Maka pertanyaan terbesarnya apakah lingkungan tersebut akan menerima dengan baik?
Faktor-faktor seperti budaya, pendidikan, kesadaran, dan pendapat masyarakat tentang individu tunarungu memengaruhi bagaimana lingkungan menerima mereka.Â
Di sisi lain, lingkungan tertentu mungkin menerima individu tunarungu dengan baik dan memberikan dukungan yang cukup. Namun di sisi lain juga, lingkungan lain mungkin menstigma atau memperlakukan mereka dengan buruk. Memahami bahwa inklusi dan penerimaan tunarungu adalah prinsip-prinsip yang sangat penting dalam masyarakat yang inklusif dan beragam. Upaya untuk meningkatkan pemahaman tentang kebutuhan dan pengalaman individu tunarungu, serta untuk mengurangi stigma dan prasangka, sangat diperlukan.
Sangat penting bagi penyandang tunarungu untuk diterima oleh masyarakat karena dengan menjadi bagian dari masyarakat, mereka akan merasa lebih percaya diri dan dapat bersosialisasi dengan orang lain. Namun, jika masyarakat tidak mau menerima mereka yang tunarungu, mereka akan menjadi kurang percaya diri, membuat mereka lebih menutup diri dan sulit bergaul dengan orang lain, sehingga sangat penting bagi mereka untuk diterima. (Suparni, 2009)
Hal hal yang dapat dilakukan agar lingkungan maupun individu menerima dengan baik yaitu perlu adanya pemahaman kepada masyarakat tentang penyandang disabilitas seperti tunarungu, dan disabilitas lain. Juga diberikan pemahaman dampak dari perlakuan masyarakat terhadap kesehatan mental penyandang. Masyarakat harus diberikan pemahaman bagaimana cara memperlakukan penyandang dengan baik tanpa membuat penyandang tersinggung atau merasa dikasihani. (Hikmawati, et al, 2011)
Selain dari lingkungan, diri tunarungu sendiri bisa menjadi faktor terganggunya kesehatan mental karena seringkali individu tunarungu tidak menerima dengan keadaan. Perasaan tidak menerima keadaan atau ketidakpuasan terhadap kondisi yang dialami adalah perasaan yang bisa dialami oleh banyak individu tunarungu. Tunarungu mungkin merasa frustasi atau tidak puas dengan berbagai aspek kehidupan mereka, seperti kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, stigmatisasi yang mereka alami, atau tantangan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa komponen, seperti berpikir positif dan rendah diri, memengaruhi penerimaan diri seseorang. Jika seseorang memiliki rasa rendah diri yang tinggi, mereka akan sulit menerima dirinya. Sebaliknya, jika seseorang tidak dapat berpikir positif tentang keadaan dirinya, mereka akan sulit menerima dirinya (Tentama, 2010).
Menurut Kubller Ross (2008), seseorang akan mengalami beberapa tahapan dalam proses menerima dirinya sendiri atau keadaan yang tidak sesuai dengan harapan mereka sampai mereka benar-benar menerimanya. Tahap pertama adalah tahap utama (Primary Phase), di mana orang tersebut mengalami perasaan terguncang, kesedihan, dan depresi, yang ditunjukkan dengan menangis terus-menerus dan perasaan tidak siap untuk menerima keadaan mereka.Â
Perasaan ini muncul sebagai akibat dari kekecewaan terhadap keadaan mereka. Tahap kedua (secondary phase),timbulnya perasaan marah akan keadaan dirinya dan perasaan malu akan keadaan dirinya yang ditimbulkan karena sikap lingkungan sosial yang terus mengejek, menolak, atau mengasihani keadaannya, subjek juga mempertanyakan alasan mengapa dia berbeda dari orang lain. Ketiga,(tertiary phase), adalah tahap terakhir dalam proses penerimaan diri. Pada titik ini, subjek mulai menyesuaikan diri dengan keadaan mereka, menunjukkan perasaan percaya diri, dan mulai menerima dan memahami keadaan mereka sendiri. Tetapi perasaan buruk belum sepenuhnya hilang.
Untuk meningkatkan penerimaan dan kesehatan mental remaja tunarungu, diperlukan kerjasama antara masyarakat, keluarga, dan individu tunarungu sendiri. Remaja tunarungu memerlukan pendidikan, kesadaran, dukungan emosional, dan inklusi untuk membuat lingkungan mereka mendukung dan membantu mereka merasa diterima dan berkembang secara positif.
REFERENSI