Mohon tunggu...
Faiz Kasy
Faiz Kasy Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang Belajar

Tertarik apapun asal menarik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kebahagiaan Anak Kecil Sang Penjual Tisu

31 Desember 2020   18:46 Diperbarui: 31 Desember 2020   20:08 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Anak-anak yang tidak beruntung ini beberapa harus menghadapi kerasnya hidup dengan meminta-minta di jalanan. Ada pula yang bermain musik, dan tak sedikit pula yang berjualan tisu baik di jalanan atau di moda transportasi umum.

Di tengah intensitas mobilitas masyarakat Istanbul yang luar biasa tinggi, memang banyak yang merasa risih dan terganggu dengan hadirnya anak-anak ini.

Saya pun terkadang merasakan hal yang sama. Anak-anak ini bahkan seringkali memiliki perilaku yang tidak baik, dan terkadang memang menjengkelkan. Namun, jika Anda pernah mengalami bagaimana rasanya hidup dalam situasi perang atau mengalami kerasnya hidup di jalanan, maka Anda akan lebih banyak mafhum dan memakluminya. Atau, karena Anda berhati lembut maka mungkin Anda akan berempati kepada mereka.

Dalam satu kesempatan, disaat perjalanan pulang ke rumah saya kembali bertemu dengan salah satu dari anak-anak ini. Ketika itu posisi saya adalah di metrobus. Di metrobus, jika Anda beruntung maka Anda akan mendapatkan kursi untuk duduk, jika tidak Anda akan berdiri. Ketika itu alhamdulillah saya bisa duduk di bagian belakang mengingat penumpang yang tidak terlalu padat.

Posisinya saya sedang sangat lelah dan ngantuk. Ketika mencoba tidur saya lihat dari arah depan berjalan seorang anak laki yang mungkin berumur 6 atau 7 tahun berjalan menawarkan tisu dari satu penumpang ke penumpang lain. Hingga dia sampai ke saya, saya masih abai. Anehnya anak ini tidak berusaha menawarkan dengan "pemaksaan" ala anak-anak lainnya.

Dia hanya membawa tisu dan ketika kita tidak merespon dia tidak meminta kita membeli tisunya. Setelah sampai di bagian belakang metrobus, dia kembali ke depan dengan sejumput harapan yang sepertinya tidak terpenuhi. Anak ini kembali ke bagian belakang metrobus dengan wajah lelah.

Sesampai di bagian belakang metrobus, anak ini seketika duduk di samping saya. Tapi bukannya duduk di kursi, anak ini justru duduk di lantai bawah, di depan pintu belakang metrobus sembari melihat jalanan. Matanya saya lihat lelah dan kosong.

Saya tidak yakin bahwa anak ini putus asa, tapi mungkin dunia terlalu keras padanya hingga ia perlu sejenak memandang dunia dari jarak. Ia perlu sejenak ambil nafas dari estafet panjang persaingan dunia. Pada saat itulah hati saya terketuk. Saya tidak terlalu ingat secara pasti apa yang saya lakukan kepadanya, namun seingat saya ketika itu saya sentuh pundaknya dan saya tunjukkan ekspresi mau membeli tisunya.

Ketika itu ada sedikit perubahan raut wajahnya. Lantas saya ambil tisu darinya dan saya ulurkan uang koin 3 TL (mungkin ketika itu sekitar Rp 6000an). Jumlah ini pastinya sangat sedikit untuk hidup di Istanbul. Namun anehnya, anak kecil ini justru tersenyum dengan sangat luar biasa. 

Saya tidak dapat mendeskripsikan indahnya senyuman itu dengan kata-kata, namun sungguh senyum anak ini dapat menyentuh hati saya. Senyuman anak ini sungguh dapat menghilangkan segala lelah, kantuk, dan hal negatif lain yang tersekat di pikiran saya.

Kebahagiaan di senyum anak ini, benar-benar merasuk dan memberikan kebahagian yang aneh bagi saya. Senyum ini benar-benar memberikan energi positif bagi saya, bahkan hingga hari ini ketika saya mencoba mengingatnya.

Pada akhirnya, saya menegaskan kembali dua rasa syukur yang saya pegang. Saya bersyukur bahwa pengalaman bertemu anak ini telah mengajarkan saya bahwa masih banyak pihak yang tidak lebih beruntung dari saya. Anak ini juga mengajarkan saya bagaimana syukur harus terus menjadi dzikir dan nafas kita, kapanpun dimanapun dan atas apapun. Syukur sejatinya mampu menjadi kunci mujarab atas kebahagiaan sejati. Syukur dan bahagia ternyata seperti koin, mereka tak terlepaskan. Tanpa perlu bermodal dolar layaknya "mereka", anak kecil ini mengajarkan saya bahwa dengan berbagi, memberi, atau menyantuni justru kita bisa menemukan sebuah spektrum warna kehidupan yang sangat indah. Syahdan, ternyata warna kehidupan yang indah itu justru dapat ditemukan dalam kebahagiaan anak kecil sang penjual tisu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun