UUD 1945 Indonesia, sebagaimana konstitusi lain di dunia, juga memuat persoalan hak asasi manusia. Walaupun UUD 1945 disusun sebelum Deklarasi Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia tercantum dalam beberapa pasal (7 pasal). Moh. Hatta merupakan salah satu tokoh yang tak henti-hentinya memperjuangkan hak asasi manusia dalam penyusunan UUD 1945. Memang, persoalan hak asasi manusia telah menjadi perdebatan dalam sesi pembahasan UUD. Soepomo, yang menawarkan bentuk pemerintahan integralistik, berpendapat bahwa hak asasi manusia dipandang berlebihan, berdampak negatif, dan hak individu selalu disubordinasikan untuk kebaikan bersama. Pandangan Soepomo didukung oleh Soekarno yang berpendapat bahwa individualisme inilah yang akan menimbulkan konflik di negara kita jika masalah ini dimasukkan ke dalam UUD.
Sumbangan Bung Hatta yang paling menonjol dalam perjuangan hak asasi manusia adalah usahanya yang gigih memasukkan berbagai ketentuan hak asasi manusia ke dalam konstitusi yang sedang disusun saat itu. Saat itu, mayoritas peserta proses tidak peduli dengan isu HAM, karena menganggap isu tersebut bercita rasa ‘kebarat-baratan’, yang selama ini sepertinya tidak boleh ditiru. Soepomo yang mengusulkan bentuk pemerintahan integralistik berpendapat bahwa hak asasi manusia yang dianggap berlebihan akan berdampak negatif dan hak individu akan selalu disubordinasikan untuk kepentingan bersama. Pandangan Soepomo didukung oleh Soekarno yang berpendapat bahwa hal individualistis inilah yang akan menimbulkan konflik di dalam negeri jika masalah tersebut dimasukkan ke dalam konstitusi.
Hatta yang sudah lama berkecimpung dalam gerakan kemerdekaan dan mengasah otaknya dengan menulis di berbagai media massa, merasa sangat penting mencantumkan hak-hak individu tersebut. Usulan Bung Hatta mendapat dukungan dari Mohammad Yamin. Akhirnya berkat usaha gigih Bung Hatta, lahirlah Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi:“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Tanpa Pasal 28 UUD 1945 yang berlandaskan ideologi Integralisme, negara Indonesia hanya menjadi negara berdaulat yang memberikan kekuasaan kepada pemimpin, dengan anggapan bahwa pemimpin adalah negarawan tanpa tujuan pribadi, slogan yang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Dalam tulisan Hatta “Tuntut Kemerdekaan Pers” (1931), beliau menulis: “Kemerdekaan tiap-tiap orang berbicara menulis mencetak dan membentangkan pikirannya, sedangkan yang ditulisnya itu tidak guna diperiksa lebih dulu oleh yang berkuasa.“ Hal itu terkait usulannya dalam sidang BPUPKI di mana Bung Hatta mengusulkan untuk memasukkan persoalan yang kemudian kita kenal sebagai Pasal 28 UUD 1945.
Ketika Hatta berpidato pada tanggal 4 Desember 1950, dalam rapat ketua panitia pekerjaan perkebunan alih-alih perburuhan internasional di Bandung bertajuk Perburuhan dan Kedamaian Sosial, Hatta dengan gamblang menjelaskan hak-hak buruh. Perlindungan tenaga kerja diperoleh tidak hanya sebagai perlindungan terhadap bahaya dan kecelakaan kerja, pengaturan jam kerja dan upah minimum, tetapi juga sebagai jaminan sosial. Tidak hanya kehidupan para pekerja yang kini terjamin, tetapi juga penghidupan mereka di hari tua. Pemikiran ini juga terkait erat dengan persoalan hak dan kebebasan buruh berserikat dan berkumpul untuk mengungkapkan pikiran secara lisan dan tulisan.
Perjuangan Bung Hatta dalam penyusunan UUD 1945 adalah keberhasilannya memasukkan masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat dalam Pasal 33 sebelum amandemen, yang berbunyi:
1.Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2.Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Isi Pasal 33 menunjukkan bahwa hak asasi manusia dalam arti keadilan sosial cukup terjamin bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sini kita bisa melihat keberhasilan Bung Hatta yang sangat peduli terhadap rakyat, yang kemudian tercermin dalam UUD 1945.
Jika kita kaitkan Pasal 33 UUD 1945 dengan Pasal 27(2), di mana setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, maka dalam pembukaannya, kesimpulan yang tak terelakkan adalah bahwa pemerintah wajib melindungi pekerjaan rakyatnya. Hak atas pekerjaan juga merupakan bagian penting dari hak asasi manusia dalam kehidupan manusia.