Mungkin ini merupakan sebuah kisah yang sederhana, dan rasanya semua orang pasti pernah mengalami. Sebuah kisah yang menegaskan bahwa syukur dan bahagia bukan soal apa yang kita terima, bukan soal apa yang kita dapatkan. Syukur dan bahagia terkadang justru terkait dengan sesuatu yang kita keluarkan, sesuatu yang kita bagi, kita beri, atau kita santuni kepada pihak lain.
Bagi Anda yang pernah berkesempatan berkunjung ke Istanbul, pastinya Anda memahami bagaimana kepadatan kota ini. Dengan jumlah penduduk yang hampir dua kali lipat dari penduduk Jakarta, dengan tingginya arus lalu lintas perdagangan sebagai pusat ekonomi Turki, ditambah dengan lalu lalang turis yang mencoba mengintip masa lalu pusat peradaban dunia, Istanbul telah menegaskan dirinya sebagai wilayah yang tak pernah lepas dari keramaian.
Akan dapat dengan mudah kita temui bagaimana masyarakat bergerak dengan cepat, siang maupun malam. Jika kita menilik buku Richard Sennet berjudul Flesh and Stone akan kita pahami bagaimana pergerakan badan manusia menjadi salah satu kunci penting dalam perkembangan peradaban manusia, utamanya di Eropa atau Amerika Utara. Rasanya pergerakan manusia di Istanbul sedikit banyak menggambarkan hal ini.
Namun sebagaimana kita pahami, hidup tidaklah soal hitam dan putih. Kehidupan sejatinya mencitrakan spektrum warna yang luar biasa beragamnya.
Oleh karena itu, Istanbul di balik kepadatan jalanannya, di balik gemerlap malamnya, di balik kekayaan situs sejarahnya, di balik bilik sunyi kelompok-kelompok sufistiknya, atau di balik hingar bingar politiknya, akan dapat kita temui warna lain yang mungkin dapat merepresentasikan warna yang lebih indah dari kehidupan Istanbul. Salah satunya mungkin inilah yang saya coba angkat disini.
Baiklah, Turki secara geopolitik berada di daratan Eurasia, sebuah wilayah yang menurut Sir Halford Mackinder "barangsiapa dapat menguasai Eurasia maka akan dapat menguasai pusat dunia." Oleh karena itu, berbagai konflik kepentingan penguasa dunia dapat dengan mudah ditemui di daratan ini. Sehingga tak mengherankan mengapa secara geopolitik Turki dikelilingi oleh wilayah konflik.
Salah satu tetangga dekat Turki yang memiliki nasib tidak beruntung adalah Suriah. Akibat perang yang melibatkan berbagai kepentingan negara adikuasa, negara ini harus pecah dan meninggalkan duka cita mendalam pada rakyatnya.
Banyak rakyat Suriah harus mengungsi dan mencari suaka untuk melanjutkan kehidupannya. Saya sedikit banyak dapat merasakan kepedihan harus pergi dari tanah kelahiran akibat perang. Adapun Turki sebagai negara terdekat tak terelakkan menjadi tujuan utama pelarian para korban perang ini.
Di Istanbul akan dapat kita temui banyak orang Suriah ini. Sayangnya, banyak dari mereka lari dari negaranya dengan modal yang sedikit, atau mungkin dengan tangan hampa. Sehingga sesampainya di Turki banyak dari dari mereka yang harus meminta-minta atau bekerja serabutan.
Di Istanbul Anda akan dengan mudah menemukan banyak perempuan berbangsa Arab yang meminta-minta di luar masjid. Mereka biasa membawa anak-anaknya yang masih kecil.
Sungguh ini merupakan pemandangan yang mengiris hati ketika melihat anak-anak kecil tak berdosa ini harus menantang kerasnya hidup dari titik berangkat yang sangat tidak adil. Jika Anda coba tatap mata mereka, selemah-lemah iman Anda akan bersyukur atas apa yang Anda miliki saat ini.