Mohon tunggu...
Faizal Zen
Faizal Zen Mohon Tunggu... wiraswasta -

Ikhtiar ke Titik Nol.......

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Memoar Luka

21 Maret 2010   18:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu serasa berjalan sangat lambat malam itu dalam menantimu dan melayani segepok pertanyaan dalam benakku yang kuharap mendapatkan jawaban darimu, namun sampai lewat 30 menit dari waktu yang kau janjikan engkau belum juga muncul. Akupun menghubungi ponselmu, namun jawaban tanda tak aktif memupuskan kesabaranku dalam penantian. Akupun bergegas menyusulmu ke pondokanmu, namun yang kutemukan kamarmu sudah terkunci rapat tanpa ada pesan yang dapat aku baca. Pikirankupun mulai menerka-nerka keberadaanmu dan kembali dihinggapi kecemasan sampai kemudian sebuah sms aku terima darimu

"Maafkan aku ri jika aku tak menepati janjiku malam ini. Sungguh aku tak bermaksud melukaimu dan untuk itulah aku tak datang. Makasih ri untuk sepotong waktu yang begitu berarti yang kita lewati bersama. Kau tak usah menungguku lagi dan tak usah mencariku karena Aku tak pantas lagi menjadi sahabatmu, sekali lagi thanks and sorry ri" Kucoba menghubungi kembali nomormu namun lagi-lagi sudah tak aktif

Kepanikan, kecemasan dan segala rasa yang menggalaukan menguasaiku dan mendorongku berpacu dengan waktu. Kupacu lariku untuk mengejar dan mencarimu ke semua sudut ruang yang mungkin aku jangkau sampai akhirnya malam itu ragaku tak mampu berkompromi dan merubuhkanku di sebuah terminal tak sadarkan diri semalaman.

***

Hari-hari selanjutnya tanpa dirimu terasa begitu hambar. Kupatrikan tekad dalam diriku untuk terus mencarimu dan takkan membiarkanmu memikul bebanmu seorang diri. Sungguh aku mengutuk diriku yang tak mampu menerjemahkan arti dari perubahan sikapmu dan memudarnya keceriaan dirimu saat-saat terakhir kita bersama.

Kebutaanku akan latarbelakang masa lalumu sungguh membuatku tak tahu kemana aku harus memulai mencarimu. Sampai akhirnya aku teringat tentang asal sekolahmu yang pernah aku baca dalam biodatamu. Sebuah SMA yang terletak jauh di luar kota. Dari SMA itulah aku berhasil mendapatkan alamat orangtuamu dan mengantarku kesana. Sebuah desa di daerah pesisir dengan lingkungan alam yang masih sangat ramah, namun keramahan alam tak seramah sambutan ayahmu padaku ketika dia tahu aku datang untuk mencarimu. Aku hampir saja tak kuasa menahan emosiku ketika dengan suara yang meninggi dan dengan air muka yang begitu dingin dia menegaskan bahwa kau telah dianggapnya mati. Harapan untuk memperoleh sedikit informasi tentang masa lalumu hampir saja pupus sebelum kemudian ibumu menghampiriku. Dari sorot matanya dapat kutangkap kasih sayang seorang ibu yang takkan pernah memudar. Dari ibumulah kemudian sepotong kisah kelam masa lalumu aku tahu. Tantang dirimu yang terusir dari keluarga dan kampung halamanmu akibat keluguanmu yang terpedaya oleh rayuan seorang pemuda yang kemudian menyebabkan engkau hamil di luar nikah yang menggoreskan aib bagi keluarga besarmu terutama ayahmu yang masih tergolong tokoh masyarakat di desamu padahal saat itu engkau baru saja bersiap-siap melanjutkan pendidikanmu ke perguruan tinggi. Dapat kutangkap kebahagiaan ibumu ketika dia tahu ternyata engkau mampu menjalani hidupmu lebih berarti bahkan mampu melanjutkan kuliahmu secara mandiri. Diapun menitipkan pesan jika aku menemukanmu bahwa beliau sangat rindu dan tak pernah membencimu serta senantiasa mendoakan keselelamatan dan kebahagiaanmu. Sebuah pesan yang memancarkan kasih tak bertepi seorang ibu.

***

Tekad dan upayaku untuk mencarimu mengantarku bertemu dengan seseorang yang mengaku pernah berteman denganmu. Namanya Lisa, dia menghubungiku setelah membaca sebuah iklan tentang dirimu yang sengaja aku pasang di hampir semua koran lokal. Dari lisa kemudian lanjutan kisahmu aku tahu. Tentang dirimu yang sempat berkubang dengan amoralitas dunia prostitusi selama setahun akibat ulah pacarmu yang menjualmu ke germo setelah memaksamu aborsi. Lisa sendiri mengaku pernah bersahabat denganmu sebagai seseorang yang sama sama terjebak dalam dunia yang tak pernah kalian inginkan bersama dan kemudian sama-sama berjuang untuk lepas dari jeratan dunia tersebut. Diapun mengaku telah lama mencarimu setelah kau tinggalkan dirinya tanpa pesan, sesaat ketika kalian berhasil keluar dari jeratan dunia prostitusi. Namun sampai disitu aku belum juga menemukan titik terang keberadaanmu.

Penggalan kisah yang kurangkai dari dua sumber tersebut tak jua mampu mengantarku pada sebuah jawaban tentang sesuatu yang membuatmu menyerah dan pamit dari hidupku. Engkau yang kukenal begitu tegar tidak mungkin terpuruk dan takluk oleh rentetan kejadian masa lalu setelah kau mampu bangkit dan menjadi sosok yang begitu aku kagumi. Bahkan kekelaman kisah masa lalumu tak jua mengurangi sedikitpun kekaguman dan simpatiku padamu. Toh engkau yang selalu mengajariku untuk berprinsip don't look back. Tentang masa lalu yang tak boleh kita ratapi dan tak perlu kita ungkit-ungkit.

***

Sampai pada suatu hari aku menerima sebuah surat tanpa alamat pengirim yang ternyata suratmu. Sebuah surat panjang setebal 30 halaman yang lebih mirip novel yang bercerita panjang dan detil tentang kisah kelam masa lalumu dan saat-saat indah yang kita ukir bersama. Sungguh aku larut dalam kesedihan melahap lembar demi lembar suratmu. dan jawaban atas pertanyaan yang selama ini menggantung dalam benakku akhirnya kau jawab dalam suratmu. Akupun kemudian tahu jikalau konsekuensi masa lalumu tersebut ternyata berupa penyakit AIDS yang menggerogoti tubuhmu yang secara perlahan memulai kembali lembaran pilu hidupmu. Namun serta merta engkau meluluhlantahkan segenap pertahanan jiwaku dengan penegasanmu di akhir suratmu agar aku tak usah mencarimu lagi karena di saat aku membaca suratmu engkau telah mengambil sebuah keputusan untuk mengkhiri hidupmu dan takluk atas tangan takdir yang tak pernah mau menjabat tanganmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun