Mohon tunggu...
Faizal Zen
Faizal Zen Mohon Tunggu... wiraswasta -

Ikhtiar ke Titik Nol.......

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Memoar Luka

21 Maret 2010   18:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

jiwaku ambruk, satu-satunya alasan yang selama ini menopangku adalah harapan untuk kembali dapat bersua denganmu dan mengarungi hidup bersama dengan saling berbagi dan saling menopang.

Seandainya kau tahu wi masa lalukupun adalah hamparan kisah kelam yang memilukan dan memalukan. Mestinya kau tahu akupun terusir dari keluargaku akibat ketergantunganku pada putaw yang kemudian menghilangkan namaku dari daftar ahli waris keluarga dan membuatku bergelandang ria sebelum engkau hadir merubah segalanya..

Harusnya kau tahu wi seminggu sebelum engkau menghilang akupun baru saja memperoleh hasil tes darahku yang memvonisku positif HIV seperti penyakitmu wi dan juga merupakan akibat masalaluku sebagai pecandu putaw.

Mestinya kau tahu kalau takdir sejatinya mempertemukan kita untuk saling menguatkan.

Separuh jiwaku serta merta melayang bersama keputusanmu, aku ambruk dalam keterpurukan, aku meraung sejadi-jadinya mengutuk nasib yang hanya memberikan kita sepotong waku yang begitu singkat untuk menjalani hidup yang lebih bemakna. Alam bawah sadarku berontak sejadi-jadinya sehingga kesadaran dan akal sehatkupun tak mampu lagi menjadi acuan tindakanku.

***

Mereka kemudian menyeretku pada sebuah lingkungan baru yang justru kuanggap sebagai tempat yang lebih tenang bagiku mengisi sisa-sisa hidupku di sebuah rumah sakit jiwa. Aku dianggap sudah membahayakan dan mengganggu keselamatan dan ketentraman orang-orang di sekitarku. Kau harus tahu wi, aku sebenarnya sama sekali tidak gila, keberadaanku saat itu di rumah sakit jiwa adalah bagian dari skenarioku. Terus terang aku lebih senang divonis gila daripada aku harus tetap berada ditengah orang-orang yang kelak jijik menerimaku dengan apa adanya diriku yang seperti dirimu sebagai penderita AIDS. Biarlah aku mencoba berdamai dengan tangan takdir yang terus menamparku. Siang malam berganti menggulung hamparan waktuku di rumah sakit jiwa ini dengan menuliskan semua kisah kita. Menambal kisah hidupmu yang kau goreskan dengan begitu jujur dalam surat terakhirmu dengan kisahku yang setali tiga uang. Virus HIV semakin hari melemahkan pertahanan ragaku dan dengan sisa waktu yang kumiliki aku terus dan terus menuliskan setiap detik yang kulalui. Biar dunia bisa mengambil hikmah dari apa yang menimpa kita. Biar dunia tahu bahwa dalam penggalan sejarahnya dua orang sahabat pernah dimanjakan oleh takdir dalam balutan persahabatan yang begitu bermakna sebelum akhirnya takluk dan terhempas oleh tangan takdir.

***

EPILOG Liputan Khusus Sebuah Tabloid Sastra Nasional Dunia kesusastraan indonesia yang akhir akhir ini sering dibanjiri oleh karya karya fiksi realis kembali dibuat tercengang oleh sebuah novel yang menyita perhatian hampir seluruh kalangan masyarakat akibat berbagai dimensi fifkif dan faktual yang disajikannya. Sebuah novel yang berjudul jejak-jejak makna dinilai oleh banyak pakar sebagai refleksi kejujuran dalam berkarya tanpa sebuah muatan manipulasi kesadaran massa untuk membenarkan atau menyalahkan setiap penggambaran yang disajikannya. Kalangan lain menilai novel tersebut lebih tepat dikatakan autobiografi dari dwitunggal penulisnya. Dalam waktu hanya setahun penjualan novel tersebut sudah menembus angka 500 ribu kopi. Sebuah angka yang fantastik untuk sebuah karya tulis yang tak pernah diniatkan oleh penulisnya untuk diterbitkan dalam bentuk novel. Sebuah karya yang didekasikan untuk kehidupan yang sarat akan pesan-pesan moral dan psikoligi sosial yang begitu nyata dan menyentuh keseharian kita. Terlebih lagi novel yang diedit oleh seorang psikiater rumah sakit jiwa tersebut merupakan buah tangan dari dua orang sahabat yang sekaligus menjadi aktor utama dalam cerita novel tersebut. Dan seperti akhir dari kisahnya yang begitu tragis menyebabkan karya mereka menjadi sebuah persembahan pertama sekaligus terakhir, karena keduanya kini telah gugur oleh penyakit yang sama walaupun dengan cara yang berbeda. Namun demikian dwitunggal penulis ini (Dewi Mappiasse' dan Ari Kamase) akan selalu mendapatkan tempat yang khusus di hati para pembaca novel mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun