untuk menyelesaikan permasalahan stunting, Â tidak perlu heran di tengah kompetisi antar negara yang masa mendatang, kita akan pusing dengan buah yang dipetik dari generasi Indonesia yang mengalami stunting. Agar tidak pening di masa mendatang, mari kita cegah stunting mulai dari lingkungan keluarga terdekat.
Foto-foto: www.sehatnegeriku.kemkes.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H