Haii.. Rembulan, sedang apa engkau di sana?
Sesibuk apa dikau hingga tak kunjung memberi kabar?
Bukannya aku terbelenggu waktu, tapi mencoba bertolak nestapa dalam deretan rindu
Kalau memang itu alasanmu, ku tau kita memang sedang berjarak tuk mencapai asa nan cita sebagai bekal kita hidup berdua
Aku menyalahkan jeda mengapa selisih angka pada rangkaian kita semakin getir
Aku menyalahkan jarak yang begitu hebat karena memang benar-benar tak bisa diralat
Ku tak ingin engkau menyalahkan apapun karena ini ikhtiar tuk kita berdua mengarungi bahtera asmaraloka
Dan biarkan kuletakkan sajak rasa dalam bahtera kita
Meskipun rasa maupun karsa yang tak pernah fasih mengeja
Rasa ini yang abadi sepanjang masa
Merajutnya hingga tutup usia
Menerpa gelagat abadi beraroma fiksi
Berwujud aksioma yang penuh inspirasi
Di antara mimpi-mimpi yang paling murni
Senyawa dalam aliran nadi yang bernilai tinggi
Menembus batas tuk wujudkan mimpi berwujud aksi
Melakukan segala tahapan demi langkah mempertahankan sebuah biduk yang kita kokohkan
Mengarungi bahtera yang kita targetkan sebagai pencapaian
Tak lupa munajat di sepertiga malam tuk kokohkan kapal agar mampu mengarungi luasnya samudra
Dan kutorehkan bait suci di antara ombak yang menggerus genangan
Kupintal awan tuk selipkan doaku kepada pemilikmu
Kuukir dalam pori-pori kanvas merapal namamu
Hingga terdengar senandung awan yang kau simpan di pori-pori kanvas itu,
mahir menyejukkan panasnya kehidupanku yang bercabang lika-liku
Hujan pun turun tuk menyiram bibit rasaku tanpa ambigu.
Malang-Blitar, 6 September 2020
(Salah satu puisi berbalas dari saya dan asfira yang termuat di buku "Senarai Asmaraloka")Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H