"Takutlah kamu dari doanya orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doanya dan Allah" (HR. Bukhori dan Muslim).
Berkaitan dengan hadits di atas, Aku bersyukur merasa pernah membuktikannya secara langsung lewat sebuah peristiwa yang selalu menggetarkan kalbuku ketika mengenangnya.
Peristiwanya saat aku masih berumur 14 tahun, waktu itu aku sedang dalam perjalanan mudik dari tempatku nyantri di kabupaten Bone ke kampung halamanku di Kabupaten Maros dengan mengendarai mobil panther (angkutan umum antar daerah yg umum di sulsel saat itu). Maksud kepulanganku hari itu adalah untuk berobat akibat sakit mag  yang menjangkitiku sejak nyantri, dan karena aku mudik bukan saat liburan, maka akupun harus memberanikan diri menumpang mobil tanpa ditemani oleh kawan-kawan santri yang lain.
Mobil panther yang aku tumpangi hari itu disesaki sebelas penumpang yang kesemuanya orang dewasa, aku sendiri kebagian tempat duduk di barisan kursi paling belakang bersama empat penumpang lainnya (tiga orang bapak dan seorang lagi ibu tua), jadilah kemudian perjalanan yang menempuh waktu 5 jam terasa sangat menyesakkan karena kami saling berhimpitan di bagian belakang yang mestinya hanya untuk  empat penumpang.
Dalam  perjalanan, si  ibu yang bahkan saat itu saya labeli nenek - nenek (karena usianya yang kutaksir telah kepala lima), terasa sangat menggangguku dan juga penumpang lainnya dengan kepulan asap rokoknya yang menambah pengab udara dalam mobil, belum lagi ocehannya yang terus bergemuruh dengan umpatan dan hardikan bertubi - tubi ketika seorang penumpang berinisiatif menegurnya. Entahlah mungkin karena jengkel atau segan berhubung perempuan itu perawakannya sudah nenek-nenek, akhirnya penumpang yang lainpun membirkannya merokok walaupun merasa tergangnggu.
Aku sendiri yang masih tergolong anak kecil dalam mobil itu hanya bisa diam namun ikut mengumpat dalam hati. Karena sungguh aku tak terbiasa dengan kondisi demikian ditambah lagi dengan keherananku sebagai seorang santri yang masih sangat polos dengan perilaku seorang ibu yang sungguh sangat jauh dari bayangan idealku saat itu akan seorang ibu yang dalam usianya yang sudah senja justru memberi contoh buruk dalam perilaku dan tutur kata yang begitu kasar dalam takaran normatifku.
Ketika suasana dalam perjalanan mulai tenang, secara tak sadar aku tertidur dengan posisi menyandar ke belakang. Namun secara tak sadar pula tiba-tiba badanku serong ke kiri dan mengenai bahu nenek itu. Tanpa kuduga sebuah jitakan dan dorongan tangan di wajahku membuyarkan kantukku. Tak kusangka nenek itu begitu murkanya akibat sesuatu yang sungguh tak aku sengaja, tak puas dengan menjitak kepalaku, nenek itu mengekspresikan kemarahannya dengan umpatan-umpatan kasar kepadaku yang sungguh membuatku sangat malu dan marah, namun karena saat itu masih kecil dan merasa tak berdaya, akupun hanya memendamnya dalam hati. Penumpang lainnya kemudian mencoba menasehati nenek itu lagi dan membelaku, namun justru ocehan sang nenek makin menjadi-jadi yang akhirnya lagi-lagi penumpang lainnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala isyarat kejengkelan.
Tak berapa lama kemudian, akupun berusaha untuk tidak tertidur, namun dasar kantukku tak dapat berkompromi, tanpa kusadari lagi-lagi aku tertidur dan kembali kepalaku menyerong ke kiri dan mengenai bahu nenek itu lagi, dan kali ini reaksi nenek itu sungguh berlebihan, karena tida-tiba sebuah teko plasik yang digenggamnya mendarat telak di jidatku, akupun terkaget bukan main, seketika wajahku memerah menahan air mata, bukan karena sakit di jidat yang membuatku ingin menangis, tapi karena merasa sangat dipermalukan dan dizolimi oleh sang nenek yang membuatku begitu perih, ditambah lagi dengan kondisi fisikku waktu itu yang memang lagi sakit. Bahkan nenek itu sepertinya belum puas dengan hanya menyakitiku secara fisik, karena sejurus kemudian untaian kalimat-kalimat pedas dalam bahasa bugis terasa lebih menyakitkan bagiku, sumpah serapah berbalut makian bertubi - tubi meluncur dari mulutnya yang tetap disertai dengan kepulan asap rokok.
Dan dalam suasana hatiku yang perih karena merasa terzalimi dan tak berdaya, akupun mendoakan keburukan untuk sang nenek, dalam hati aku memohon semoga Allah menimpakan celaka buat nenek tersebut, dan hanya dalam hitungan jam doaku kemudian dikabulkan.
Ceritanya, sehabis para penumpang makan siang pada sebuah warung yang teretak di perbatasan Bone dan Maros, sang sopir kemudian memanggil semua penumpang tuk bergegas ke mobil tuk melanjutkan perjalanan, namun lagi - lagi sang nenek berulah dengan menjadi penumpang terlama yang ditunggui.
Ketika sang nenek itu telah naik, sang kernet yang sejak tadi terlihat dongkol, kemudian menutup pintu mobil dengan cara sedikit membanting, namun malang bagi si nenek, karena ketika pintu di banting tangannnya justru berpegangan pada bibir pintu, dan jadilah kemudian tangan nenek itu terjepit dengan kerasnya. Nenek itupun meringis dan meraung sejadi-jadinya
Anda bisa membayangkan gimana sakitnya kejepit pintu mobil yang dibanting dengan keras, nenek itupun terus meringis, dan sang kernetpun hanya bisa mohon maaf dengan alasan tak sengaja, dan dalam ringisannnya, nenek itu masih begitu galaknya menumpahkan amarahnya pada sang kernet yang kemudian hanya bisa diam membiarkan nenek itu meluapkan dan menuntaskan amarahnya.
Dalam benakku, akupun langsung bergidik, aku merasa Allah langsung mengijabah doa yang kulantunkan beberapa saat lalu untuk menimpakan celaka pada sang nenek itu. Akupun merasa sedikit terusik dengan rasa tegaku, tak tahu harus berucap Hamdalah atau Istigfar atas celaka yang menimpa nenek tersebut.
Namun ternyata celaka yang menimpa nenek tersebut tidak berhenti sampai disitu, karena kemudian ketika mobil yang kami tumpangi mampir lagi di sebuah warung di daerah Camba , kejadian yang hampir sama kembali terulang, saya sendiri dan mungkin seluruh penumpang yang ada tak habis pikir, kok bisa-bisanya kejadian 2 jam yang lalu kembali terulang, kejadiannya hampir persis, hanya bedanya kali ini nenek tersebut tidak menyempatkan diri mampir di warung, dia hanya tinggal di dalam mobil , saat beberapa penumpang yang lain mampir tuk sekedar membeli cemilan, dan ketika mobil akan berangkat, lagi-lagi sang kernet menutup pintu dengan agak membanting (kali ini bukan karena dongkol, namun memang pintu mobilnya agak seret hingga harus dihentak cukup keras tuk merapatkannya) dan ternyata, entah apa yang mendorong tangan nenek itu kembali "nongkrong" pada bibir pintu, padahal sebelum membanting pintu sang kernet terlihat hati-hati dan memperingatkan penumpang, dan anda bisa tebak sendiri, kejadian sebelumnya kembali terulang dimana tangan nenek tersebut yang masih terlihat memar dan bengkak kembali terjepit pintu mobil.
Akibatnyapun bisa anda bayangkan, dimana keempat jari kiri nenek tersebut yang tadinya dia pakai tuk menjitak dan memukul jidatku, menjadi semakin memar dan membengkak dan kali ini disertai lecet akibat jepitan pintu yang kedua kalinya. Dua kali nenek itu menggunakan tangan kirinya tuk menjitak kepalaku, dan dua kali pula tangan kirinya tersebut harus terjepit pintu mobil dengan kejadian yang sulit kucerna sebagai suatu kebetulan.
Sejenak seisi mobil hanya terperangah menyaksikan kejadian ini, dan kali ini ringisan sang nenek telah berubah menjadi tangisan yang mendayu - dayu dan turut mencairkan empatiku di satu sisi. Karena sungguh aku merasa, peristiwa pertama yang menimpa nenek tersebut sudah cukup sebagai balasan kezalimannya terhadapku. Atau mungkin juga ada penumpang lain yang turut mendoakan keburukan tuk nenek tersebut, sehingga dia harus tertimpa celaka secara beruntun.
Setelah mengalami celaka untuk yang kedua kalinya, nenek itu tak hentinya terisak sambil membalut jarinya yang membengkak dan lecet dengan kain seadanya, namun kali ini isakan tangisnya sudah tak diikuti dengan umpatan ataupun kepulan asap rokok. Dalam benakku aku kemudian beristigfar dan mendoakan kebaikan untuk nenek tersebut, karena aku kemudian menjadi kasihan dengan apa yang menimpanya.
Singkat cerita nenek tersebutpun turun lebih dahulu, dan karena sang kernet dan sopir merasa bersalah atas celaka yang menimpa nenek tersebut, maka diapun mendapatkan diskon 50% tuk pembayaran sewanya.
Seperti itulah rangkaian peristiwa yang aku anggap bagian dari pengalaman spiritualku. Mungkin rekan-rekan sekalian menganggapnya sebagai kejadian yang biasa ataupun hanya kebetulan-kebetulan kecil yang kerap menghiasi keseharian kita, namun bagiku pribadi kejadian ini setidaknya mengafirmasi hadits yang kukutip di atas. Dan setiap mengenangnya, ada getaran yang merasuki kalbuku, yang kemudian kujadikan sebagai pijakan pengalaman untuk menghindari berbuat zalim terhadap orang lain, mengingat mustajabnya do'a orang terzalimi.
"Ada makna dalam setiap peristiwa. Ketika makna itu menggetarkan jiwa dan nurani, maka di situlah sisi spiritualitas hadir. Ketergetaran nurani bisa muncul kapan dan di mana saja. Seringkali perjumpaan yang sesaat dapat memberi kesan dan renungan yang begitu dalam. Bahkan tidak jarang kita dapat belajar banyak dari pergaulan dan perjumpaan dengan beragam "warna" umat manusia yang bertebaran di muka bumi ini. Suka, duka, derita, dan tawa bahagia mereka, dapat membuat kita lebih banyak belajar tentang kehidupan. " **
Maros, 22 Agustus 2010
**) Dikutip dari Buku Bila Nurani Bicara : Pengalaman Spiritual Penghangat Jiwa
Mohon maaf dan dimaklumi jika alur ceritanya berantakan, maklum masih belajar menulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H