Mohon tunggu...
Faizal Zen
Faizal Zen Mohon Tunggu... wiraswasta -

Ikhtiar ke Titik Nol.......

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Memoar Luka

21 Maret 2010   18:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_99278" align="alignright" width="225" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Sore itu di sisi selatan danau buatan kampus kita yang dikelilingi oleh hutan-hutan mini pepohonan akasia dan ki hujan, pada sebuah gazebo yang hampir roboh oleh ulah rayap yang menggerogoti tiang-tiang penyangganya,, engkau duduk menunduk dengan dua lutut yang merapat ke wajahmu dan dengan lengan yang melingkar memeluk lutut. Dari arah belakang kusaksikan pundak dan punggungmu naik turun dan terguncang seolah terdorong oleh rongga dada dan kedua lututmu. Awalnya kupikir engkau sedang terbahak untuk sesuatu yang entah apa, namun kemudian sayup terdengar suara isak tangismu membantah terkaanku. Sebuah deheman sengaja kubuat-buat untuk sekedar memberimu isyarat akan kehadiranku, namun tak jua kau hiraukan diriku. Pun ketika aku sudah duduk tepat disisi kirimu, seolah engkau tak merasakan keberadaanku. Akupun merasa serba salah dan penasaran dengan sesuatu yang asing dari dirimu,

"kamu ndak sedang bercanda kan wi" Tanyaku menghalau terkaanku

tak ada jawaban dari dirimu yang membuatku mulai cemas

"kamu kenapa wi" Tolong dong cerita ke aku". namun tak jua kau respon.

"Kamu boleh kok pinjam dadaku untuk menangis" tawarku sambil merangkulmu dan membenamkan wajahmu dalam dekapanku. Tak sepatah katapun yang terucap selaian tangismu yang memiriskan hati. Akupun larut dalam ritme duka yang kau hadirkan dan membuatku hanya mematung dan membiarkan air matamu membasahi kaosku yang kemudian merembes membasahi dadaku. Kurasakan hangat air matamu seolah membakar hatiku dan turut mencairkan rasa empatiku dengan buliran air mata. Akupun ikut menangis.

"Wi kamu mau kan cerita ke aku" tanyaku setengah berbisik setelah kurasakan tangismu mulai mereda

Perlahan kaupun mengangkat kepalamu dan mengrahkan pandanganmu ke hamparan danau dengan permukaan yang memantulkan sisa-sisa cahaya mentari yang akan segera berpamit untuk sepotong waktu yang bukan haknya

"Aku tak apa-apa ri, kamu ndak usah mencemaskanku" ucapmu datar seolah aku anak kecil yang tak bisa membaca guratan masalah dari wajah dan air matamu

"Wi kamu masih anggap aku sahabatkan? jadi tolong dong kamu jangan egois gitu dengan tidak mau membagi dukamu denganku". Seruku dengan sedikit memelas.

Sampai kapanpun kau adalah sahabat terbaikku ri, Cuma untuk kali ini aku mohon kau jangan memaksaku untuk berbagi ri, karena sungguh aku tak ingin membebanimu dengan masalah yang tak pantas untuk sekedar kau tahu. Cukup aku yang takluk ri, dan memang harusnya akulah sendiri yang harus menuai buah atas pilihanku dimasa lalu" sebuah jawaban yang semakin membuatku penasaran

"Wi aku berhutang terlalu banyak padamu, kau sudah terlalu banyak membantuku, jadi tolong berikan aku kesempatan untuk membayar sedikit hutang budiku" Sebuah ungkapan jujur dan tulus meluncur tegas dari bibirku

"Tidak ri kau tak perlu merasa berhutang padaku, aku justru berterima kasih kau mau menjadi sahabatku selama ini tanpa memperdulikan latar belakang masa laluku yang tak pernah kau tahu dan tak pernah kau pertanyakan" ucapmu dengan nafas yang berat

"Wi aku tak mau tahu dengan masa lalumu, seandainyapun di masa lalu engkau pernah membunuhku, itu tak akan mengurangi rasa persahabatan kita saat ini dan saat-saat indah yang kita lewati dengan penuh kebahagiaan dan mimpi-mimpi masa depan yang akan kita rengkuh bersama" Ungkapku tulus mencoba mencairkan kerasnya hatimu.

"Seandainya aku bisa lepas sepenuhnya dari masa laluku tanpa ada konsekuensi yang mesti kutanggung di saat ini, tentulah hari ini aku takkan menangis ri. Dan hanya itu yang bisa aku katakan, selebihnya biarlah waktu yang menjelaskannya padamu" Jawabmu lirih dan sungguh tak dapat kutangkap maksudnya

"Tidak wi, kau harus cerita, kau harus ingat dengan janji kita untuk sepenanggungan dikala senang maupun susah" sanggahku tak mau mengalah

"Sudahlah ri, hari sudah gelap, nantilah saya ceritakan, sekarang kita pulang saja dulu"

Tidak wi, kita tidak akan pulang sebelum kau ceritakan semua secara jujur dan terbuka akan masalahmu" ancamku untuk memaksamu terbuka

Kurasakan engkau menarik nafas panjang dan dalam keremangan senja masih dapat kutangkap guratan kesedihan yang menyelimuti jiwamu.

Baiklah jika kau memaksa, aku akan cerita, tapi bukan di tempat ini" sebuah jawaban yang sesaat melegakan hatiku, karena kau kemudian berjanji untuk menceritakannnya secara tuntas 3 jam kemudian di sebuah kafe di pinggiran kampus di tempat kita pertama kali berkenalan.

Aku takkan lupa wi dengan café itu. Karena dari situlah kisah persahabatan kita bermula. Di tempat itulah kau pertama kali memperkenalkan dirimu dan menawarkan diri untuk menjadi sahabatku, seolah-olah kau telah mengenal aku sebelumnya. Saat itu aku rasanya tak percaya seorang bidadari seanggun dirimu tiba-tiba muncul dan menawarkan persahabatan kepada seorang pecundang seperti diriku. Dan seiring waktu berjalan Kaupun menjelma menjadi dewi penolong dalam hidupku, hari-hariku kau warnai dengan pantulan energi positifmu sehingga hampir-hampir aku tak percaya dengan perubahan yang menyeruak dari diriku. Engkau mengajariku banyak hal tentang hidup dan sikap hidup, tentang ketulusan, tentang kegigihan dan kesabaran, tentang harapan dan mimpi-mimpi masa depan, tentang kemandirian dan kerja keras dan banyak hal yang sungguh mengisi hari-hariku dengan begitu optimis dan mengubur persoalan masa laluku yang tak pernah mau kau tahu dan kau tanyakan. Di mata orang-orang sekitar kita di kampus, di tempat kerja kita ataupun di mata orang-orang di sekitar pondokan selalu menyangka kita adalah sepasang kekasih karena eratnya persahabatan yang kita jalin, tentunyapun mereka akan selalu menganggap kita sebagai sepasang kekasih yang tidak serasi. Aku bisa memahami itu, dan mungkin saja hal itu merupakan bentuk kedengkian mereka terhadapku, bagaimana tidak, aku yang secara fisik sangat jauh untuk sekedar mendekati kriteria ganteng dan sangat bertolak belakang dengan dirimu yang elok laksana purnama dan memikat hati dan syahwat begitu banyak lelaki. Tak sedikit pria yang jauh lebih baik dan mapan dari diriku yang pernah mencoba mendapat cinta dan kasihmu namun selalu kau tolak dengan berbagai alasan. Akupun kemudian merasa spesial dihatimu walaupun kau sendiri selalu menolak diriku untuk menjadi kekasihmu, namun aku tak pernah kecewa karena sungguh kasih sayang yang engkau curahkan kepadaku melebihi curarahan kasih seorang kekasih sekalipun.

***

Waktu serasa berjalan sangat lambat malam itu dalam menantimu dan melayani segepok pertanyaan dalam benakku yang kuharap mendapatkan jawaban darimu, namun sampai lewat 30 menit dari waktu yang kau janjikan engkau belum juga muncul. Akupun menghubungi ponselmu, namun jawaban tanda tak aktif memupuskan kesabaranku dalam penantian. Akupun bergegas menyusulmu ke pondokanmu, namun yang kutemukan kamarmu sudah terkunci rapat tanpa ada pesan yang dapat aku baca. Pikirankupun mulai menerka-nerka keberadaanmu dan kembali dihinggapi kecemasan sampai kemudian sebuah sms aku terima darimu

"Maafkan aku ri jika aku tak menepati janjiku malam ini. Sungguh aku tak bermaksud melukaimu dan untuk itulah aku tak datang. Makasih ri untuk sepotong waktu yang begitu berarti yang kita lewati bersama. Kau tak usah menungguku lagi dan tak usah mencariku karena Aku tak pantas lagi menjadi sahabatmu, sekali lagi thanks and sorry ri" Kucoba menghubungi kembali nomormu namun lagi-lagi sudah tak aktif

Kepanikan, kecemasan dan segala rasa yang menggalaukan menguasaiku dan mendorongku berpacu dengan waktu. Kupacu lariku untuk mengejar dan mencarimu ke semua sudut ruang yang mungkin aku jangkau sampai akhirnya malam itu ragaku tak mampu berkompromi dan merubuhkanku di sebuah terminal tak sadarkan diri semalaman.

***

Hari-hari selanjutnya tanpa dirimu terasa begitu hambar. Kupatrikan tekad dalam diriku untuk terus mencarimu dan takkan membiarkanmu memikul bebanmu seorang diri. Sungguh aku mengutuk diriku yang tak mampu menerjemahkan arti dari perubahan sikapmu dan memudarnya keceriaan dirimu saat-saat terakhir kita bersama.

Kebutaanku akan latarbelakang masa lalumu sungguh membuatku tak tahu kemana aku harus memulai mencarimu. Sampai akhirnya aku teringat tentang asal sekolahmu yang pernah aku baca dalam biodatamu. Sebuah SMA yang terletak jauh di luar kota. Dari SMA itulah aku berhasil mendapatkan alamat orangtuamu dan mengantarku kesana. Sebuah desa di daerah pesisir dengan lingkungan alam yang masih sangat ramah, namun keramahan alam tak seramah sambutan ayahmu padaku ketika dia tahu aku datang untuk mencarimu. Aku hampir saja tak kuasa menahan emosiku ketika dengan suara yang meninggi dan dengan air muka yang begitu dingin dia menegaskan bahwa kau telah dianggapnya mati. Harapan untuk memperoleh sedikit informasi tentang masa lalumu hampir saja pupus sebelum kemudian ibumu menghampiriku. Dari sorot matanya dapat kutangkap kasih sayang seorang ibu yang takkan pernah memudar. Dari ibumulah kemudian sepotong kisah kelam masa lalumu aku tahu. Tantang dirimu yang terusir dari keluarga dan kampung halamanmu akibat keluguanmu yang terpedaya oleh rayuan seorang pemuda yang kemudian menyebabkan engkau hamil di luar nikah yang menggoreskan aib bagi keluarga besarmu terutama ayahmu yang masih tergolong tokoh masyarakat di desamu padahal saat itu engkau baru saja bersiap-siap melanjutkan pendidikanmu ke perguruan tinggi. Dapat kutangkap kebahagiaan ibumu ketika dia tahu ternyata engkau mampu menjalani hidupmu lebih berarti bahkan mampu melanjutkan kuliahmu secara mandiri. Diapun menitipkan pesan jika aku menemukanmu bahwa beliau sangat rindu dan tak pernah membencimu serta senantiasa mendoakan keselelamatan dan kebahagiaanmu. Sebuah pesan yang memancarkan kasih tak bertepi seorang ibu.

***

Tekad dan upayaku untuk mencarimu mengantarku bertemu dengan seseorang yang mengaku pernah berteman denganmu. Namanya Lisa, dia menghubungiku setelah membaca sebuah iklan tentang dirimu yang sengaja aku pasang di hampir semua koran lokal. Dari lisa kemudian lanjutan kisahmu aku tahu. Tentang dirimu yang sempat berkubang dengan amoralitas dunia prostitusi selama setahun akibat ulah pacarmu yang menjualmu ke germo setelah memaksamu aborsi. Lisa sendiri mengaku pernah bersahabat denganmu sebagai seseorang yang sama sama terjebak dalam dunia yang tak pernah kalian inginkan bersama dan kemudian sama-sama berjuang untuk lepas dari jeratan dunia tersebut. Diapun mengaku telah lama mencarimu setelah kau tinggalkan dirinya tanpa pesan, sesaat ketika kalian berhasil keluar dari jeratan dunia prostitusi. Namun sampai disitu aku belum juga menemukan titik terang keberadaanmu.

Penggalan kisah yang kurangkai dari dua sumber tersebut tak jua mampu mengantarku pada sebuah jawaban tentang sesuatu yang membuatmu menyerah dan pamit dari hidupku. Engkau yang kukenal begitu tegar tidak mungkin terpuruk dan takluk oleh rentetan kejadian masa lalu setelah kau mampu bangkit dan menjadi sosok yang begitu aku kagumi. Bahkan kekelaman kisah masa lalumu tak jua mengurangi sedikitpun kekaguman dan simpatiku padamu. Toh engkau yang selalu mengajariku untuk berprinsip don't look back. Tentang masa lalu yang tak boleh kita ratapi dan tak perlu kita ungkit-ungkit.

***

Sampai pada suatu hari aku menerima sebuah surat tanpa alamat pengirim yang ternyata suratmu. Sebuah surat panjang setebal 30 halaman yang lebih mirip novel yang bercerita panjang dan detil tentang kisah kelam masa lalumu dan saat-saat indah yang kita ukir bersama. Sungguh aku larut dalam kesedihan melahap lembar demi lembar suratmu. dan jawaban atas pertanyaan yang selama ini menggantung dalam benakku akhirnya kau jawab dalam suratmu. Akupun kemudian tahu jikalau konsekuensi masa lalumu tersebut ternyata berupa penyakit AIDS yang menggerogoti tubuhmu yang secara perlahan memulai kembali lembaran pilu hidupmu. Namun serta merta engkau meluluhlantahkan segenap pertahanan jiwaku dengan penegasanmu di akhir suratmu agar aku tak usah mencarimu lagi karena di saat aku membaca suratmu engkau telah mengambil sebuah keputusan untuk mengkhiri hidupmu dan takluk atas tangan takdir yang tak pernah mau menjabat tanganmu.

jiwaku ambruk, satu-satunya alasan yang selama ini menopangku adalah harapan untuk kembali dapat bersua denganmu dan mengarungi hidup bersama dengan saling berbagi dan saling menopang.

Seandainya kau tahu wi masa lalukupun adalah hamparan kisah kelam yang memilukan dan memalukan. Mestinya kau tahu akupun terusir dari keluargaku akibat ketergantunganku pada putaw yang kemudian menghilangkan namaku dari daftar ahli waris keluarga dan membuatku bergelandang ria sebelum engkau hadir merubah segalanya..

Harusnya kau tahu wi seminggu sebelum engkau menghilang akupun baru saja memperoleh hasil tes darahku yang memvonisku positif HIV seperti penyakitmu wi dan juga merupakan akibat masalaluku sebagai pecandu putaw.

Mestinya kau tahu kalau takdir sejatinya mempertemukan kita untuk saling menguatkan.

Separuh jiwaku serta merta melayang bersama keputusanmu, aku ambruk dalam keterpurukan, aku meraung sejadi-jadinya mengutuk nasib yang hanya memberikan kita sepotong waku yang begitu singkat untuk menjalani hidup yang lebih bemakna. Alam bawah sadarku berontak sejadi-jadinya sehingga kesadaran dan akal sehatkupun tak mampu lagi menjadi acuan tindakanku.

***

Mereka kemudian menyeretku pada sebuah lingkungan baru yang justru kuanggap sebagai tempat yang lebih tenang bagiku mengisi sisa-sisa hidupku di sebuah rumah sakit jiwa. Aku dianggap sudah membahayakan dan mengganggu keselamatan dan ketentraman orang-orang di sekitarku. Kau harus tahu wi, aku sebenarnya sama sekali tidak gila, keberadaanku saat itu di rumah sakit jiwa adalah bagian dari skenarioku. Terus terang aku lebih senang divonis gila daripada aku harus tetap berada ditengah orang-orang yang kelak jijik menerimaku dengan apa adanya diriku yang seperti dirimu sebagai penderita AIDS. Biarlah aku mencoba berdamai dengan tangan takdir yang terus menamparku. Siang malam berganti menggulung hamparan waktuku di rumah sakit jiwa ini dengan menuliskan semua kisah kita. Menambal kisah hidupmu yang kau goreskan dengan begitu jujur dalam surat terakhirmu dengan kisahku yang setali tiga uang. Virus HIV semakin hari melemahkan pertahanan ragaku dan dengan sisa waktu yang kumiliki aku terus dan terus menuliskan setiap detik yang kulalui. Biar dunia bisa mengambil hikmah dari apa yang menimpa kita. Biar dunia tahu bahwa dalam penggalan sejarahnya dua orang sahabat pernah dimanjakan oleh takdir dalam balutan persahabatan yang begitu bermakna sebelum akhirnya takluk dan terhempas oleh tangan takdir.

***

EPILOG Liputan Khusus Sebuah Tabloid Sastra Nasional Dunia kesusastraan indonesia yang akhir akhir ini sering dibanjiri oleh karya karya fiksi realis kembali dibuat tercengang oleh sebuah novel yang menyita perhatian hampir seluruh kalangan masyarakat akibat berbagai dimensi fifkif dan faktual yang disajikannya. Sebuah novel yang berjudul jejak-jejak makna dinilai oleh banyak pakar sebagai refleksi kejujuran dalam berkarya tanpa sebuah muatan manipulasi kesadaran massa untuk membenarkan atau menyalahkan setiap penggambaran yang disajikannya. Kalangan lain menilai novel tersebut lebih tepat dikatakan autobiografi dari dwitunggal penulisnya. Dalam waktu hanya setahun penjualan novel tersebut sudah menembus angka 500 ribu kopi. Sebuah angka yang fantastik untuk sebuah karya tulis yang tak pernah diniatkan oleh penulisnya untuk diterbitkan dalam bentuk novel. Sebuah karya yang didekasikan untuk kehidupan yang sarat akan pesan-pesan moral dan psikoligi sosial yang begitu nyata dan menyentuh keseharian kita. Terlebih lagi novel yang diedit oleh seorang psikiater rumah sakit jiwa tersebut merupakan buah tangan dari dua orang sahabat yang sekaligus menjadi aktor utama dalam cerita novel tersebut. Dan seperti akhir dari kisahnya yang begitu tragis menyebabkan karya mereka menjadi sebuah persembahan pertama sekaligus terakhir, karena keduanya kini telah gugur oleh penyakit yang sama walaupun dengan cara yang berbeda. Namun demikian dwitunggal penulis ini (Dewi Mappiasse' dan Ari Kamase) akan selalu mendapatkan tempat yang khusus di hati para pembaca novel mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun