Mohon tunggu...
Faiz Kasy
Faiz Kasy Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang Belajar

Tertarik apapun asal menarik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kebahagiaan Anak Kecil Sang Penjual Tisu

31 Desember 2020   18:46 Diperbarui: 31 Desember 2020   20:08 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya merupakan seorang pelajar di Istanbul, Turki. Tinggal di Istanbul memiliki beberapa keuntungan. Selain dapat belajar dengan khazanah pengetahuan yang luas, pun selain bisa menikmati banyak objek wisata, para pelajar Istanbul juga terbiasa membersamai para tamu (biasanya turis dari Indonesia) untuk ikut mengelilingi Istanbul disertai dengan berbelanja oleh-oleh dan semacamnya.

Dalam satu kesempatan saya sempat diminta membersamai beberapa tokoh publik Indonesia, sebut saja anggota DPR RI. Dalam kunjungannya, tak ada yang aneh dari sikap sebagian anggota dewan ini selain bagaimana mereka dengan ringan dapat mengeluarkan dolar untuk kebutuhan yang bagi saya tidaklah primer. 

Tak perlulah rasanya saya sebut harganya, kita sebagai penglaris pasar Klithikan atau Beringharjo Jogja akan sulit mencernanya. Mungkin, uang menjadi ringan bagi mereka para politisi.

Rasa kaget saya atas sikap "tamu agung" ini memang bukan tanpa alasan. Saya berasal dari keluarga yang pas-pasan. Bukan bermaksud mendramatisir, tapi memang ekonomi keluarga saya sudah seperti sikap pemerintah di masa pandemik, inkonsisten dan fluktuatif. Saya merupakan korban perang di Aceh yang mengharuskan keluarga mengungsi ke Jawa.

Masa awal di Jawa, saya sempat malu hanya untuk menunjukkan alamat rumah kepada teman-teman karena keadaan rumah sewa yang susah dinikmati kecuali hanya dengan syukur dan legowo.

Membeli bahan pokok murah seperti raskin bukan lagi aib mengingat keterbatasan yang menuntut rationality, instead of vanity. Mengutip Darwin, mungkin ini adalah langkah keluarga kami dalam penerapan teori Survival of the Fittest. Maaf, rasanya deretan tantangan hidup takkan pernah habis untuk diurai disini.

Namun alhamdulillah, Allah Maha Pemurah dengan memberikan saya kesempatan untuk sekolah lanjut, dimana di setiap levelnya dibiayai dengan beasiswa. Namun setibanya di Istanbul, terutama setelah melihat bagaimana kelas "atas" seperti DPR menggunakan dolarnya, hati saya benar-benar menjerit.

Dalam kondisi dimana banyak rakyat kecil merintih dan mengemis untuk sesuap nasi, disaat banyak bayi menangis karena keringnya asi, disaat rakyat sudah tabu memekikkan jargon keadilan karena telah lama membasi, mengapa "mereka" bisa berpuas diri seakan tak mendengar sedikitpun jeritan kaum papa yang tersingkir? Mengapa ketimpangan ini begitu nyata?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memang melelahkan. Saya pun entah kapan dapat menemukan jawabannya. Namun dari proses refleksi pertanyaan seperti halnya di atas, saya justru mampu bersyukur dua kali. Syukur yang pertama, rasa syukur karena memiliki sederet pengalaman yang telah mendidik saya dengan nilai-nilai yang layak diperjuangkan.

Rasa syukur pertama inilah yang melahirkan rasa syukur yang kedua, sebuah rasa syukur atas karunia berupa hati yang lapang hingga mampu mensyukuri dan berbahagia atas hal-hal sederhana yang mungkin remeh bagi banyak orang. Mungkin, seperti bahagianya saya melihat abang kurir JNE datang membawa paket hasil perjuangan flash sale online

Oleh karena itu, terkait rasa syukur dan bahagia, di dalam kesempatan ini saya akan coba berbagi sebuah kisah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun