Mohon tunggu...
Faizal Zen
Faizal Zen Mohon Tunggu... wiraswasta -

Ikhtiar ke Titik Nol.......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Do’a yang Langsung Dikabulkan

21 Agustus 2010   18:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:49 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika sang nenek itu telah naik, sang kernet yang sejak tadi terlihat dongkol, kemudian menutup pintu mobil dengan cara sedikit membanting, namun malang bagi si nenek, karena ketika pintu di banting tangannnya justru berpegangan pada bibir pintu, dan jadilah kemudian tangan nenek itu terjepit dengan kerasnya. Nenek itupun meringis dan meraung sejadi-jadinya

Anda bisa membayangkan gimana sakitnya kejepit pintu mobil yang dibanting dengan keras, nenek itupun terus meringis, dan sang kernetpun hanya bisa mohon maaf dengan alasan tak sengaja, dan dalam ringisannnya, nenek itu masih begitu galaknya menumpahkan amarahnya pada sang kernet yang kemudian hanya bisa diam membiarkan nenek itu meluapkan dan menuntaskan amarahnya.

Dalam benakku, akupun langsung bergidik, aku merasa Allah langsung mengijabah doa yang kulantunkan beberapa saat lalu untuk menimpakan celaka pada sang nenek itu. Akupun merasa sedikit terusik dengan rasa tegaku, tak tahu harus berucap Hamdalah atau Istigfar atas celaka yang menimpa nenek tersebut.

Namun ternyata celaka yang menimpa nenek tersebut tidak berhenti sampai disitu, karena kemudian ketika mobil yang kami tumpangi mampir lagi di sebuah warung di daerah Camba , kejadian yang hampir sama kembali terulang, saya sendiri dan mungkin seluruh penumpang yang ada tak habis pikir, kok bisa-bisanya kejadian 2 jam yang lalu kembali terulang, kejadiannya hampir persis, hanya bedanya kali ini nenek tersebut tidak menyempatkan diri mampir di warung, dia hanya tinggal di dalam mobil , saat beberapa penumpang yang lain mampir tuk sekedar membeli cemilan, dan ketika mobil akan berangkat, lagi-lagi sang kernet menutup pintu dengan agak membanting (kali ini bukan karena dongkol, namun memang pintu mobilnya agak seret hingga harus dihentak cukup keras tuk merapatkannya) dan ternyata, entah apa yang mendorong tangan nenek itu kembali "nongkrong" pada bibir pintu, padahal sebelum membanting pintu sang kernet terlihat hati-hati dan memperingatkan penumpang, dan anda bisa tebak sendiri, kejadian sebelumnya kembali terulang dimana tangan nenek tersebut yang masih terlihat memar dan bengkak kembali terjepit pintu mobil.

Akibatnyapun bisa anda bayangkan, dimana keempat jari kiri nenek tersebut yang tadinya dia pakai tuk menjitak dan memukul jidatku, menjadi semakin memar dan membengkak dan kali ini disertai lecet akibat jepitan pintu yang kedua kalinya. Dua kali nenek itu menggunakan tangan kirinya tuk menjitak kepalaku, dan dua kali pula tangan kirinya tersebut harus terjepit pintu mobil dengan kejadian yang sulit kucerna sebagai suatu kebetulan.

Sejenak seisi mobil hanya terperangah menyaksikan kejadian ini, dan kali ini ringisan sang nenek telah berubah menjadi tangisan yang mendayu - dayu dan turut mencairkan empatiku di satu sisi. Karena sungguh aku merasa, peristiwa pertama yang menimpa nenek tersebut sudah cukup sebagai balasan kezalimannya terhadapku. Atau mungkin juga ada penumpang lain yang turut mendoakan keburukan tuk nenek tersebut, sehingga dia harus tertimpa celaka secara beruntun.

Setelah mengalami celaka untuk yang kedua kalinya, nenek itu tak hentinya terisak sambil membalut jarinya yang membengkak dan lecet dengan kain seadanya, namun kali ini isakan tangisnya sudah tak diikuti dengan umpatan ataupun kepulan asap rokok. Dalam benakku aku kemudian beristigfar dan mendoakan kebaikan untuk nenek tersebut, karena aku kemudian menjadi kasihan dengan apa yang menimpanya.

Singkat cerita nenek tersebutpun turun lebih dahulu, dan karena sang kernet dan sopir merasa bersalah atas celaka yang menimpa nenek tersebut, maka diapun mendapatkan diskon 50% tuk pembayaran sewanya.

Seperti itulah rangkaian peristiwa yang aku anggap bagian dari pengalaman spiritualku. Mungkin rekan-rekan sekalian menganggapnya sebagai kejadian yang biasa ataupun hanya kebetulan-kebetulan kecil yang kerap menghiasi keseharian kita, namun bagiku pribadi kejadian ini setidaknya mengafirmasi hadits yang kukutip di atas. Dan setiap mengenangnya, ada getaran yang merasuki kalbuku, yang kemudian kujadikan sebagai pijakan pengalaman untuk menghindari berbuat zalim terhadap orang lain, mengingat mustajabnya do'a orang terzalimi.

"Ada makna dalam setiap peristiwa. Ketika makna itu menggetarkan jiwa dan nurani, maka di situlah sisi spiritualitas hadir. Ketergetaran nurani bisa muncul kapan dan di mana saja. Seringkali perjumpaan yang sesaat dapat memberi kesan dan renungan yang begitu dalam. Bahkan tidak jarang kita dapat belajar banyak dari pergaulan dan perjumpaan dengan beragam "warna" umat manusia yang bertebaran di muka bumi ini. Suka, duka, derita, dan tawa bahagia mereka, dapat membuat kita lebih banyak belajar tentang kehidupan. " **

Maros, 22 Agustus 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun