Anak-anak yang tidak beruntung ini beberapa harus menghadapi kerasnya hidup dengan meminta-minta di jalanan. Ada pula yang bermain musik, dan tak sedikit pula yang berjualan tisu baik di jalanan atau di moda transportasi umum.
Di tengah intensitas mobilitas masyarakat Istanbul yang luar biasa tinggi, memang banyak yang merasa risih dan terganggu dengan hadirnya anak-anak ini.
Saya pun terkadang merasakan hal yang sama. Anak-anak ini bahkan seringkali memiliki perilaku yang tidak baik, dan terkadang memang menjengkelkan. Namun, jika Anda pernah mengalami bagaimana rasanya hidup dalam situasi perang atau mengalami kerasnya hidup di jalanan, maka Anda akan lebih banyak mafhum dan memakluminya. Atau, karena Anda berhati lembut maka mungkin Anda akan berempati kepada mereka.
Dalam satu kesempatan, disaat perjalanan pulang ke rumah saya kembali bertemu dengan salah satu dari anak-anak ini. Ketika itu posisi saya adalah di metrobus. Di metrobus, jika Anda beruntung maka Anda akan mendapatkan kursi untuk duduk, jika tidak Anda akan berdiri. Ketika itu alhamdulillah saya bisa duduk di bagian belakang mengingat penumpang yang tidak terlalu padat.
Posisinya saya sedang sangat lelah dan ngantuk. Ketika mencoba tidur saya lihat dari arah depan berjalan seorang anak laki yang mungkin berumur 6 atau 7 tahun berjalan menawarkan tisu dari satu penumpang ke penumpang lain. Hingga dia sampai ke saya, saya masih abai. Anehnya anak ini tidak berusaha menawarkan dengan "pemaksaan" ala anak-anak lainnya.
Dia hanya membawa tisu dan ketika kita tidak merespon dia tidak meminta kita membeli tisunya. Setelah sampai di bagian belakang metrobus, dia kembali ke depan dengan sejumput harapan yang sepertinya tidak terpenuhi. Anak ini kembali ke bagian belakang metrobus dengan wajah lelah.
Sesampai di bagian belakang metrobus, anak ini seketika duduk di samping saya. Tapi bukannya duduk di kursi, anak ini justru duduk di lantai bawah, di depan pintu belakang metrobus sembari melihat jalanan. Matanya saya lihat lelah dan kosong.
Saya tidak yakin bahwa anak ini putus asa, tapi mungkin dunia terlalu keras padanya hingga ia perlu sejenak memandang dunia dari jarak. Ia perlu sejenak ambil nafas dari estafet panjang persaingan dunia. Pada saat itulah hati saya terketuk. Saya tidak terlalu ingat secara pasti apa yang saya lakukan kepadanya, namun seingat saya ketika itu saya sentuh pundaknya dan saya tunjukkan ekspresi mau membeli tisunya.
Ketika itu ada sedikit perubahan raut wajahnya. Lantas saya ambil tisu darinya dan saya ulurkan uang koin 3 TL (mungkin ketika itu sekitar Rp 6000an). Jumlah ini pastinya sangat sedikit untuk hidup di Istanbul. Namun anehnya, anak kecil ini justru tersenyum dengan sangat luar biasa.Â
Saya tidak dapat mendeskripsikan indahnya senyuman itu dengan kata-kata, namun sungguh senyum anak ini dapat menyentuh hati saya. Senyuman anak ini sungguh dapat menghilangkan segala lelah, kantuk, dan hal negatif lain yang tersekat di pikiran saya.
Kebahagiaan di senyum anak ini, benar-benar merasuk dan memberikan kebahagian yang aneh bagi saya. Senyum ini benar-benar memberikan energi positif bagi saya, bahkan hingga hari ini ketika saya mencoba mengingatnya.