Mohon tunggu...
Faizal Zen
Faizal Zen Mohon Tunggu... wiraswasta -

Ikhtiar ke Titik Nol.......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Do’a yang Langsung Dikabulkan

21 Agustus 2010   18:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:49 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


"Takutlah kamu dari doanya orang-orang yang teraniaya, karena sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doanya  dan Allah" (HR. Bukhori dan Muslim).

Berkaitan dengan hadits di atas, Aku bersyukur merasa pernah membuktikannya secara langsung lewat sebuah peristiwa yang selalu menggetarkan kalbuku ketika mengenangnya.

Peristiwanya saat aku masih berumur 14 tahun, waktu itu aku sedang dalam perjalanan mudik dari tempatku nyantri di kabupaten Bone ke kampung halamanku di Kabupaten Maros dengan mengendarai mobil panther (angkutan umum antar daerah yg umum di sulsel saat itu). Maksud kepulanganku hari itu adalah untuk berobat akibat sakit mag  yang menjangkitiku sejak nyantri, dan karena aku mudik bukan saat liburan, maka akupun harus memberanikan diri menumpang mobil tanpa ditemani oleh kawan-kawan santri yang lain.

Mobil panther yang aku tumpangi hari itu disesaki sebelas penumpang yang kesemuanya orang dewasa, aku sendiri kebagian tempat duduk di barisan kursi paling belakang bersama empat penumpang lainnya (tiga orang bapak dan seorang lagi ibu tua), jadilah kemudian perjalanan yang menempuh waktu 5 jam terasa sangat menyesakkan karena kami saling berhimpitan di bagian belakang yang mestinya hanya untuk  empat penumpang.

Dalam  perjalanan, si  ibu yang bahkan saat itu saya labeli nenek - nenek (karena usianya yang kutaksir telah kepala lima), terasa sangat menggangguku dan juga penumpang lainnya dengan kepulan asap rokoknya yang menambah pengab udara dalam mobil, belum lagi ocehannya yang terus bergemuruh dengan umpatan dan hardikan bertubi - tubi ketika seorang penumpang berinisiatif menegurnya. Entahlah mungkin karena jengkel atau segan berhubung perempuan itu perawakannya sudah nenek-nenek, akhirnya penumpang yang lainpun membirkannya merokok walaupun merasa tergangnggu.

Aku sendiri yang masih tergolong anak kecil dalam mobil itu hanya bisa diam namun ikut mengumpat dalam hati. Karena sungguh aku tak terbiasa dengan kondisi demikian ditambah lagi dengan keherananku sebagai seorang santri yang masih sangat polos dengan perilaku seorang ibu yang sungguh sangat jauh dari bayangan idealku saat itu akan seorang ibu yang dalam usianya yang sudah senja justru memberi contoh buruk dalam perilaku dan tutur kata yang begitu kasar dalam takaran normatifku.

Ketika suasana dalam perjalanan mulai tenang, secara tak sadar aku tertidur dengan posisi menyandar ke belakang. Namun secara tak sadar pula tiba-tiba badanku serong ke kiri dan mengenai bahu nenek itu. Tanpa kuduga sebuah jitakan dan dorongan tangan di wajahku membuyarkan kantukku. Tak kusangka nenek itu begitu murkanya akibat sesuatu yang sungguh tak aku sengaja, tak puas dengan menjitak kepalaku, nenek itu mengekspresikan kemarahannya dengan umpatan-umpatan kasar kepadaku yang sungguh membuatku sangat malu dan marah, namun karena saat itu masih kecil dan merasa tak berdaya, akupun hanya memendamnya dalam hati. Penumpang lainnya kemudian mencoba menasehati nenek itu lagi dan membelaku, namun justru ocehan sang nenek makin menjadi-jadi yang akhirnya lagi-lagi penumpang lainnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala isyarat kejengkelan.

Tak berapa lama kemudian, akupun berusaha untuk tidak tertidur, namun dasar kantukku tak dapat berkompromi, tanpa kusadari lagi-lagi aku tertidur dan kembali kepalaku menyerong ke kiri dan mengenai bahu nenek itu lagi, dan kali ini reaksi nenek itu sungguh berlebihan, karena tida-tiba sebuah teko plasik yang digenggamnya mendarat telak di jidatku, akupun terkaget bukan main, seketika wajahku memerah menahan air mata, bukan karena sakit di jidat yang membuatku ingin menangis, tapi karena merasa sangat dipermalukan dan dizolimi oleh sang nenek yang membuatku begitu perih, ditambah lagi dengan kondisi fisikku waktu itu yang memang lagi sakit. Bahkan nenek itu sepertinya belum puas dengan hanya menyakitiku secara fisik, karena sejurus kemudian untaian kalimat-kalimat pedas dalam bahasa bugis terasa lebih menyakitkan bagiku, sumpah serapah berbalut makian bertubi - tubi meluncur dari mulutnya yang tetap disertai dengan kepulan asap rokok.

Dan dalam suasana hatiku yang perih karena merasa terzalimi dan tak berdaya,  akupun mendoakan keburukan untuk sang nenek, dalam hati aku memohon semoga Allah menimpakan celaka buat nenek tersebut, dan hanya dalam hitungan jam doaku kemudian dikabulkan.

Ceritanya, sehabis para penumpang makan siang pada sebuah warung yang teretak di perbatasan Bone dan Maros, sang sopir kemudian memanggil semua penumpang tuk bergegas ke mobil tuk melanjutkan perjalanan, namun lagi - lagi sang nenek berulah dengan menjadi penumpang terlama yang ditunggui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun