A.Riwayat Hidup Mohammad Hatta
Moh. Hatta memiliki nama asli ‘Mohammad Athar’ yang memiliki arti minyak wangi. Beliau lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi Sumatera Barat, dari pasangan Haji Mohammad Djamil dan Siti Saleha yang merupakan keluarga terpandang di Bukittinggi Sumatera Barat.
Ayahnya merupakan garis keturunan keluarga ulama, sedangkan ibunya merupakan keturunan saudagar. Dari keduanya, telah memberikan dua talenta pada Moh. Hatta. Beliau adalah seorang intelektual yang religius, yang memiliki visi dan keuletan ekonomi yang luar biasa, sehingga mampu menghadapi segala penderitaan dan cobaan dengan jiwa yang tenang dan sabar. Menurutnya, rencana kesejahteraan rakyat ke depan harus didasarkan pada teori yang matang dengan eksekusi yang sinkron dalam ruang dan waktu.
Pada tahun 1919-1920, di Jakarta, beliau bersekolah di PHS (Prins Hendrik School), yang digunakan Bung Hatta untuk menambah wawasannya tentang seluk beluk masyarakat kolonial di tingkat nasional. Studinya di PHS berakhir pada tahun 1921, setelah itu Hatta melanjutkan studinya di Negeri Belanda dan melanjutkan ke Handels Hooge School (Sekolah Tinggi Ekonomi) Refterdam. Selama menempuh pendidikan di Belanda inilah, pemikiran-pemikiran politik Hatta hadir dan berperan penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Selama kurang lebih sebelas tahun Bung Hatta berada di Negeri Belanda, beliau tidak hanya berhasil dalam studinya, tetapi juga menjadi seorang pemimpin yang berkualitas, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam organisasi pergerakan kemerdekaan. Pemikiran politiknya yang elegan dan cemerlang sering disebut sebagai penyatuan warisan Timur dan Barat.
Dalam memperjuangkan kemerdekaan, kiprahnya dimulai ketika beliau menjadi anggota Jong Sumateranen Bond (JSB), kemudian Perhimpunan Indonesia (PI), lalu Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Dalam menghadapi sistem kolonialisme dan imperialisme Belanda, Hatta secara konsisten menerapkan prinsip non-kooperasi. Dalam memimpin organisasi pergerakan nasional, khususnya PI dan PNI-Baru, Hatta mendorong organisasi tersebut menjadi kader dengan memberikan pendidikan politik secara intensif. Setelah kemerdekaan, kebijakan Hatta dengan ditandatanganinya Deklarasi No. X, 1 November 1945 dan 3 November 1945, telah mengubah sistem pemerintahan dan kabinet presidensial Indonesia menjadi kabinet parlementer, yang merupakan jalan menuju pemerintahan yang demokratis.
Mundurnya Bung Hatta pada 1 Desember 1956 merupakan fenomena ironis dalam sejarah kepemimpinan Indonesia. Perbedaan pandangan politik dengan Presiden Soekarno yang lebih memilih otoriter sudah tidak bisa didamaikan lagi, ditambah dengan situasi politik yang kacau balau, sementara ia tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi itu semua, membuatnya mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden. Pemahaman prinsip yang kuat jarang ditemukan dalam gaya kepemimpinan berikutnya.
Pemikirannya tentang kedaulatan rakyat adalah prinsip yang diperjuangkan selama hayatnya hingga tertuang dalam karya-karya ilmiahnya. Seperti usahanya membela hak-hak rakyat melalui berbagai tulisan sejak aktif di PI. Bisa dikatakan, langkah Bung Hatta itu merupakan ekspresi pembelaannya terhadap hak asasi manusia.
B.Pemikiran Hatta tentang HAM
Pembahasan terkait Hak Asasi Manusia (HAM) sudah menjadi hal yang rumit dan menarik. Apalagi di zaman sekarang ini, HAM menjadi topik yang paling banyak dibicarakan oleh para pemimpin nasional dan dunia dalam beberapa kesempatan. Sejumlah negara telah muncul yang melihat diri mereka sebagai penegak hak asasi Muncul sejumlah negara yang menganggap diri mereka sebagai penegak HAM dan memaksakan standar HAM mereka sendiri kepada orang lain, sembari mencela diri sendiri sebagai pelanggar HAM. Sebagai negara yang melanggar hak asasi manusia, ia tidak pantas mendapatkan kebaikan atau bantuan apa pun, atau dikecualikan dari hubungan internasional dan bahkan terkadang dikenakan sanksi yang tidak masuk akal. Lebih tragis dan dramatis lagi, setiap negara yang ingin menjalin hubungan dengan negara lain selalu dipertanyakan bagaimana penegakan HAM di negaranya sendiri.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional, tiga tahun setelah berdiri (1948) membentuk komisi HAM dimana soal-soal hak sosial dan ekonomi diberi tempat di samping hak politik. Setelah bersidang dengan pembahasan matang tanggal 10 Desember 1948 menerima secara bulat hasil pekerjaan komisi berupa pernyataan sedunia tentang HAM atau sering disebut dengan Declaration of Human Rights.
Tiga tahun setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 1948, sebagai organisasi internasional membentuk komisi hak asasi manusia yang selain hak politik juga mengurusi hak sosial dan ekonomi. Setelah melalui pertimbangan yang matang, pada tanggal 10 Desember 1948, hasil kerja Komisi diterima dengan suara bulat dalam bentuk Deklarasi Hak Asasi Manusia sedunia, atau sering disebut sebagai Declaration of Human Rights.
UUD 1945 Indonesia, sebagaimana konstitusi lain di dunia, juga memuat persoalan hak asasi manusia. Walaupun UUD 1945 disusun sebelum Deklarasi Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia tercantum dalam beberapa pasal (7 pasal). Moh. Hatta merupakan salah satu tokoh yang tak henti-hentinya memperjuangkan hak asasi manusia dalam penyusunan UUD 1945. Memang, persoalan hak asasi manusia telah menjadi perdebatan dalam sesi pembahasan UUD. Soepomo, yang menawarkan bentuk pemerintahan integralistik, berpendapat bahwa hak asasi manusia dipandang berlebihan, berdampak negatif, dan hak individu selalu disubordinasikan untuk kebaikan bersama. Pandangan Soepomo didukung oleh Soekarno yang berpendapat bahwa individualisme inilah yang akan menimbulkan konflik di negara kita jika masalah ini dimasukkan ke dalam UUD.
Sumbangan Bung Hatta yang paling menonjol dalam perjuangan hak asasi manusia adalah usahanya yang gigih memasukkan berbagai ketentuan hak asasi manusia ke dalam konstitusi yang sedang disusun saat itu. Saat itu, mayoritas peserta proses tidak peduli dengan isu HAM, karena menganggap isu tersebut bercita rasa ‘kebarat-baratan’, yang selama ini sepertinya tidak boleh ditiru. Soepomo yang mengusulkan bentuk pemerintahan integralistik berpendapat bahwa hak asasi manusia yang dianggap berlebihan akan berdampak negatif dan hak individu akan selalu disubordinasikan untuk kepentingan bersama. Pandangan Soepomo didukung oleh Soekarno yang berpendapat bahwa hal individualistis inilah yang akan menimbulkan konflik di dalam negeri jika masalah tersebut dimasukkan ke dalam konstitusi.
Hatta yang sudah lama berkecimpung dalam gerakan kemerdekaan dan mengasah otaknya dengan menulis di berbagai media massa, merasa sangat penting mencantumkan hak-hak individu tersebut. Usulan Bung Hatta mendapat dukungan dari Mohammad Yamin. Akhirnya berkat usaha gigih Bung Hatta, lahirlah Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi:“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tanpa Pasal 28 UUD 1945 yang berlandaskan ideologi Integralisme, negara Indonesia hanya menjadi negara berdaulat yang memberikan kekuasaan kepada pemimpin, dengan anggapan bahwa pemimpin adalah negarawan tanpa tujuan pribadi, slogan yang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Dalam tulisan Hatta “Tuntut Kemerdekaan Pers” (1931), beliau menulis: “Kemerdekaan tiap-tiap orang berbicara menulis mencetak dan membentangkan pikirannya, sedangkan yang ditulisnya itu tidak guna diperiksa lebih dulu oleh yang berkuasa.“ Hal itu terkait usulannya dalam sidang BPUPKI di mana Bung Hatta mengusulkan untuk memasukkan persoalan yang kemudian kita kenal sebagai Pasal 28 UUD 1945.
Ketika Hatta berpidato pada tanggal 4 Desember 1950, dalam rapat ketua panitia pekerjaan perkebunan alih-alih perburuhan internasional di Bandung bertajuk Perburuhan dan Kedamaian Sosial, Hatta dengan gamblang menjelaskan hak-hak buruh. Perlindungan tenaga kerja diperoleh tidak hanya sebagai perlindungan terhadap bahaya dan kecelakaan kerja, pengaturan jam kerja dan upah minimum, tetapi juga sebagai jaminan sosial. Tidak hanya kehidupan para pekerja yang kini terjamin, tetapi juga penghidupan mereka di hari tua. Pemikiran ini juga terkait erat dengan persoalan hak dan kebebasan buruh berserikat dan berkumpul untuk mengungkapkan pikiran secara lisan dan tulisan.
Perjuangan Bung Hatta dalam penyusunan UUD 1945 adalah keberhasilannya memasukkan masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat dalam Pasal 33 sebelum amandemen, yang berbunyi:
1.Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2.Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Isi Pasal 33 menunjukkan bahwa hak asasi manusia dalam arti keadilan sosial cukup terjamin bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sini kita bisa melihat keberhasilan Bung Hatta yang sangat peduli terhadap rakyat, yang kemudian tercermin dalam UUD 1945.
Jika kita kaitkan Pasal 33 UUD 1945 dengan Pasal 27(2), di mana setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, maka dalam pembukaannya, kesimpulan yang tak terelakkan adalah bahwa pemerintah wajib melindungi pekerjaan rakyatnya. Hak atas pekerjaan juga merupakan bagian penting dari hak asasi manusia dalam kehidupan manusia.
Bung Hatta sangat prihatin dengan kehidupan penduduk Indonesia yang sebagian besar hidup dari pertanian. Jadi ketika dia menulis On Land Rights in the Japanese Era, yang menjadi dasar Prae Advis tahun 1943-nya kepada Komite Penyelidikan Bea Cukai dan Administrasi Kuno. Dalam upayanya, hal itu kemudian tersirat dalam Pasal 33(3) UUD 1945.
Tanah merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat penting bagi Indonesia, negara agraris. Oleh karena itu, pemerataan kepemilikan tanah adalah mutlak. Pemerintah harus mengambil semua langkah kebijakan untuk menjamin pemerataan kepemilikan tanah. Selama kepemilikan tanah tidak merata, selama hak milik terancam dan diinjak-injak, sulit bagi kita untuk berbicara tentang hak asasi manusia saat itu. Pembangunan dengan segala keterbukaannya terhadap penanaman modal asing hendaknya tidak turut serta mengasingkan rakyat dari negerinya sendiri.
Perhatian Hatta juga teralihkan pada urusan kesejahteraan rakyat lainnya. Mungkin isu yang diperjuangkan Hatta tidak sejelas isu HAM seperti yang diklaim semua orang sekarang. Belakangan diketahui bahwa tulisan dan perjuangan Hatta memuat beberapa pasal tentang perlindungan manusia. Hak – Hak asasi manusia pada khususnya, dan kepentingan semua orang pada umumnya.
Bahkan, dari partisipasi aktif Hatta dalam pergerakan nasional hingga wafatnya pada tahun 1980, komitmennya terhadap kedaulatan rakyat tercermin dalam banyak tulisan dan pernyataannya. Hatta tidak pernah berbicara tentang perjuangannya sebagai pembela HAM, tetapi ia berjuang tanpa propaganda yang eksplosif. Baik itu kata-kata atau perbuatan. Dan tidak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa Hatta adalah salah satu pemimpin Indonesia yang sangat peduli dengan masalah hak asasi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H