Salah satu masalah terbesar dalam perkembangan sosial seseorang terjadi pada tahap awal perkembangan remaja. Tantangan tersebut dapat dilihat dari keinginan remaja untuk menjalin hubungan baru dan mempererat hubungan yang sudah ada tanpa kehilangan identitas yang telah mereka bentuk sebagai remaja.Â
Kawan sebaya membantu orang dewasa awal memilih nilai dan memberikan rasa aman. Mereka juga membantu mereka menemukan informasi atau perbandingan dalam berbagai hal. Kawan sebaya pada masa dewasa awal membantu orang dewasa awal menjalin hubungan tanpa harus mengubah identitas yang telah mereka bentuk saat remaja (Papalia, 2001). Seorang remaja yang masih dalam masa perkembangan tentunya membutuhkan lingkungan sebagi media untuk berkembang. Akan tetapi bagi remaja yang memiliki disabilitas, mereka kesulitan dalam menjalin hubungan di lingkungannya.
Hurlock (1993) menyatakan bahwa selama perkembangan individu penyandang disabilitas, keinginan mereka untuk menjalin hubungan, terutama dengan individu non penyandang disabilitas, menghadapi tantangan psikis dan emosional, termasuk persepsi penolakan yang akan mereka alami saat menjalin hubungan dengan individu non penyandang disabilitas, dan tekanan yang akan mereka alami saat menghadapi kesulitan menjalin hubungan.
Menurut Salim (1984) dalam Somantri (2007) Penyandang tunarungu adalah salah satu jenis ketunaan yang paling sering mengalami kesulitan dalam menjalin relasi. Salah satu penyebab kesulitan yang dirasakan individu penyandang tunarungu adalah mereka tidak dapat menangkap informasi audio dan tidak dapat memahami bahasa dengan benar, yang menyebabkan mereka sering mengalami kesalahpahaman dalam menangkap informasi .Â
Penyandang tunarungu tentunya akan merasa kesulitan juga dalam bergaul.Hal tersebut dapat berdampak bagi kesehatan mentalnya karena terkadang lingkungan tidak selalu akan menerima keadaanya, ada saat dimana lingkungan itu sendiri yang menjadi penyebab terganggunya kesehatan mental penyandang.
Kehilangan informasi audio menjadikan individu penyandang tunarungu mengalami keterlambatan dalam proses kognitif. Selain itu, individu penyandang tunarungu mengalami ketidakstabilan emosi seperti rendah diri, mudah marah, mudah tersinggung, dan lebih sensitif. Individu penyandang tunarungu juga merasakan hambatan dalam hubungan sosial, seperti cenderung menarik diri, curiga, cenderung kurang percaya diri, enggan berkomunikasi dan cenderung menghindari 44 relasi dengan masyarakat non penyandang tunarungu (Moores, 2001).
Muhyani (2012) menyebutkan beberapa faktor dari lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan mental salah satunya yaitu sosial budaya, antara lain:
- Interaksi Sosial
Interaksi sosial terjadi jika dua orang atau lebih bertemu, kemudian mereka saling bertegur sapa, berjabat tangan, saling berbicara, bahkan sampai terjadi perkelahian, pertengkaran, dan sebagainya. Pihak yang melakukan tindakan dan pihak yang merespons tindakan tersebut muncul sebagai hasil dari beberapa peristiwa tersebut.Â
Kegiatan interaksi terjadi sebagai hasil dari kedua hal ini. Penyandang tunarungu biasanya berinteraksi dengan menggunakan bahasa tubuh jika mereka berinteraksi secara langsung dengan orang lain. Namun, mereka masih dapat berinteraksi secara lisan karena mereka memiliki keterbatasan dalam menyampaikan, sehingga mereka dapat menggunakan bahasa isyarat atau bahasa tubuh mereka. Kualitas interaksi sosial individu sangat mempengaruhi kesehatan mentalnya. Tunarungu bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat sedangkan kebanyakan orang normal tidak mengerti dengan bahasa isyarat. Hal itu mengakibatkan tunarungu kesulitan berkomunikasi dengan sekitarnya.
- Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan mikrosistem yang menentukan kepribadian dan kesehatan mental anak. Lebih dari sembilan puluh persen anak tunarungu dilahirkan dalam keluarga yang dapat mendengar, dan sebagian besar dari keluarga tersebut tidak mengharapkan anak tunarungu. Hal ini membuat sulit untuk menyesuaikan diri dengan masalah pengasuhan anak dan pilihan pendidikan, dan dapat diperumit oleh perspektif yang sangat berbeda dan nasihat tentang metode terbaik. (Barry, 2021)
- Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan yang turut mempengaruhi terhadap perkembangan kesehatan mental anak. Sebagian besar anak tunarungu bersekolah di sekolah umum, di mana mereka sering menjadi satu-satunya siswa tunarungu di kelas. Hal itu mengakibatkan kemungkinan mereka memiliki teman dan bersosialisasi dengan orang lain dari kelompok sebaya sangat terbatas setiap hari. (Barry, 2021).
Maka pertanyaan terbesarnya apakah lingkungan tersebut akan menerima dengan baik?
Faktor-faktor seperti budaya, pendidikan, kesadaran, dan pendapat masyarakat tentang individu tunarungu memengaruhi bagaimana lingkungan menerima mereka.Â
Di sisi lain, lingkungan tertentu mungkin menerima individu tunarungu dengan baik dan memberikan dukungan yang cukup. Namun di sisi lain juga, lingkungan lain mungkin menstigma atau memperlakukan mereka dengan buruk. Memahami bahwa inklusi dan penerimaan tunarungu adalah prinsip-prinsip yang sangat penting dalam masyarakat yang inklusif dan beragam. Upaya untuk meningkatkan pemahaman tentang kebutuhan dan pengalaman individu tunarungu, serta untuk mengurangi stigma dan prasangka, sangat diperlukan.
Sangat penting bagi penyandang tunarungu untuk diterima oleh masyarakat karena dengan menjadi bagian dari masyarakat, mereka akan merasa lebih percaya diri dan dapat bersosialisasi dengan orang lain. Namun, jika masyarakat tidak mau menerima mereka yang tunarungu, mereka akan menjadi kurang percaya diri, membuat mereka lebih menutup diri dan sulit bergaul dengan orang lain, sehingga sangat penting bagi mereka untuk diterima. (Suparni, 2009)
Hal hal yang dapat dilakukan agar lingkungan maupun individu menerima dengan baik yaitu perlu adanya pemahaman kepada masyarakat tentang penyandang disabilitas seperti tunarungu, dan disabilitas lain. Juga diberikan pemahaman dampak dari perlakuan masyarakat terhadap kesehatan mental penyandang. Masyarakat harus diberikan pemahaman bagaimana cara memperlakukan penyandang dengan baik tanpa membuat penyandang tersinggung atau merasa dikasihani. (Hikmawati, et al, 2011)
Selain dari lingkungan, diri tunarungu sendiri bisa menjadi faktor terganggunya kesehatan mental karena seringkali individu tunarungu tidak menerima dengan keadaan. Perasaan tidak menerima keadaan atau ketidakpuasan terhadap kondisi yang dialami adalah perasaan yang bisa dialami oleh banyak individu tunarungu. Tunarungu mungkin merasa frustasi atau tidak puas dengan berbagai aspek kehidupan mereka, seperti kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, stigmatisasi yang mereka alami, atau tantangan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa komponen, seperti berpikir positif dan rendah diri, memengaruhi penerimaan diri seseorang. Jika seseorang memiliki rasa rendah diri yang tinggi, mereka akan sulit menerima dirinya. Sebaliknya, jika seseorang tidak dapat berpikir positif tentang keadaan dirinya, mereka akan sulit menerima dirinya (Tentama, 2010).
Menurut Kubller Ross (2008), seseorang akan mengalami beberapa tahapan dalam proses menerima dirinya sendiri atau keadaan yang tidak sesuai dengan harapan mereka sampai mereka benar-benar menerimanya. Tahap pertama adalah tahap utama (Primary Phase), di mana orang tersebut mengalami perasaan terguncang, kesedihan, dan depresi, yang ditunjukkan dengan menangis terus-menerus dan perasaan tidak siap untuk menerima keadaan mereka.Â
Perasaan ini muncul sebagai akibat dari kekecewaan terhadap keadaan mereka. Tahap kedua (secondary phase),timbulnya perasaan marah akan keadaan dirinya dan perasaan malu akan keadaan dirinya yang ditimbulkan karena sikap lingkungan sosial yang terus mengejek, menolak, atau mengasihani keadaannya, subjek juga mempertanyakan alasan mengapa dia berbeda dari orang lain. Ketiga,(tertiary phase), adalah tahap terakhir dalam proses penerimaan diri. Pada titik ini, subjek mulai menyesuaikan diri dengan keadaan mereka, menunjukkan perasaan percaya diri, dan mulai menerima dan memahami keadaan mereka sendiri. Tetapi perasaan buruk belum sepenuhnya hilang.
Untuk meningkatkan penerimaan dan kesehatan mental remaja tunarungu, diperlukan kerjasama antara masyarakat, keluarga, dan individu tunarungu sendiri. Remaja tunarungu memerlukan pendidikan, kesadaran, dukungan emosional, dan inklusi untuk membuat lingkungan mereka mendukung dan membantu mereka merasa diterima dan berkembang secara positif.
REFERENSI
Barry, (2021) Mental Health in Deaf Children, The Assaciation for Child and Adolescent Menthal Health, https://www.acamh.org/research-digest/mental-health-in-deaf-children/
Hikmawati, E, Rusmiyati, C (2011), Kebutuhan Pelayanan Sosial Penyandang Cacat, Yogyakarta; Informasi, Vol. 16 No. 01
Hurlock, E.B., (1993). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan., (Istiwidayanti &Soedjarwo, Penerj.). Jakarta: Erlangga.
Kuble, R., & Elizabeth. (2008). On life after death revised. USA: Celestial Art.
Moores, D. (2001). Educating the Deaf: Psychology, Principles, and Practices (5th ed.). Boston, MA: Houghton Mifflin Company.
Muhyani. (2012). Kesadaran Religius dan Kesehatan Mental. Jakarta Pusat: Kementerian Agama Republika Indonesia.
Papalia, D.E., Olds, S.W. and Feldman, R.D. (2001) Human Development. 8th Edition, McGraw Hill, Boston.
Somantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama
Suparni, (2009), Kemampuan Berafiliasi Bagi Remaja Tunarungu, Surakarta; Eprints.Ums.Ac.Id
Tentama, F. (2010). Berpikir Positif Dan Penerimaan Diri Pada Remaja Penyandang Cacat Tubuh Akibat Kecelakaan. Humanitas, VII(1), 66-75
Penulis : Faiza Salsabila ( Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia)
Dosen Pengampu : Prof.Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd dan Nadia Aulia Nadhirh, M.Pd
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H